Momen UTS menjadi ajang saling tanya, bagaimana kondisi kelasmu saat ulangan. Ada yang sekelas berkompromi untuk berbagi jawaban. Ada yang kerja sama dengan sirkel dan geng masing-masing, telepon grup atau bahkan buka zoom meeting sendiri--udah kayak kerja kelompok. Di FH, aku tak melihat yang pertama dan aku juga tak mau mengasumsikan yang kedua. Kelas Pancasila menyuruh kita jujur, tapi siapa yang tau ketika kita saling berjauhan seperti ini dalam mengerjakan soal. Rasanya bukan hanya sekadar Ujian Tengah Semester, tapi juga ujian berani tidak lihat buku dan google nggak?
Pikiranku yang idealis ingin agar seluruh kehidupanku berjalan sesuai dengan norma-norma dan nilai kebaikan--yah, antara kebanggan dan beban sebagai anak hukum. Iya, aku menepatinya dalam beberapa hal. I say no for cheating, karena ilmu yang bermanfaat nggak bisa lewat jalan-jalan yang kayak gitu. Yeah, life is hard, of course. Tapi, hidup yang keras juga menghormati prinsip yang teguh.
Dalam hal yang lain, sepertinya tidak. Kali ini aku sedang di depan polres, jam tujuh pagi, belum mandi, dilihatin anak-anak yang berangkat sekolah dengan semangat walau hujan sejak subuh tadi belum berhenti rinainya. Aku bertanya pada ayah, ternyata polisi masuk jam delapan. Satu jam untuk mendapat tiket VIP menuju pemotretan SIM tanpa riweuh memutari angka delapan. I don't know how to call this situation. Otakku dari tadi mikir apa jawaban paling bagus kalau misal nanti ada pak polisi nanya kuliah dimana dan jurusan apa. Kayak apa kita nggak bakal sama-sama speechless sebagai aparat penegak hukum dan calon aparat penegak hukum. Tapi, nggak tau aku lagi risih dilihatin anak SMP yang naik sepeda beberapa meter di depanku. Posisiku duduk di emperan swalayan, mirip seseorang yang stres habis ditinggal pacarnya. Untung masker menyelamatkan segalanya.
Jam setengah delapan, polisi lalu lalang, parkir motor, aku lirik-lirik kali ada yang bening. Hape yang kupegang ramai, Oktober juga padat. Dua UKM aku ikuti. Satunya sekolah kepemimpinan, satunya ribet pemberkasan karya tulis ilmiah. Yang berkali-kali dibilang sesepuh benar, managing waktu pas kuliah itu penting. Nggak ada lagi ceritanya sepekan penuh fokus buat ujian kayak waktu SMA, mana aku juga sempet sakit hampir sepekan ini--gejalanya banyak, kalau ke dokter nanti covid, kalau tanya google dibilang cikungunya, tanya Ibu dibilang campak--overall aku yang kayak gembel kedinginan cuma berharap nanti pas cek suhu nggak bakal 37.5 derajat lebih.
Jadi mahasiswa walaupun online banyak juga dramanya.
Bu Rita berpesan bahwa walaupun sama-sama terinfeksi, mereka yang isoman di rumah harus tetap jaga jarak dan harus diusahakan berbeda ruangan kalau mau beraktivitas. Rafina tak suka, tapi menurut saja saat kakak lelakinya itu menyuruh dirinya untuk hanya menggunakan kamar dan melihat televisi dari kamarnya.
Sedangkan Zayyan dengan paru-paru yang kembang kempis berusaha bertahan untuk mengerjakan UTSnya. Mata merah, batuk yang menyakitkan dada, napas pendek-pendek, badan pegel-pegel, kepala cenat-cenut. Dia berusaha fokus menulis jawaban meski hidungnya mampet dan susah bernapas. Setiap kali dia ingin menarik napas panjang, hal itu akan memicu batuk. Mana batuknya sakitnya sampai otot perut. Nguap dikit sakit. Paru-paru penuh. Dan makanan yang nggak ada rasanya.
Satu jam yang mengerikan dan menyesakkan akhirnya berlalu, sekarang jam dua lebih lima belas. Dia sudah menyuruh Rafina makan siang sebelum dirinya mengerjakan ulangan. Mungkin sekarang Rafina sedang tiduran sambil nonton kartun. Zayyan terduduk lemas di kursi, bersusah payah memindahkan diri ke ranjang. Napasnya satu dua, dadanya nyeri terasa, ingin rasanya ia berteriak memanggil adiknya. Tangan kirinya berusaha meraih ponsel, tapi tak sampai. Sudah berkali-kali Inhealer mencoba membuka saluran napasnya, tapi bukannya bisa bernapas Zayyan malah merasa semakin tercekik. Seolah oksigen ditarik dari sekitarnya, sebenarnya dia tahu memalsukan keadaan sebenarnya di depan formulir kesehatan agar bisa mendampingi Rafina di rumah adalah hal yang beresiko. Dia punya komorbid dan beginilah hasilnya.
Telinganya sayup-sayup mendengar suara tangisan Rafina, kesadarannya menipis. Dia hanya bisa merasakan dirinya berpindah tempat dari satu ruangan ke ruangan lain di rumahnya, kemudian halaman. Sirene ambulance terdengar memekakan telinga, tapi tak ada keramaian, memangnya siapa yang mau menonton seorang yang sekarat karena terinfeksi virus. Namun. benaknya dari tadi hanya bertanya-tanya bagaimana Rafina nantinya.
"Raf.. Fin..." Suaranya lirih dari balik masker oksigen yang sedikit demi sedikit membantunya bernapas dengan lebih baik.
"Nggak apa-apa mas, nanti adeknya dianter ke keluarga." Sahut seorang paramedis yang Zayyan tak pernah membayangkan akan bertemu dalam kondisi memakai APD lengkap begini dengan kondisi begini pula.
Baru pertama kali ini Zayyan menaiki ambulance dengan sirene menyala, dia hanya berharap tak akan ada yang menimpuk jendelanya dengan batu. Akhir-akhir ini tampaknya sering isu seperti itu, katanya ambulance kosong buat nakut-nakutin masyarakat.
Kenapa sekalinya keluar rumah, tujuannya malah rumah sakit? Salahnya sendiri egois, pura-pura kuat di depan adiknya. Jika seperti ini kan hanya menjadi beban dan merepotkan. Para tenaga kesehatan sudah kewalahan, ditambah satu lagi. Zayyan hanya bisa memejamkan mata, salah sendiri kurang istirahat, salah sendiri nggak dengerin Mama, salah sendiri jarang olahraga.
Sesampainya di rumah sakit yang terdengar ramai, Zayyan hanya bisa memejamkan mata. Tak ingin memperhatikan sekitar, mungkin sekitar yang memperhatikannya. Masih muda kok bisa tepar kena covid, sampai masuk rumah sakit pula. Masuk ke IGD, Zayyan mendapat selang oksigen yang baru kemudian menunggu. Entah kematian atau ICU.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breath
General FictionSetiap orang yang hidup itu bernapas, tapi tidak semua orang yang bernapas itu hidup. #sliceoflife-campuslife