98 Km

429 28 0
                                    

Awal Agustus, 2021. PPKM berlanjut, lonjakan positif Covid 19 masih tinggi, vaksinasi mulai digalakkan.

Hampir seratus kilo, kalau jalan kaki udah kayak lintas alam soalnya bakal berada di ketinggian hampir 500 meter di atas permukaan laut, gunung-gunung gitu pemandangannya. Butuh 20 jam kalau jalan kaki atau 2 jam 22 menit pakai kendaraan pribadi. Tak ada kereta, tak ada pesawat. Aku sedang membicarakan jarakku sekarang yang sedang zoom ospek di rumah dengan kampusku. Ini hampir jam setengah dua belas, tampaknya ospek offline di bawah terik matahari adalah pilihan buruk, tapi tak juga lebih baik dengan mata menatap layar, badan tak boleh gerak sembarangan hingga minum pun harus siap sedia di samping lengan.

Tak ada yang menarik dari ospek selain, yeay sudah jadi mahasiswa, sudah dewasa, bukan bocil lagi. Sementara itu, tugas-tugas terus berhamburan minta diperhatikan. Kalau kata mbah yang biasa ngopi di warung deket rumahku, urip iku sawang sinawang, yang kecil minta cepet besar, yang besar pengen kembali kecil. Kadang hidup dalam ketidaktahuan itu menyenangkan dan menenangkan.

Sedangkan aku yang selalu hidup dalam ketaatan, maksudnya bukan orang yang suka neko-neko gitu, jadi ya aku nurut saja duduk di depan laptop seharian. Kalau online, kena mental iya. Kalau offline, kena fisik iya, kena mental lebih lagi. Mungkin ospek ini bisa jadi refleksi bahwa ada beberapa yang perlu disyukuri selain semakin bertambahnya minus kacamata—aku tidak berkacamata, tapi mata kananku buram. Malas bilang ke orang tua, nanti deretan omelan untuk berhenti main gadget semakin bertambah.

Setelah dua pekan lalu mendapat paket berisi jas almamater, yang akhirnya teronggok tak berguna di lemari, aku terpikir satu dua hal saat menerimanya. Bukan warna yang aku inginkan sebenarnya, tapi ada yang bilang, kamu harusnya bahagia kalau dapet hal yang nggak kamu inginkan, soalnya itu keinginan Allah buat kamu. Kadang aku berpikir, kalau yang kita dapet kayak semacam hal buruk gitu, berarti Allah ngasih kita hal buruk gitu? Buat yang nggak open-minded pasti langsung mikir aneh-aneh. Ni anak nggak bener. But, hey... ada yang jawab, yang tahu takdir dan jalan hidup kita cuma Allah, jadi kalau kita ditaruh di sini, diarahin ke sini, berarti kita jangan sok tahu dan maksa ke sana. As simple as Allah tahu mana yang terbaik buat hamba-Nya.

Dan lagi-lagi aku nggak berani bertopang dagu, takut nanti di akhir acara namaku disebut terus suruh bikin review pasal undang-undang atau resume jurnal internasional. Aku cuma bisa duduk tegak, diam, kaku. Lihat hape pun nggak berani, pindah ke iPusnas di laptop pun juga nggak berani. Sehebat ini efek ospek buat maba.

Maybe not all, karena kemudian ada yang dihukum dan ditahan sertifikat ospeknya gara-gara dia main bola jam 9—padahal ospek mulai jam setengah delapan—terus bikin story WA. Kayak, ya sia-sialah kabur ospeknya kalau ujung-ujung ketauan gegara story sendiri. Pas denger nama dia dipanggil dan grup ospekku langsung rame bahas dia rasanya kek gemes aja, main bola tiga jam dengan taruhan ospek lagi tahun depan atau bahkan bisa nggak dapet jatah skripsi kayak nggak worth it gitu. Aku nggak tau itu mitos buat nakut-nakutin atau emang sertifikat ospek sepenting itu(?)

