Kak Zayyan centang satu, ya sudahlah. Mungkin sudah bersama orang lain, tapi kuharap sedang ingin sendiri saja. Daripada berpikir kemana-mana, akhirnya aku membaca ulang chatroom kita di WA. Semuanya rata-rata berisi voice note yang membuatku teringat akan podcast yang lama tak kusentuh karena sibuk dengan kegiatan SPB yang kuikuti.
Beberapa VN kubintangi, lagi-lagi aku tersenyum sendiri saat mendengarnya. Suara hujan yang menjadi latar, suara Kak Zayyan yang menyenangkan, kata-katanya yang menenangkan. Nggak bikin bosen karena semuanya kedengaran kek podcast. Cuma kualitas audionya aja yang mungkin nggak maksimal, tapi kualitas isinya bener-bener bikin aku waah banget. Kak Zayyan totalitas banget jadi mentor, aku nggak berekspektasi sampai sejauh ini, tapi Kak Zayyan bener-bener berusaha bimbing aku sampai sejauh ini.
Ketika aku baca-baca ulang, kadang aku ngerasa malu. Aku jadi bisa membandingkan, bagaimana diriku ketika menjadi maba sampai akhirnya sekarang setelah UTS. Mungkin hanya 3-4 bulan, tapi aku bisa merasakan perbedaan itu sedikit demi sedikit. Iya, aku masih takut dengan lingkungan FH. Iya, aku masih minder dengan diriku sendiri. Iya, aku masih belum bisa percaya diri.
Kakaknya pernah bilang, ketakutan itu hanya ada di kepalamu. Ia hadir di hati dan makin besar ketika dipikirkan di kepala. Katanya dulu dia pernah punya motto, "Jangan dibayangin, tapi dihadapin." Dan ketika aku merenungkannya, iya juga ya. Apalagi di masa pandemi, masa-masa online. Manusia yang makhluk sosial, tiba-tiba jadi terisolasi dan memang ada penelitiannya bahwa manusia yang terisolasi itu bakal ngerasa 'sakit'. Terlalu banyak pikiran itu bikin sakit. Terlalu takut dan khawatir itu bikin sakit. Terlalu banyak hidup dengan bayangan dan bayang-bayang itu bikin sakit. Jadi ya simpelnya, jalanin aja. Lagi, Kata Kak Zayyan, you got dreams to chase, not people to impress.
Membaca dan mendengarkan ulang percakapan itu meski tampaknya konyol--Rahma menertawakan ini--membuatku sadar bahwa media sosial banyak memberi pengaruh. Ia bisa membangun sebuah ikatan, bahkan rasa. Ada yang berekspresi lewat tulisan, emoticon, emoji, bahkan stiker dan gif juga meme. Berinteraksi secara virtual tampaknya membentuk norma-norma baru, sesuai dengan persepsi masing-masing pembaca pesan. Jawaban iya dan iyaa bisa berbeda arti. Huruf kecil dan kapital bisa menunjukkan intonasi yang berbeda. Emoticon menangkupkan tangan adala salah satu atau malah satu-satunya emoticon untuk sesuatu yang formal.
Satu voice note yang sampai sekarang masih terngiang adalah sebuah VN berdurasi 1 menit 13 detik, Kak Zayyan bernyanyi. Kalau aku baca penyebab Kak Zayyan nyanyi, aku ngerasa malu banget. Entah kenapa waktu itu aku ngerasa bener-bener kecil, bener-bener pemalu, penakut, khawatiran. Aku malu kalau bayangin kondisiku waktu itu kayak apa. Sekarang aku bisa malu, tapi entah kenapa dulu itu rasanya berat dan menjerat banget. Lagu yang dia bawain nggak familiar sih dan pas aku nyari kayak nggak nemu gitu.
the sun will set, moon will rise. my days and nights feel like their rewind. it could be nice. but nothing seems to take me by surprise.
people keep on telling me that you're young and free. youth is when i feel like i'm the best me. and even if sometimes i feel like i'm under the weather. hoping that tomorrow will be so much better.
the road ahead is dark. oh will i make it far? i'll take a chance. and follow the voice that speaks in my heart
and even if i end up losing my direction. there's someone i can lean on. don't worry if you don't know. you'll learn which way to go. and soon you'll see that every day won't always go your way. life is a blur, you will be alight. you'll find your path when you read all the signs.
even if the world turns the other way around. when you're lost you will always be found. hold my hand cause wherever we go. i'll be with you oh~
35 jam kemudian. Terlalu lama, keluarga sudah khawatir. Pemasangan ventilator ini beresiko. Zayyan tahu, keluarganya tahu. Dokter bilang, mereka sengaja menidurkan Zayyan lebih lama agar tidak ada fighting dari mesin ventilator ke napas pasien.
He's sleep more than 24 hours. Sekilas dilihat tampaknya seperti seseorang yang sudah mati. Diam, tak bergerak. Tanda kehidupannya hanyalah monitor-monitor di samping ranjangnya. Penuh angka, grafik, garis.
ICU sepi, tapi ramai. Rumah ramai, tapi sepi. Mamanya sudah berangsur-angsur membaik, Rafina juga. Akhir-akhir ini Mama merasa tak bisa menjaga keluarga dengan baik. Mama diam, tapi banyak pikiran. Apalagi saat isolasi mandiri yang mengharuskan ia sendirian. Pikirannya tertuju pada Zayyan, bagaimana anak sulung lelakinya itu bertahan di rumah sakit sendirian?
"Ma, Kak Zayyan kapan pulang?" Tany Rafina saat berjemur bersama di belakang rumah.
Mama termenung sejenak. "Berdoa ya, bentar lagi pasti pulang."
"Kok Kak Zayyan bisa sakit sih Ma? Kak Zayyan kan kuat." Rafina mengerutkan kening, seolah itu pertanyaan yang lama ia pendam dan ingin ia tanyakan.
Mama tersenyum getir. Sejujurnya bagi Mama sendiri yang sering ditinggal LDR dengan ayah, Zayyanlah yang selama ini menjadi tumpuan. Zayyan yang membantu mengurus usaha konveksi saat pandemi. Membantu urusan rumah saat ekonomi di masa pandemi benar-benar sulit. Sebenarnya masih ada ayah, tapi para karyawan di tempat konveksi pasti juga butuh penghasilan. Zayyan yang mengusahakan.
"Kak Zayyan kuat kok, cuma butuh istirahat." Mama menepuk puncak kepala Rafina. "Didoain ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Breath
General FictionSetiap orang yang hidup itu bernapas, tapi tidak semua orang yang bernapas itu hidup. #sliceoflife-campuslife