2 - Rencana Pernikahan Settingan

1.8K 106 11
                                    

Ketika Amel mengutarakan rencananya, Adam pikir dia hanya bercanda. Namun, semakin dia perhatikan, semakin tidak ditemukan mimik bercanda di wajah perempuan semampai itu.

"Aku tahu kamu stres karena ayahmu tidak mendukung cita-citamu, tapi nggak segininya juga kali." Adam masih berusaha menanggapinya dengan santai.

"Aku serius, Dam! Kamu harus nikah sama aku!"

Ini kali kedua Amel mengatakan kalimat itu, dan kali ini benar-benar membuat Adam tercekat.

"Ayah hanya akan mengizinkan aku berkarier di dunia modeling kalau sudah menikah. Dan aku tahu banget sebenarnya itu hanya kalimat lain yang menyuruhku untuk berhenti." Amel memijat keningnya, tampak frustrasi.

Adam hanya diam mengamati.

"Mana ada model yang bisa leluasa berkarier setelah menikah? Yang ada malah waktunya akan habis untuk mengurus suami. Belum lagi kalau suaminya kebelet pengin punya anak." Amel jeda untuk menghela napas panjang. "Sumpah, ya, membayangkan aku harus hamil dan badanku akan melar, rasanya jauh lebih buruk dari semua mimpi buruk yang pernah aku alami."

Adam bingung bagaimana harus merespons. Entah kenapa dia jadi sangat berhati-hati untuk bicara. Perempuan di depannya ini tiba-tiba agak mengerikan.

"Tapi kalau aku nikah sama kamu, beda lagi ceritanya. Semuanya bisa kita atur agar tidak ada yang dirugikan."

Adam mengernyit. "Maksudnya, kita nikah bohongan?"

Amel memutar bola mata. Kenapa karyawan terbaik ayahnya ini jadi lemot begini? "Kamu pikir akan segampang itu mengelabui Ayah dengan pernikahan bohongan?"

"Terus?"

"Ya kita nikah beneran lah!"

Adam tersentak.

"Tenang aja, yang aku butuhkan hanya status istri, dan di pernikahan kita nantinya nggak perlu ada bahasan hak dan kewajiban. Kamu nggak akan terikat sama sekali."

"Itu namanya mempermainkan ibadah." Adam menggeleng tidak habis pikir. "Nggak! Aku nggak mau!"

Tampaknya Amel tidak punya banyak waktu untuk meyakinkan lelaki ini. Dia bangkit dari duduknya, lalu mendekati Adam sambil menunjukkan sebuah foto di ponselnya, yang seketika membuat lelaki itu terbeliak.

"Kenapa kamu masih menyimpan foto itu?" Wajar jika Adam panik. Di foto itu dia sedang bertelanjang dada, merangkul Amel dengan mesra, bahkan bibir mereka nyaris bersentuhan.

"Aku lupa menghapusnya. Tapi untunglah, karena foto ini kembali berguna." Amel tersenyum penuh kemenangan. "Entah bagaimana respons Ayah kalau tahu karyawan kebanggaannya ternyata diam-diam ada main sama putrinya."

"Kamu jangan mengada-ada, deh." Adam mulai geram. "Jelas-jelas kita hanya bersandiwara di foto itu. Waktu itu cuma buat kamu tunjukin ke lelaki yang selalu ngejar kamu, kan? Biar kesannya kamu udah punya cowok dan berharap dia akan menyerah."

"Tepat sekali." Amel menjentikkan jari. "Tapi kalau bisa digunakan buat yang lain, kenapa nggak?" Dia kembali ke tempat duduknya sambil tersenyum licik.

"Aku pikir selama ini kita teman. Aku nggak nyangka banget kamu bakal kayak gini. Nyesal banget dulu aku mau bantuin kamu."

"Kok, malah baper, sih?" Suara Amel lebih lantang dari sebelumnya. "Padahal sebenarnya ini nggak rumit, loh. Kamu aja yang mikirnya ke mana-mana."

Kepala Adam mendadak berdentang. Entah apa isi pikiran perempuan di depannya ini. Bisa-bisanya dia menggampangkan urusan pernikahan. "Kali ini kamu bukan hanya minta aku untuk pura-pura jadi cowok kamu, loh, atau apa pun yang selalu kuturuti selama ini. Kali ini aku harus jadi suami kamu yang nyata." Adam berucap penuh penekanan.

"Hanya status." Amel buru-buru mengoreksi.

"Apa pun itu, kita akan tetap terikat sebagai suami istri yang sah di mata agama dan hukum."

"Apa bagimu itu sangat sulit? Toh, setelah aku berhasil meraih semua impian aku, kita bisa langsung cerai. Beres, kan?"

"Mungkin bagimu akan segampang itu. Tapi aku ...?" Sesaat Adam tampak kesulitan menemukan kalimat yang tepat. Bibirnya bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara apa-apa. "Aku sudah punya perempuan yang sangat aku cintai, dan minggu depan saya berencana pulang kampung untuk melamarnya."

"Aku nggak akan menghalangi, kok. Silakan nikahi dia dulu, lalu nikahi aku juga."

"Kamu gila, ya?" Ini kali pertama Adam mengumpat di depan Amel. Selama ini dia selalu menghargai perempuan itu sebagai putri atasannya. Namun, rasanya umpatan itu memang pantas untuknya. Entah apa yang merasuki perempuan ini. Padahal, kalau mau berusaha mencari, pasti ada jalan keluar lain tanpa harus mempermainkan pernikahan.

"Terserah, kamu mau nganggap aku gila atau apa, tapi zaman sekarang ya gini, banyak orang yang terpaksa menempuh cara-cara ekstrem untuk bertahan hidup."

"Kamu bukan sedang ingin bertahan hidup, tapi dibutakan ambisi." Adam mengatakan kalimat itu dengan rahang agak mengetat.

Amel mengibaskan tangan. "Udahlah, Dam, aku ke sini sama sekali bukan untuk mendengar ceramahmu." Dia terkekeh muak.

"Kalau begitu pergilah. Kali ini aku benar-benar nggak bisa menuruti keinginanmu!" Adam baru sadar, ternyata selama ini dia cukup dekat dengan putri bosnya ini, sampai-sampai dia mau menuruti keinginan-keinginannya yang kadang memang mencengangkan. Namun, kali ini permintaannya sungguh tidak bisa lagi ditoleransi. "Aku nggak bisa mengkhianati perempuan yang paling aku cintai."

Amel malah tertawa singkat, lalu kembali menjatuhkan tatapan berkuasanya itu tepat di manik mata Adam. "Bukannya kamu selalu bilang, ya, kalau kamu ingin membahagiakan perempuan tercintamu itu?"

Di beberapa kesempatan, Adam memang pernah cerita soal perempuan pujaannya di kampung halamannya sana. Sedikit banyak Amel tahu bagaimana dia mencintainya. Karena itu dia hanya diam, karena merasa pertanyaan perempuan di depannya ini bukan untuk benar-benar dijawab.

"Tawaran ini bisa jadi batu loncatan kamu untuk membahagiakan dia."

Adam mengernyit tajam. Apa lagi maksud gadis ini?

"Kamu tahu, kan, aku pewaris tunggal Cempaka Grup. Kalau kamu jadi suamiku, otomatis aset itu juga akan jadi milikmu. Dan setelah kita cerai nanti, kamu boleh memilikinya 60%, karena saat itu tiba, aku mungkin sudah wara-wiri di catwalk internasional." Amel tersenyum penuh semangat membayangkan impiannya.

Adam sadar, rencana Amel benar-benar gila. Namun, di sisi lain diam-diam dia mulai menimbang. Zaman sekarang mencari pekerjaan bukan perkara mudah. Dia juga sempat terseok-seok sebelum akhirnya menduduki jabatan Front Office Manager di salah satu cabang Cempaka Grup yang sangat tersohor itu. Makin lama berkecimpung di dunia bisnis, sedikit banyak Adam paham cara mainnya. Banyak orang yang menghalalkan segala cara. Bahkan lebih gila dari yang Amel tawarkan ini.

"Aku tahu kamu lelaki yang cerdas, karena itu Ayah sangat menyukaimu. Karena itu juga aku memilihmu untuk menjalani pernikahan settingan ini, karena kupikir kamu bisa mencernanya dengan mudah."

Adam menjatuhkan punggungnya di sandaran sofa, sebelah tangannya memijat kening. Semakin dipikir, kepalanya malah semakin berat.

"Aku akan kasih kamu waktu untuk berpikir, dan kamu boleh menarik jawabanmu tadi kapan pun." Amel merapat ke depan Adam, lalu bertelekan di lengan sofa yang diduduki lelaki itu hingga tubuhnya condong dan wajah mereka sangat berdekatan.

"Kamu udah baik banget sama aku selama ini, karena itu sebenarnya aku nggak tega terkesan mengancam seperti ini."

Adam bisa merasakan embusan napas Amel menyentuh kulit wajahnya seiring kata demi kata yang dia lontarkan.

"Tapi ingat, kalau sampai Ayah melihat foto mesra kita, kemungkinan besar kamu akan kehilangan pekerjaan."

Adam membatu. Dia tahu persis, Pak Gunawan paling tidak suka jika ada lelaki yang mencoba kurang ajar terhadap putri semata wayangnya ini. Ancaman Amel serupa jerat yang seketika mencekik lehernya tanpa ampun.

(☞^o^) ☞

[Bersambung]

Izin Mendua Di Malam PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang