DICARI! MORAL

62 15 5
                                    

Living for law is living for life of fight.

Aku tertegun. Masuk hukum kulakukan dengan sadar, tapi kemudian aku baru benar-benar menyadari bahwa apa yang dibilang oleh guru SMAku itu adalah realita yang kuhadapi sekarang.

Kupikir aku pandai beradaptasi, padahal sebenarnya aku sangat buruk di sana. Adaptasiku lama, bisa sampai setahunan dan untuk pekerjaan para penegak hukum-khususnya ASN-yang sering dimutasi, positifnya pasti menyenangkan menemukan hal-hal baru, negatifnya perlu berapa lama untuk nyaman dengan hal baru itu?

Kupikir masuk hukum bukanlah pilihan yang buruk. Setelah tak direstui di filsafat dan diancam masuk ke kedinasan sampai aku nangis-nangis di rumah temen H-1 sebelum tes dan nggak mau pulang, akhirnya aku legowo-pokoknya, daripada kedinasan-masuk hukum. Anak kedinasan nggak ada demo-demonya, selalu ngiyain apa-apa yang dari atasan. Budak pemerintah.

Lagipula pembahasan soal isu-isu politik dan hukum menarik, seenggaknya sampai sekarang. Entah nanti setelah satu semester lewat, bakal stres bayangin the next realita yang kudu dihadapi nggak ya?

Siang-siang nggak jadi ngantuk, gara-gara kelas etika profesi. Dosennya izin keluar ruangan zoom setelah kuliah berjalan 15 menit karena mau ketemu dekan. Dan kita mahasiswanya sedang membahas keterkaitan moral dan etika.

Apakah moral itu universal?

45 menit setelah Bu Dosen keluar ruangan, kami rusuh mempertanyakan itu. Sebenarnya kesimpulannya mudah, moral itu tidak universal, setiap tempat memiliki nilai dan normanya masing-masing, tapi pertanyaan berikutnya muncul apa standar baik dan buruk kalau begitu? Bagaimana hukum menentukan apa yang harus dilarang dan apa yang tidak? Itu pertanyaan yang muncul di pikiranku, tapi tidak kuajukan dalam forum.

Kita kehilangan moral, banyak yang sadar, tapi sedikit yang mencarinya. Beberapa memilih membuat moralnya sendiri, karena merupakan Hak Asasi Manusia untuk memiliki kebebasan berekspresi. Aku muak dengan pengagungan hak yang selalu menjadi dalil pembenaran dekadensi moral. Seolah baik buruk adalah relatif dan yang relatif itulah yang disebut kebenaran.

 Seolah baik buruk adalah relatif dan yang relatif itulah yang disebut kebenaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mahasiswa bunuh diri itu kalau kayak gitu."

45 pasang mata menatap layar, fokus mendengarkan. Yang tadinya menunduk entah melihat buku atau hapenya tiba-tiba jadi sadar kamera.

"Kalau emang nggak niat ngumpulin tugas, yaudah nggak usah kuliah di fakultas hukum." Kalau ini kelas offline, pasti mencekam sih. "Saya ngasih tugas itu cuma dua kali, sebelum UTS sama sebelum UAS. Itupun jauh-jauh hari sebelumnya saya sudah bilang. Kemarin yang bilang ke Kepala Suku tugasnya suruh ditinggal aja itu mana?"

Hening, tak ada yang berani menyalakan mikrofon. Kepala Suku adalah penanggung jawab kelas dan ia pun juga tak angkat bicara, membeku di pojok kanan layar Zayyan.

"Kayak gini mau jadi Sarjana Hukum, yang ada jadi Susah Hidup kalau nggak Sugih Hutang." Pungkas dosen sosiologi hukumnya setelah hening lama. Zayyan tertegun, bertanya-tanya dia mau jadi SH yang mana?

Satu notifikasi WA muncul di pojok kiri bawah laptopnya. Dari FK; Fakultas Keadilan. Lulus nggak si itu? Beberapa deret pesan memunculkan bunyi khas notifikasi WA di laptop. Dosen sosiologi hukumnya memang moody-an. Kalau sedang nggak mood bisa begini seremnya, vibes Jumat katanya emang agak serem. Mana ditambah yang nggak ngumpulin tugas nggak masuk lagi. Kayaknya sih bakal nggak lulus.

Selesai kelas yang menegangkan itu, dia membuka grupnya. Grup itu dibuat menginjak semester dua, ceritanya sih nyari orang-orang buat diajak sekelas pas KRS tertutup*. Dia diajak sama si pemrakarsa, Abyan. Abyan ngajak temen SMPnya, Haris dan Zayyan mengajak kenalannya, Safwan. Jadilah grup KRS kelas bareng yang tiba-tiba makin ramai apalagi semenjak pandemi. Mereka ngobrolin apa-apa yang ada di kelas, ngobrolin malesnya ikut ngerjain tugas kelompok, terus nanti diamuk segrup buat nggak boleh ghosting, janjian buat nongkrong yang endingnya batal karena si ini rapat, si itu lomba dan jadilah kita temen deket yang males ngakuin kalau kita deket. Entah karena isinya orang-orang keren makanya vibes-nya positif terus atau emang karena kepribadian mereka ambis-ambis gitu, dulu Zayyan nggak tahu. Dia cuma bersyukur ketemu circle kayak gitu, walaupun seringnya juga insecure.

Grupnya bernama FK; Fakultas Keadilan dan kita pun nggak menafikan idealisme itu. Yang bikin Abyan, anak LDK yang punya banyak banget rahasia, bukan rahasia tentang dirinya. Tapi rahasia anak-anak FH, rahasia univ, rahasia politik kampus, entah rahasia apalagi. Nggak tahu dia mainnya sama siapa kok bisa-bisanya nampung semua rahasia kampus. Kalau dia dinding FH bisa jadi host Rumpi No Secret, terkhusus di grup FK.

Terus ada Si Haris, Wapresbem yang mau nyalon jadi Presbem FH, itupun dia masih bingung antara jadi Presbem FH atau jadi Wapresbem Univ. Terkenal banget, personal brandingnya keren, pernah nulis dua buku non fiksi tentang kepemimpinan dan pemuda. Sering jadi pembicara, punya komunitas bedah buku. Haris ini tipe orang keren, orang sibuk, orang yang bikin tiap cewek di kampus bilang wow. Tapi banyak juga yang benci sama dia, sering juga give away barang-barang nggak jelas ke kita karena kena doxing. Waktu itu tongsis, tas abu-abu jelek, pernah sampai sejutaan Haris suruh bayar, tapi akhirnya dia lapor polisi. Orang keren hidupnya berat.

Satunya Safwan, mapres I FH. Tiap bulan ada aja kegiatan lombanya, pernah juga dua pekan ngilang karena ikut dua lomba dan dua-duanya menang. Duit dia banyak, hasil lomba-lomba gitu. Katanya mau dipakai buat daftar PKPA**. Yang diikutin lomba karya tulis, seringnya esay sama legal opinion. Pernah juga debat, sadis sih. Orangnya pendiem dan kalem gitu kelihatannya, humble banget apalagi sering traktir. Wuih, kalau dia ngajak nongkrong semuanya pasti hadir, seHaris-Haris juga.

Dan Zayyan cuma butiran debu di antara mereka. Cuma ikut klub basket dan komunitas Greenpeace Indonesia, sekaligus ikut Earth Hour dan jadi staff desainnya. Dia sering insecure, dia pengen banyak main juga sama temen-temen. Pengen ikut banyak kepanitiaan. Pengen berprestasi, tapi kemudian dia berpikir lagi, masa cuma gara-gara keluarga dia harus merelakan banyak hal yang dia inginkan. Banyak orang yang bilang, tinggal di rumah bareng orang tua itu nggak gratis, bayarannya pake mental health. Apakah dia juga demikian?

---

*KRS tertutup: pembuatan Kartu Rencana Studi tanpa mengetahui dosen yang mengampu kelas tersebut.

*PKPA: Pendidikan Khusus Profesi Advokat

BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang