How to be 20?

50 11 0
                                    

Tan Malaka pernah berkata, idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda. Buktinya ada anak 17 tahun yang milih keluar dari sekolah dan jadi aktivis lingkungan. Ada perempuan 22 tahun yang jadi founder Gerakan Perempuan di salah satu universitas di Jakarta. Ada anak-anak BEM yang sering konsolidasi buat demo kebijakan pemerintah. Ada juga mereka yang jadi paramedis dan paralegal jalanan. Mereka semua mengusung idealisme yang sama, Indonesia yang lebih baik untuk generasi kita dan generasi nanti.

Hutan yang tanpa kebakaran. Rakyat yang tanpa kelaparan. Hukum yang memberi keadilan. Kebijakan yang membawa kebahagiaan. Kebaikan-kebaikan yang kita semua inginkanlah yang diperjuangkan. Dulu waktu awal maba aku pengen bisa ikutan demo atau aksi gitu, tapi setelah melihat selentingan materi SPB tentang serba-serbi pergerakan kemudian menonton live Instagram BEM universitas saat demo tentang KPK, rasanya ngeri melihat bentrok--yang nggak besar-besar amat, tapi tetep bikin ngilu--antara aparat dan mahasiswa secara live walaupun hanya melalui layar hapeku.

Entah bagaimana waktu itu Kak Zayyan berhasil memenangkan dan menenangkan hatiku untuk mengikuti SPB. Katanya, belajar apapun, selama itu membawa kebaikan, nggak ada salahnya Sya. Aku jawab iya-iya aja, nggak sih, akhirnya aku daftar, screening dan namaku muncul di daftar penerimaannya.

Banyaaakkk banget VN-VN kakaknya yang isinya tentang tips and trick screening. Siapin SWOT diri, organisasi dan kepanitiaan yang pernah diikuti, prestasi, motivasi ikut dan komitmen. Salah satu poin yang mungkin membuat mereka tertarik memasukkan namaku meski minim organisasi adalah antusiasme dan kejujuran.

Kak Zayyan ngasih saran, poin pentingnya adalah sejauh mana kita antusias berpartisipasi di sana, kalau ternyata nggak ada antusiasme atau cuma karena ikut-ikutan atau bahkan numpang nama doang-mentang-mentang alumni SPB rumornya lumayan gampang masuk BEM fakultas bahkan univ-mungkin nggak bakal jadi pertimbangan. Terus jangan lupa buat jujur dan Kak Zayyan-lagi-bilang, bakal banyak yang daftar dan alesannya, motivasinya macam-macam yang mungkin prestasi dan riwayat organisasi yang lebih banyak darimu. Pokoknya siapin itu aja sejujur-jujurnya alasan buat belajar, seniat-niatnya kita buat berkembang , pasti nanti hati skrinernya tersentuh. Eaakk. Kak Zayyan tertawa di ujung pesan suara.

Mungkin dari saran-saran itu akhirnya hampir dua bulan ini aku ikut SPB itu. Sebenarnya masih ada beberapa VN Kak Zayyan dimana akhirnya aku memberanikan diri buat daftar. Meski tak sepenuhnya menggugurkan ketakutanku, Kak Zayyan seenggaknya berhasil mengetuk keberanianku.

Dulu tuh pas kecil, kita santuy aja nggak sih nyoba hal-hal baru? Cenderung seneng malah, tapi lama-lama makin gede, kita lebih seneng sama hal-hal yang pasti-pasti aja, yang statis, tetap. Apalagi kekonstanan yang bahagia, statis yang penuh ketenangan, tapi ada loh yang namanya happiness problems depression, kita bahas itu nanti.

Dengan suara beningnya, Kak Zayyan melanjutkan. Dulu waktu kecil kita excited belajar naik sepeda meski sering jatuh, kita excited lari-lari di bawah hujan meski resikonya masuk angin dan flu. Rata-rata anak, biasanyalah, bakal semangat keluar rumah, ketemu temen baru di sekolah, dan lainnya. Kalo menurut Herbert Mead, masa-masa itu tuh disebut tahap persiapan, dimana anak-anak banyak dapet pengenalan dan sosialisasi tentang lingkungannya, norma-normanya de-el-el lah. Duh jadi ngelantur gini, sori-sori... Aku tertawa saat mendengarnya.

Pokoknya pas kecil kita belajar hal baru tanpa takut, tanpa ragu, tanpa lelah karena kita nggak tahu apa-apa, karena kita masih di tahap mengenal. Tapi pas gede, dituntut untuk mengetahui sekaligus tahu diri. Tahu yang namanya resiko, mana aja yang disebut peluang--bahkan diajarin cara ngitungnya juga hadeehh--apa itu keuntungan, apa itu kerugian gitu. Jadi orang dewasa, nambah umur, nambah pengetahuan, kadang bikin kita jadi sempit. Kalau orang-orang sibuk spreading open minded-open minded itulah, sebenarnya manusia makin lama berpikir lebih sempit... Kak Zayyan memberi jeda, suara hujan samar terdengar. Lebih realistis. Dia menghela napas. Kita jadi nggak pengen naik roller coaster karena takut kena serangan jantung atau tiba-tiba ada kesalahan di wahananya, bisa jadi itu karena kita paham seluk-beluk perteknikan atau kesehatan. Takut buat show up di depan publik karena kita paham standar-standar nggak masuk akal dari masyarakat, ya kita tahu itu nggak masuk akal tapi tetep aja kita masukin akal kan? Kak Zayyan tertawa kecut. Semua ketakutan itu adalah hasil dari apa yang kita tangkep dan ketahui selama ini. Andai kita nggak tahu apa-apa, masih gelas kosong kayak waktu bayi. Mesti kita nggak ada takut-takutnya, karena emang kita belum tahu apa itu ketakutan yang sebenarnya. Dan sejujurnya, sebagai manusia yang katanya long life learner, pembelajar sepanjang hayat, kita harusnya bergelas kosong terus dong, harusnya 'untuk mencoba hal baru' kita musti ngerasa nggak tahu apa-apa, termasuk rasa takut itu.

BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang