Way to Survive

94 16 0
                                    

Akhir Agustus 2021, seorang dosen meninggal karena covid. Kasus kematian Covid-19 mencapai 2000 per hari. Sampah masker mencapai 863.15 kg per bulan. Banjir di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan (entah karena hujan atau karena tak ada lagi hutan). Utang Indonesia mencapai 500 triliun rupiah.

"Ooohh, namanya Kak Zayyan."

Aku duduk di teras belakang rumah. Memandangi langit, mandangin yang jauh-jauh biar otot matanya nggak kaku liat laptop terus. Kakaknya barusan menjawab, seperti biasa melalui VN. Aku memencet tombol play dan sayup-sayup suara hujan terdengar sebelum suaranya yang renyah dan ringan mengudara.

ehmm... aktivis, kontributif, prestatif? kamu nanya aku di bagian apa (suara tawa) tebak deh. gimana ya jawabnya, bingung juga. kamu bilang kalau orang-orang di sekitarmu banyak menuntut bahwa lawstud harus vokal. setuju nggak setuju, realitanya emang gitu (suara tawa lagi) kalau mau based on profession yaaa aktivis bisa jadi DPR atau bahkan selamanya jadi aktivis, prestatif bisa jadi akademisi, dosen, profesor gitu misalnya, kontributif mungkin both of that or not both at all... (jeda sejenak, suara hujan) kok agak oot ya.

Satu voice note selesai dan aku tertawa. VN selanjutnya kuputar.

sebenernya tergantung interest masing-masing sih, gimana mau ngejalanin kehidupan kampus juga kan nyesuaiin tujuan kita kuliah mau apa. nah di kampus ada 4 tuh, ada lembaga publik, lembaga akademik, lembaga keagamaan sama lembaga sosial... Nadanya mendadak serius.

publik tuh kek BEM, DEMA, HIMA tapi di FH nggak ada. kerjaannya ngeproker dan bisa banyak ketemu orang. jejaringnya bakal luas. kalau akademik nanti bisa ikut lomba, kompetesi. yang dibahas kayak penelitian-penelitian, contohnya kek Sekolah Ilmiah Mahasiswa gitu. ada tuh UKM di FH dan emang sering banget ikutan. ehmm... terus ada keagamaan ya biasalah kek rohisnya mahasiswa gitu. yang terakhir lembaga sosial itu biasanya urusannya di luar kampus, komunitas seni dan fotografi, komunitas lingkungan gitu-gitu. mahasiswa kontributif biasanya di sini, yang aktivis biasanya di BEM, yang prestatif ya di akademik.

Satu dua burung lewat di angkasa saat pesan suaranya berakhir. It's better than ospek, rasanya menenangkan bisa diterangkan sebegitu jelas dan rincinya. Tapi, yang dari tadi aku pikirkan adalah Kak Zayyan ini ada di lembaga mana. Apa jangan-jangan kakaknya mapres? Atua jangan-jangan punya komunitas anak jalanan? Kali aja kan ya. Biasanya anak BEM famous, tapi kalau virtual gini nggak kelihatan. Oohh, akun instgaram biasanya bisa jadi petunjuk.

Dengan semangat stalking aku menuju Instagram, mencari nama Zayyan. Aku menggaruk kepala saat menemukannya, agak nggak nyangka mahasiswa semester lima jumlah followersnya lebih sedikit daripada maba, maksudnya bener-bener dikit banget. Cuma 250an. Setengah angkatan FH doang itu. Padahal kan biasanya awal-awal masuk banyak mutualan. Dari postingannya yang isinya bener-bener random, tanaman gantung, mesin tik, gambar ilustrasi nggak ada yang bisa jadi clue. Tiga puluh postingan total. Followingnya pun nggak banyak-banyak banget.

"Kamu ngapain?" Tanya Ibu dari arah dapur. "Mikirin tugas? Sampe berkerut gitu dahinya."

Aku yang agak kaget cuma mengiyakan. "Iya bu, tugasnya berat eh."

"Tugas apaan?" Ibu makin penasaran, tangannya sibuk mencuci apel.

"Analisis manusia."

"Hah?" Gantian dahi Ibu yang berkerut.

"Oh iya namanya Asya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Oh iya namanya Asya. Kan ada di KRS." Dia tertawa geli.

Zayyan beranjak dari kursi belajarnya, mengambil semprotan air. Tanaman gantungnya butuh disiram. Habis ini dia harus ikut meet daring terakhir kepanitiaan ospek. Antara asyik dan melelahkan. Harus nyiapin ppt buat presentasi sama persiapan oprec komunitas. Benaknya terus menggumamkan hal-hal apa yang harus dia lakukan hari itu.

"Kaaakkkk!" Teriak Rafina dari luar kamarnya.

Zayyan melongok keluar kamar. Masih membawa semprotan air.

"Tugasku apa?"

"Oh iya." Dia meletakkan semprotan, mengambil hape. Melihat grup kelasnya Rafina. Adik bungsunya tiba-tiba sudah duduk di pinggir kasurnya.

"Mengerjakan tematik halaman 23, sama membuat kolase dari bahan-bahan alami?" Dia mengernyit.

Rafina terdiam. Mencoba mengingat-ingat kerajinan tangan dari bahan alam. "Oohh, guruku biasanya pakai biji-biji gitu kak."

"Biji? Dimana nemunya?"

Rafina diam lagi. "Beli?"

Zayyan meringis. "Yaudah kamu kerjain tematikmu dulu aja."

Rafina menyilangkan tangan, hormat. "Siap bos." Ia berjalan keluar kamar. Andai Reza segampang itu disuruh nugas. Batinnya.

Zayyan mengikuti, tapi ke dapur. Mencuci piring sambil bersenandung. Yang dibatin tiba-tiba datang, mengambil air. Masih agak marah karena gimnya dihapus, tapi akhirnya manut buat belajar sungguh-sungguh. Sampai curhat ke mama, Bang Zayyan tega katanya, tapi sama mama malah dimarahi, harusnya Reza nurut, masih mending nggak dibalikin ke asrama.

"Za, ada surat edaran kemarin. Katanya bentar lagi seluruh santri wajib kembali ke asrama."

"Halah, bohong."

"Beneran eh, tuh lihat di hapeku."

Reza manyun, meraih hape abangnya di atas kulkas. Membuka password. "Dimana?"

"Di file, cari surat edaran gitu."

Zayyan selesai mencuci piring, adiknya terpaku di depan hape miliknya. "Aku mau jemur dulu. Udah kamu masukin pengering kan tadi?"

Reza mengangguk patah-patah, reaksinya lebih parah daripada saat Zayyan menghapus gimnya. Zayyan menahan tawa.

"Ini beneran bang?"

"Yaiyalah, ngapain aku iseng ngedit." Zayyan mengambil sejumlah hanger, mengeluarkan ember.

"Ya kali aja, abang kan jago."

Zayyan tertawa. "Sana barang-barangnya disiapin."

Reza meletakkan kembali hape Zayyan di atas kulkas. "Nggak pengen bang." Ujarnya sedih, ia mendudukkan diri di kursi halaman belakang. Tempat yang biasa diduduki Zayyan untuk mendengar suara air dari kolam.

"Lha kenapa?"

"Nanti rasanya kayak adaptasi lagi."

"Halaahh, kan sering ngobrol juga toh di WA. Santai ajalah."

Reza masih manyun. Tatapannya menerawang. "Abang dulu tiap balik asrama apa nggak sedih?"

Zayyan tertawa, tangannya terampil menggantungkan pakaian. "Ya sedih, tapi ya gimana ya. Kalau emang udah niat disitu, berusaha nyaman-nyamanin diri aja sih. Kan dulu kamu juga yang mau ke sana. Harus tanggung jawab sama pilihan dan keputusan sendiri, abang yakin Reza udah gede."

"Iya sih, di sana juga main basketnya seru."

"Nah kaann." Zayyan tertawa lagi. "Gitu dong semangat."

Reza tersenyum, seolah lupa bahwa sosok di depannya yang telah menghapus gim pembawa bahagianya. "Abang nggak kuliah?"

"Iya, masih nanti siang. Lah kamu nggak zoom?"

"Oiya." Reza langsung kalang kabut masuk ke dalam rumah.

Zayyan cuma bisa geleng-geleng, kembali berkutat pada apa-apa yang harus diselesaikan. Selesai menjemur di halaman belakang, ada beberapa pesan masuk ke hapenya, ia membuka salah satunya.

Zayyan, jangan lupa makan.

Jangan lupa berjemur, mataharinya hangat lho. Olahraga juga, masih muda moso rebahan terus?

Jangan sering-sering main keluar kalau nggak ada perlu, covid lagi tinggi ini.

Vitamin, madu sama obatnya masih ada kan?

Zayyan berkaca-kaca, biasanya dia yang mengingatkan orang lain tentang itu semua.

BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang