Aku bukan pelupa, cuma jadi deadliner aja. Apa yang berubah ketika aku jadi mahasiswa? Ya itu, prokrastinator dan aku benci itu. Jam satu dini hari aku terbangun bukan buat tahajud, tapi gara-gara sakit punggung. Aku ketiduran di meja belajar habis ngerjain tugas. Layar laptop udah item. Lampu belajarku masih nyala, tapi lampu kamar dah mati.
Aku nyalain laptop lagi sambil peregangan, laptop abuku pelan-pelan hidup dan aku pelan-pelan mati karena ternyata aku belum ngumpulin tugas. PANIK. Aku baru convert ke pdf tapi belum kirim ke email ospek dan ini udah lewat sejam. Pengen nangis. Sumpah.
Bodo amat, aku tetep buka email dan ngirim filenya. Sebenernya nggak semudah itu. Ketika aku akhirnya matiin laptop, matiin lampu belajar, nyalain lampu tidur terus nyungsep ke kasur yang terngiang-ngiang di kepala cuma, besok namamu kepanggil. Fix. Malunya udah dimulai dari sekarang sih.
Besoknya namaku beneran dipanggil, malu banget sumpah, tapi tiba-tiba aku inget temenku pernah bilang, kalau kamu lagi malu tuh kamu sebenernya nggak sendirian... Ada jutaan, milyaran orang di dunia yang juga ngerasain malu kek gitu itu sekarang. Inget, milyaran orang yang malu dan kamu jadi salah satunya doang, nggak perlu terlalu dipikirinlah intinya. Jadi, yaudah yang inget kejadian itu paling ya kamu sendiri sama temen deket. Nah, masalahnya itu, temen nggak ada akhlak yang suka ungkit-ungkit aib.
Sebenernya yang dipanggil namanya ada sekitar belasan, mungkin dua puluhan, tapi tetep aja rasanya bener-bener malu. Kek seorang Asya bukan orang yang bisa tanggung jawab, Asya nggak bisa diandelin, Asya dapet hukuman. Seumur-umur hal yang paling kujauhin adalah itu. Kalau bisa nggak berkonflik, kenapa harus memantik? Disini aku berusaha nenangin diri, karena sebenernya online gini tuh nggak ada bener-bener yang merhatiin kita. Jadi, ayok Asya santai aja. Duduk gelisah di depan laptop masih lebih baik daripada suruh maju di depan 450 orang asing ditambah kating-kating. Aku bergidik, cringe abis.
Hukumannya suruh nulis esay sih, jadi tugas ospekku dobel deh. Uuuhhh, bahagianya. Makalah dan esay. Kalau kayak gini terus, podcast Spotify-ku nggak bakal nambah episodenya ya Allah. Nggak boleh ngeluh, yuk bisa yuk. Bisa gila.
Grup FHahaha seperti biasa, ramai. Membicarakan ospek, orang-orangnya, masalah-masalahnya. Ada satu istilah yang terkenal sekali di fakultas hukum, dinding FH. Para kating pendahulu selalu berpesan—dan itu seolah pesan berantai dari nenek moyang—jangan pernah ceritakan masalahmu ke orang lain, bahkan mungkin sirkel terdekatmu pun, karena kita nggak pernah tahu bakal sampai mana cerita itu mengalir, menyebar, menjadi topik-topik pembicaraan di tongkrongan orang-orang. Entahlah budaya julid disini agaknya mengerikan.
Serunya kadang grup ini bisa jadi base curhat, jadi Lapak Diskusi Rabu, hingga kampanye, tapi sekarang enggak, adminnya bakal ngekick siapapun yang bawa-bawa politik kampus ke sini. Kecuali cerita-cerita tentangnya yang selalu menarik untuk diikuti, tanpa pernah bikin tertarik untuk ditekuni. Bagi Zayyan begitu.
Organisasi memang tempat untuk berkembang. Ruang kelas bukanlah satu-satunya tempat belajar, tapi dia sendiri pun menolak belajar dan berkembang melalui organisasi. He's not kind of that people. Yang famous, yang ambis, yang keren. Dia cuma Zayyan dan—sekarang—dia nyaman dengan hal tersebut.
Lucunya, dari percakapan-percakapan tak tentu arah itu, ada sebuah nomor asing yang meminta rekomendasi web jurnal. Tampaknya maba yang pusing dengan tugas-tugas ospeknya. Sejujurnya Zayyan ingin menertawakan, betapa terkadang mereka benar-benar polos, but yeah meski dia bukan anak Kemendagri BEM FH, sebagai kakak tingkat yang bermartabat, dia pasti membantu dong.
Dia mengetikkan sesuatu, beberapa referensi web jurnal. Google Scholar, Z-Library, E-Journal Perpusnas, Cambridge Core, DOAJ, Microsoft Academic. Dari 256 orang di dalam grup yang dia yakin setengahnya tak pernah menyambanginya, sepertinya cuma dia yang membalas pertanyaan dari nomor asing tersebut, yang lain sibuk meledek maba dan tugas-tugas ospeknya.
"Zayyan makan!" Teriakan mama tak mengagetkannya. "Tapi bersihin kamar mandi dulu." Dan syarat anehnya.
"Iya Ma." Zayyan berjalan keluar kamar, mengetuk kamar Reza adeknya hingga pemiliknya berteriak 'apa' dengan jengkel, dia hanya menyeringai. Lantas berjalan melewati adiknya Rafina yang menonton televisi, tangannya usil menarik rambutnya yang dikepang. Rafina berteriak, mengadu, Zayyan hanya meleletkan lidah. Rafina cemberut, mengadu lagi.
"Zayyan jangan usil." Dia hanya tertawa, sedangkan hidungnya sibuk menikmati bau oseng ayam suwir pedas yang menggelitik indra penciumannya. Cekatan dia mengambil nasi, tapi saat dia hendak duduk dan mengambil lauk lezat yang masih hangat itu, mama menahannya. "Kamar mandi."
Zayyan tersenyum—lebih tepatnya meringis. "Laper ma."
"Berarti buruan bersihin kamar mandi, biar cepet makan." Tangan mamanya sibuk mencuci alat-alat masak yang kotor setelah dipakai.
"Nanti habis makan."
"Bersihin kamar mandi atau nggak makan?"
Zayyan menghela napas. Meletakkan sendok. Berdiri. "Oke."
Beberapa langkah menuju kamar mandi, dia berhenti. "Adek nggak diajak makan?"
"Nanti lauknya habis kamu nangis, udah sana buruan. Kamu selesai, nanti adek-adek mama panggil."
Sambil mengosongkan bak dan menyemprotkan karbol, diam-diam dia tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breath
General FictionSetiap orang yang hidup itu bernapas, tapi tidak semua orang yang bernapas itu hidup. #sliceoflife-campuslife