 Aku nggak tau itu mitos buat nakut-nakutin atau emang sertifikat ospek sepenting itu(?)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akhir 2020, dia membenci segala hal yang berbau virtual. Memang, benar sekali bahwa teknologi menghubungkan manusia di masa pandemi seperti ini agar tetap saling terkoneksi meski ruang tak lagi memadai. Entahlah, teknologi bisa jadi narasi society 5.0 yang menyebutkan bahwa manusia tak lagi bisa lepas darinya, karena teknologi sudah melekat menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Mungkin tak bisa lagi teknologi disebut candu jika sudah menjadi bagian primer hidup manusia.

Zayyan sibuk di depan laptopnya, memberi pengarahan pada para kakak asuh yang rata-rata adalah mahasiswa angkatan 2020. Dia sendiri menjadi koordinator kakak asuh. 45 menit lewat, semoga dengan cuap-cuap yang sampai harus ngabisin sebotol 500 ml Tupperware, mereka yang mendengarkan bisa paham.

"Kak Zayyan?" Seseorang muncul dari luar kamarnya yang pintunya terbuka.

Dia mematikan mikrofon. "Hmm?"

"Galonnya abis kak. Haus bangeeett." Ucap adiknya pelan dari seberang kamar.

Rafina, 11 tahun, gadis kecil berambut sebahu itu bermain-main dengan pintu kamar kakaknya. Membentur-benturkan punggungku ke sana.

Dia menoleh. "Kamu kok nggak bobok? Dah malem."

Rafina nyengir, "Iya abis ini. Itu Kak Reza nggak mau angkat galonnya."

Zayyan menahan tawa. "Reza kan habis patah tulang. Minta dia buat ambilin air aja. Nanti kakak yang angkat galonnya."

Rafina berdiri di depan pintu, cemberut. "Nggak mau ih, Kak Reza dari tadi diem aja."

"Yaudah ini ni nih." Zayyan memberikan botolnya yang airnya tersisa seperempat. Rafina mendekat, meraih botol ungu tersebut.

"Mama mana?"

"Mama dah bobok. Makasih kak." Rafina pergi membawa botolnya, rapat berlanjut.

Kaki dan punggungnya pegal. Setengah jam kemudian, rapat berakhir. Malam semakin larut, tapi lampu kamarnya masih menyala. Sekaligus pikiran-pikiran manusia yang tinggal di dalamnya. Ini semester lima dan tahun ketiga kuliahnya. Masih awal, masih banyak yang bisa digali dan dicari lagi. Apa? Pengalaman. Tapi entahlah, di umur 20an ini rasanya kebutuhannya harus beririsan dengan kebutuhan manusia umur 30an. Mereka menyebutnya, menjadi dewasa sebelum seharusnya.

Bukannya menyalahkan keadaan, tetapi mencoba berdamai dengannya tak juga menjadi mudah. Dia bersandar di ujung ranjang, memeluk bantal-bantal. Adiknya yang tak mau kembali ke asrama--alasannya 'masih covid, kak'. Perbaikin pompa air yang macet. Adiknya satu lagi habis patah tulang. Sedang Ayah jauh di sana. Bekerja di luar kota. Kembali hanya di waktu-waktu tertentu saja. Bukan rindu, tapi ngelu.

Tubuhnya berpindah posisi, tetapi pikirannya masih di masalah-masalah yang sama. Oiya, jadi kakak asuh untuk ospek. Dia menarik napas. Mungkin harapannya sama seperti para maba, ospek ayo buruan selesai!

Dia bangkit, mengambil sebuah notebook bersampul batik dengan tulisan 'hidup itu berat, biar dia saja' dari tas yang teronggok di atas meja belajarnya. Membersihkan permukaan meja, menyingkirkan buku-buku, talenan, kuas, cat. Zayyan membuka blog dan notebook-nya, matanya luwes memindai sedang  jemarinya terampil memindah kata-kata. Menulis itu pelarian, kala dunia sedang berkejaran denganmu.

BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang