Katanya habis UTS kelasnya bakal offline. Sejatinya kegiatan belajar mengajar memang bertatap muka secara langsung. Entah itu bakalan bener offline semua atau cuma beberapa kelas. Setiap orang pasti menyiapkan diri untuk suatu perubahan internal dalam lingkup dirinya. Tapi yang menjadi ketakutan di sini adalah takut tak diterima masyarakat.
Entah kenapa vibes lingkungan FH tu bener-bener luar biasa banget. Segala genre bisa ditemui, mulai dari yang alim sampai yang ekstrim. Mulai dari yang apa adanya sampai ada apanya. Dari yang hitam ke putih, kanan ke kiri, abu-abu sampai pelangi. Udah kayak Indonesia, beragam isinya. Aku nggak tahu juga sih apakah bentukan FH yang kayak gini bakal ngaruh ke masa depan hukum Indonesia atau enggak. We've been broken ever since, bahkan sejak sebelum masuk kuliah.
Bahkan teman akuntansiku yang diajar sama dosen hukum bisnis pernah bilang kalau dosen hukum tersebut ngespill gimana anak-anak FH yang kalau nongkrong di Starbucks. Udah jadi rahasia umum kali ya? Belum lagi ngampus outfit dan tasnya branded semua, di kelas semua orang nulis materinya pakai iPad, jalan sama temen naik mobil, dugem kalau abis ada acara. Is this even real?
Dan gimana caranya hidup di habitat baru yang kek gitu? Temenan sama Kak Zayyan sedikit banyak ngasih postive vibes, ya bayangin aja kuliah itu kayak kita main game. Jadiin ketakutan itu sebagai tantangan. Aku sempet khawatir banget soal ini, gimana kalau aku nggak dapet temen? Gimana kalau aku dikucilin karena punya prinsip? Gimana kalau aku dijulidin karena berprinsip? Nanti lama-lama jadi mikir, yang salah apa nih, jangan-jangan punya prinsip itu salah? Tapi lagi-lagi aku inget bahwa hidup yang keras menghormati prinsip yang teguh.
Terkadang prinsip yang awalnya kuat itu karena berbagai macam sapuan arus di FH, bukan makin lemah sih, sometimes, makin longgar. Kayak semacam setting perilaku, dimana kita jadi berusaha menggeneralisasikan diri dengan komunitas yang kita masuki. Ada rasa ingin diterima dengan menjadi mirip seperti itu. Ada rasa ingin diakui sebagai bagian dari kelompok. Meski validitas diri sendiri tak seharusnya dicari dari orang lain, tapi salah satu pondasi self esteem* adalah self of belonging, rasa keterlibatan, seenggaknya punya temen kalau nggak punya sirkel.
Maka dari itu Kak Zayyan pernah bilang, kalau nggak nyaman sama lingkungan FH, yaudah nggak cari temen dari fakultas lain. Caranya? Ikut UKM univ atau organisasi univ atau cari komunitas luar kampus. Ada banyak cara untuk mencari teman, lagipula urusan outfit itu jarang ada notis. Asalkan diri kita punya skill sosial yang bagus atau seenggaknya menyenangkan kalau diajak ngobrol, itu bisa jadi pembuka jalan bahwa kita pun berhak punya teman. Setiap kita pasti berhak memiliki teman, wajar kita makhluk sosial, tapi bagaimana kita memulainya hingga menjalani prosesnya itu lebih penting. Percuma punya teman banyak, tapi banyak nyakitin juga. Percuma bisa mulai, tapi nggak bisa ngejaga. Atau kadang awal itu nggak penting, bisa jadi ketakutan kita lebih besar daripada mengalirnya secuil obrolan setelah kita tak sengaja menginjak kaki seseorang yang--kita tak pernah tahu--mungkin bermuara pada gerbang pertemanan.
Omong-omong, Kak Zayyan akhir-akhir ini jarang update story WA, biasanya juga screenshoot jurnal internasional tentang lingkungan. Kenapa ya?
Menang dan kalah adalah kenyataan dalam hukum. Debat yang biasa terjadi di gazebo deket kantin atau bahkan yang diadakan di Aula Gedung 3 FH, pasti punya pemenang yaitu mereka yang memiliki argumentasi paling kuat. Menang dan kalah merupakan kenyataan dalam hukum. Prosedur litigasi** di pengadilan pun pasti memiliki sosok yang menang dan kalah. Menang dan kalah adalah keniscayaan dalam hukum. Maka dari itu hukum tak pernah bisa menyenangkan setiap orang. Meski lex Semper dabit remedium, hukum selalu memberi obat, nyatanya melihat dokter yang kesana kemari dari tadi lebih terasa seperti obat.
Rumah sakit penuh, meski bau-bau covid sudah mau hilang, tapi nggak tahu kalau nanti balik bawa teman-temannya. Zayyan baru saja selesai mengerjakan UTSnya yang terakhir dengan apa adanya. Kalau dulu dia pernah melihat seorang murid yang melakukan UN di rumah sakit, dia jadi merasa waahh berarti semangat belajarku tinggi juga ya.
Di ruang IGD yang penuh, di samping kanannya ada bapak-bapak yang memegang tasbih, nurse station yang tak berhenti gerak hidupnya, kakek-nenek yang daritadi batuk-batuknya masih bikin merinding. Zayyan sendirian. Semuanya sendirian di saat kita benar-benar butuh penguatan mental, butuh keluarga yang menjaga, tapi siapa memang yang bisa masuk ke ruangan penuh virus ini kecuali mereka yang memakai APD. Hanya dokter dan perawat itu yang meski lelah, tapi masih memberi pasien-pasien sesak napas di sini dengan senyuman dan kata-kata penyemangat.
Tadi pagi saat seorang perawat memberinya sebuah buku, sebotol ,madu dan probiotik, ponsel, wireless earphone dan charger yang katanya dari ayah, rasanya lebih sulit daripada pertama kali merantau atau ketika keluarga pamit pulang saat Zayyan diantar ke sekolah asrama. Rasa ingin ditemani, rasa ingin segera sehat, rasa takut, rasa bersalah, semuanya jadi satu. Belum lagi saat ada dokter yang membuatkan video call seorang bapak paruh baya yang ranjangnya ada di pojok ruangan, siapa yang tak bisa mendengar percakapan mereka di ruangan yang hening ini? Lagipula siapa yang bisa berbicara satu sama lain? Dulu saat Zayyan menjenguk neneknya, melewati ruang IGD masih terasa ramai. Masing-masing dari pasien di sini hanya bisa saling menguatkan dari tatapan mata atau bahkan dari helaan napas yang tersisa satu dua.
Sambil memandang ke pojok ruangan saat si dokter yang terbungkus APD setelah memberikan pemeriksaan membuatkan video call. Saat si bapak hanya bisa mengangguk-angguk sambil menahan sakit. Saat suara dari telepon itu terdengar, cepat sembuh pak, cepat sehat pak, cepat pulang pak. Hapenya sendiri berdering, panggilan video dari ayah. Zayyan menguatkan diri sambil memasang earphone, berusaha untuk tak membuat khawatir orang rumah yang rasanya percuma.
"Assalamu'alaikum Zayyan?"
"Iya, wa'alaikumsalam Yah." Jawab Zayyan semampunya, entah terdengar atau tidak.
Mata ayah berkaca-kaca, ia mengangguk. "Ayah sehat nak." Tampak menahan tangis, melihat perbedaan kondisi mereka.
Dari latar belakangnya Zayyan tahu Ayah di dalam mobil, mungkin masih area rumah sakit. "Maaf ya Zayyan, ayah belum bisa jaga kamu dengan baik. Makasih selama ini udah jaga Mama sama adek-adek pas ayah nggak di rumah." Ucapannya tertahan.
"Nggak apa-apa yah, nggak pa-pa." Zayyan menggeleng berkali-kali. Dia berusaha menahan air matanya, antara sakit kalau mencoba berbicara dengan selang-selang ini dan perasannya yang luar biasa campur aduk. Dia ingin bertanya soal keadaan rumah, tapi tak bisa.
"Adek sekarang udah sama mama kok. Kamu kemarin kenapa nggak bilang ke tenakesnya kalau ada komorbid?" Tanya ayah lembut, meski masih terasa seperti dimarahi.
"Maaf Yah." Zayyan berusaha menyampaikannya lewat tatapan mata.
Ayah mengusap sudut-sudut matanya. "Nggak boleh gitu ya, kesehatan itu nggak bisa diremehin Yan."
Zayyan hanya bisa mengangguk-angguk. Merasa bersalah sekaligus takut. Yah, Zayyan takut. Batinnya.
Ayah terdiam sambil menggigit bibir. "Zayyan yang kuat disana, yang penting--" Ucapannya terpotong. "Yang penting Zayyan rajin minum madu sama probiotiknya. Banyak berpikir positif juga, Ayah sama Mama bakal doain Zayyan dari sini yah? Nggak apa-apa. Nggak usah mikir yang aneh-aneh Zay, fokus buat sembuh aja dulu. Ayah disini, sama Mama sama Rafina. Zayyan hebat kok, pasti bisa cepet sehat."
Lagi, Zayyan hanya bisa mengangguk-angguk lalu panggilan itu berakhir dengan janji bahwa ayah akan menghubunginya setiap hari. Kemudian dia kembali sepi di tempat yang ramai dan penuh ini. Menang dan kalah disini juga merupakan kenyataan. Keniscayaan dengan sedikit bumbu harapan.
---
*Self Esteem (keberhargaan diri ): gabungan rasa bangga, puas, dan patut dengan apa yang kita punya, tanpa berhenti menjadi lebih baik. Penting digunakan sebagai dasar self love dengan sehat dan tepat. Pondasi lainnya adalah percaya akan diri, penerimaan identitas, rasa keterlibatan dan perasaan mampu.
**Litigasi: penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breath
General FictionSetiap orang yang hidup itu bernapas, tapi tidak semua orang yang bernapas itu hidup. #sliceoflife-campuslife