Life Plan #2

37 10 0
                                    

"Nah, kan delapan potongan ini dah terisi semua berdasarkan skill, passion sama karir. Sekarang dikasih nilai satu sampai seratus seberapa yakin kamu mau realisasiin life plan ini?"

Aku menggaruk tenggkuk. Memandangi layar putih dengan lingkaran yang dipotong menjadi delapan di ruang zoom milik Kak Zayyan. "Ehmm... kalau delapan potong gini terus suruh ngerate kayaknya enggak bisa deh."

"Iya nanti bakal dikurangin kok, sekarang kira-kira berapa deh?"

Aku bergumam sebentar, banyak menimbang-nimbang. "45?"

Kak Zayyan mencoret-coret layar lagi. "Mau discreenshoot nggak? Mau aku hapus soalnya."

"Iya kak, sebentar." Aku segera melakukan apa yang Kak Zayyan barusan bilang.

Layar putih kosong muncul lagi. Sebuah kursor bergerak-gerak. Angka satu sampai empat muncul dalam bentuk barisan. "Sekarang dari delapan tadi, mana yang bener-bener yakin mau diriah?"

Selama aku berpikir, Kak Zayyan sibuk menggambar lingkaran delapan potongan lagi. Di sampingnya ada tulisan, what things should you have? Setelah berpikir lumayan lama, aku menyebutkan empat mimpi yang lumayan realistis dan kalau kata Dea, karir di bidang hukum yang kira-kira nggak bikin stres.

"Sekarang untuk mencapai empat itu, apa yang harus kamu punya? Simpelnya gini selama kuliah ini jalan apa yang harus ditempuh biar kamu bisa sampai ke mimpimu. Contoh, mau jadi aktivis nih, masuk BEM atau mau jadi pengacara misal nanti bisa masuk UKM debat gitu. Ya pokoknya apa yang pengen kamu capai pas kuliah, secara akademik, secara sosial mungkin?"

Aku mengangguk-angguk, mulai paham. "Berani dan be postive. Aktif di forum, kelas atau apapun itu..." Aku bergumam sejenak. "Masuk BEM?"

Kak Zayyan mengangguk-angguk, sesekali berkomentar waah bagus, keren-keren dan ia menuliskan delapan hal yang ingin aku capai saat kuliah. Selesai menyimpan coretan itu, layar putih kosong muncul lagi. Saat Kak Zayyan fokus membuat lingkaran dengan delapan potongan, lagi, diam-diam aku tersenyum. Sejak aku kenal kakaknya dan denger suaranya yang menenangkan, kemudian akhirnya bertatap muka lewat zoom--meski aku berekspektasi--,aku tak kecewa. Sejenak aku tertegun, karena aku sadar ternyata aku udah nyaman sama kakaknya.He's not that bad. Bentar, kita lagi nggak bicarain cinta disini. Skip dulu.

"Nah delapan potongan ini diisi dengan kenapa kamu mau achive that goals?"

Sepuluh menit kemudian delapan alasan kenapa aku mau ngeraih itu sudah tertuliskan. Aku benar-benar berusaha buat ngasih pertimbangan yang realistis dan bisa aku tempuh. Aku nggak pengen ngasih alasan yang idealis karena aku orang yang lemah buat berjuang demi idealisme.

Selesai menyimpan coretan itu, layar putih kosong muncul lagi dan aku menunggu Kak Zayyan membuat lingkaran delapan potongan.

"Semester lima sibuk ya kak?"

Kak Zayyan menatap kamera, tertawa. "Yaaa gitu."

"Maaf ya kak, aku sering ngrepotin."

Kakaknya berdecak. "Udahlah nggak pa-pa, santai aja. Ayok ini diisi, who or what are you fighting for?"

Aku mengernyit. "Kok jadi mirip tiga aturan hidup bahagia ya kak?"

Kak Zayyan seketika tertawa. "Iya bener, ya namanya mempraktekkan ilmu. Eaaak!"

Aku ikut tertawa. "Iya juga ya, tadi berarti apa-apa yang pengen aku lakuin, kenapa aku mau ngelakuin itu dan apa atau siapa yang mau aku perjuangin?"

"Exactly!"

Selesai dengan pertanyaan dan menyimpan hasil coretan, lingkaran berpotongan delapan itu muncul lagi, kini dengan pertanyaan baru. What qualities you must posses to achive those goals?

BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang