28. Dua minggu lagi

2.5K 153 42
                                    

"Selesai." Tari tersenyum lebar, ia melihat hasil perbannya dengan bangga, ternyata usahanya sangat luar biasa.

"Gimana udah gak sakitkan?" tanyanya sambil tersenyum lebar.

Danil terus menatap Tari, ia tidak menjawab, hanya mengangguk saja. Hal itu membuat Tari mendengus sebal.

"Danil jawab! udah gak sakitkan? atau masih ada yang sakit?" Tari terus bertanya-tanya, membuat Danil gamas akan tingkahnya.

"Gak ada." Danil menggeleng, lalu kembali menatap Tari intens, "Justru gue semakin kuat, karena lo perawatnya." ucapnya sambil mencolek hidung Tari dan itu membuat Tari sepontan memukul lengan Danil pelan.

"Apaan sih lebay tau gak!"

Danil terkekeh renyah, lalu ia menjauh. Jika lama-lama menatap Tari, nanti yang ada ia semakin betah.

"Maaf." Danil menunduk, ia merasa bersalah pada Tari.

Tari menyerit heran, ia bingung dengan maksud Danil barusan. "Maaf? maaf atas dasar apa?" sungguh Danil sangat membingungkan.

"Maaf udah buat lo sakit gara-gara kehujanan kemaren." ucapnya pelan sambil menatap Tari bersalah.

Tari terkekeh kecil. "Sini." ucapnya sambil menepuk-nepuk kasur agar duduk disebelahnya.

Dengan menurut Danil duduk disebelah Tari.

"Dengerin gue ya Nil." Tari menatap Danil serius, "Lo gak salah, gue sakit bukan gara-gara lo. Tapi emang udah takdir." ucapnya lembut.

Danil menghela napas lega. "Lo gak marah sama gue?"

"Nggak." ucapnya sambil tersenyum lebar.

"Malahan gue seneng main sama lo, main sama lo itu rasanya beda banget. Gue ngerasa kesedihan gue itu ilang." lanjutnya lagi.

Jujur Tari senang sekali berteman dengan Danil, ia tidak menyangka akan bertemu Danil.

Danil tersenyum lebar, lalu menunjukan jari kelingkingnya. "Lo harus janji sama gue, dalam keadaan apapun, lo jangan pergi dari hidup gue yah, Tar." ucapnya serius.

Tari mengangguk. "Janji. Lo juga yah." ucapnya sambil menyatukan jari kelingkingnya.

Keduanya tersenyum senang, kini mereka sudah berjanji untuk menjaga satu sama lain dan tidak akan pergi meninggalkan.

*******

Tari!" teriak Dinda.

Spontan Tari dan ketiga sahabatnya berbalik. Mereka menyerit heran saat Dinda jalan menghampiri mereka.

"Ngapain tuh orang manggil Tari?" tanya Ria sambil berbisik.

Tari mengacuhkan bahunya. "Mana gue tau."

Dinda tersenyum lebar, membuat mereka menatap Dinda heran. Entahlah ada angin dimana Dinda seperti itu.

"Ada apa?!" tanya Tari langsung the to point.

"Yaela Tar tuh muka jutek amat, kaya gitu pasti karena kalah saing lo sama gue?!" Dinda terkekeh pelan.

Rena maju, ia menatap Dinda tajam. "Kalau ngomong tuh langsung ke intinya, gak usah ngomong sana sini!" lalu mendorong bahu kiri Dinda pelan.

"Etssss, santai napa." Dinda terkekeh pelan, lalu menepuk-nepuk bahu kirinya pelan, "Gak usah sentuh gue!" ucapnya sambil menatap Rena tajam.

"Lo makin ke sini makin kurang ajar yah, gue perhatiin lo banyak tingkah banget!" Rena menatap datar, diperhatikan malah samakin jadi-jadi ternyata.

Dinda mengibriskan rambutnya, ia menatap Rena. "Kalau ia mau apa lo, hah?! wajarlah gue banyak tingkah orang gue orang kaya!" sombongnya.

Rena, Ria dan Qilla tertawa kecil, memang Dinda semakin kesini semakin ngelunjak, tidak tahu diri dan so kenal.

"Gue aja yang kaya gak gitu-gitu juga kali!" ucap Rena kesal.

"Udah, udah!" ucap Tari, lalu beralih menatap Dinda, "Ngapain lo panggil gue?!" tanyanya.

"Upss lupa." Dinda menutup mulutnya, lalu ia tersenyum. "Gimana udah bisa lupa belum? gue harap lo lupain cowok gue dari sekarang–"

"Sekarang apa?" potong Tari, ia menatap Dinda serius, "Denger gue baik-baik. Gue udah gak tertarik sama cowok lo lagi, lo ambil aja, gak usah ribet!"

Dinda melipatkan kedua tangannya di dada, ia tersenyum miring. "Bagus deh kalau lo udah lupa. Karena bentar lagi gue sama Al bakal tunangan." ucapnya sombong.

"Oh!"

Rena, Ria dan Qilla tertawa, mereka tertawa atas jawaban Tari sesingkat itu.

Ria tersenyum miring, ia menatap Dinda remeh. "Gak usah pamer baru juga tunangan, itu pun kalau....."

"Kalau jadi, kalau gak jadi gimana? upss!" potong Qilla sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Ketiganya kembali menertawakan Dinda, membuat Dinda mengepal kedua tangannya, ia menatap mereka marah. "Awas lo pada!" kesalnya, lalu pergi dari hadapan mereka.

Mereka tertawa mengejek, ternyata nyali Dinda segitu doang. Memang tidak sebanding melawan mereka.

Tari hanya tersenyum, malas sekali berhubungan dengan Dinda yang so kenal itu. Jujur ia ingin sekali melawan Dinda habis-habisan. Tapi sayangnya, ia sudah terlanjur janji dengan Danil dan ketiga sahabatnya juga.

Berjanji bahwa semuanya gak harus di diselesaikan dengan amarah, harus di salah satunya yang mengalah dan kali ini Tari lah yang harus mengalah dan mengikhlaskan semuanya.

******

"Al, kapan tunangan kita dimulainya?" tanya Dinda, ia menatap Alvaro sebal, "Kamu bilang secepatnya, tapi sampe sekarang nggak aja!"

Alvaro menghela napas, lalu mengelus-elus rambut Dinda sayang. "Secepatnya." jawabnya, membuat Dinda langsung memekik senang.

"Kapan Al? bulan depan atau minggu depan?" tanyanya dengan mata berbinar.

Alvaro tersenyum, ia kembali mengelus rambut Dinda. "Dua minggu lagi."

Jelas Dinda menatap Alvaro melotot sempurna. "Kamu serius Al? kamu gak bohongkan?"

Alvaro terkekeh kecil, lalu mencubit kedua pipi Dinda gemas. "Aku serius sayang, mana pernah aku bohong sama kamu."

Dinda tersenyum senang, lalu memeluk Alvaro dengan senang. "Makasih sayang."

Alvaro mengangguk, lalu ia menatap Dinda serius. "Kamu juga gak pernah bohongkan sama aku?" tanyanya.

Deg!





👽💫👽

Votment dan Share juga yah ceritanya  🧡

Folow juga akun ini

Terima kasih 👋
👇

ALVARO [PRE ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang