"Ibu harap hal ini nggak terjadi lagi ke depannya. Dan pelajaran untuk kamu Tisa, hidup orang nggak semuanya beruntung, kamu nggak berhak mengklaim bahwa hidup seseorang itu buruk. Belum tentu, yang kamu anggap buruk, bakal buruk juga di mata orang."
Setelah penjelasan panjang yang Bu Tila tentang kabar pengeluaran kami dari kampus, akhirnya pihak dekan dan rektorat mau memberi kesempatan. Dan mereka juga sudah meminta maaf kepada pihak penyelenggara event sehari setelah kejadian itu. Dengan harapan tidak nama baik kampus tetap terjaga.
Kami berdua duduk bersebelahan di depan meja Bu Tila. Kali ini wajahnya tampak lebih tenang dan nada bicaranya juga santai. Aku menjawab "baik" pada setiap ucapannya yang kurasa tertuju padaku sambil terus menunduk. Tak lama, Bu Tila mempersilakan kami untuk keluar. Tisa lebih dulu bangkit, dan aku menyusulnya yang sudah keluar dari pintu.
Di ujung tangga sebelah kiri, tampak Wina yang sedang memainkan ponsel menyadari kedatangan Tisa. Wina bangkit dan menuruni tangga bersama Tisa.
"Tisa."
Aku berjalan lebih cepat untuk melihat apa yang Wina lakukan.
"Apaan, sih!" Tisa mengenyahkan tangannya yang dicekal Wina dengan kasar.
"Gue mau minta penjelasan lo soal chat lo sama Wulan," ucap Wina. Mereka ada di tengah-tengah tangga menuju lantai dua. Aku pun menghampiri Wina, berniat mengajaknya pergi sana.
"Bukannya dia udah ngasih tahu sama lo?" Telunjuk kiri Tisa mengarah padaku yang masih separuh jalan.
Wina menoleh padaku sebentar, lalu menatap Tisa lagi. Aku pun berhenti di empat tangga terakhir. "Gue mau lo ngasih tahu, maksud dari semua kebusukan lo ini apa?"
Tisa mendecih. Ia memalingkan muka, lalu menatap tajam ke arah Wina. "Maksud gue? Udah gue bilang 'kan, kalau gue nggak bakal bikin hidup dia tenang. Dan lo...." Dia menunjuk ke depan Wina. "Harusnya lo sadar nggak usah belain dia yang udah jelas-jelas ngekhianatin lo."
Wina geleng-geleng kepala. "Sekarang gue tahu alasan kenapa gue harus ada di samping Wulan lagi, karena dia nggak pantas temenan sama orang yang hatinya busuk kayak lo!"
Aku kembali melangkah, takut suasana panas itu malah memancing perhatian para ketua jurusan. "Udah, Win. Yuk pergi aja," selaku menengahi mereka yang masih berbalas tatapan tajam. Kugenggam tangan Wina dan membawanya pergi dari sana.
"Awas aja kalian. Gue nggak bakal berhenti sampai sini!" ujar Tisa setengah berteriak. Aku semakin mempercepat langkah hingga kami sampai di lantai satu dan keluar dari sana.
"Pengen gue jahit mulut dia!" cerocos Wina saat kami baru saja keluar dari pintu.
"Udahlah, Win. Gimanapun lo lawan dia, nggak bakal bisa karena temennya banyak. Lagian biarin aja sih, nggak bakal ada abisnya kalau membahas dia terus." Aku mencoba mengajak Wina berpikir waras, bila melawan Tisa adalah hal gila yang tak seharusnya dicoba.
"Ya, tapi dia itu keterlaluan. Aneh banget sih jadi orang."
Aku menoleh, mendapati wajah dongkol Wina menatap ke arah depan. Kami memutuskan untuk ke parkiran. "Ya udahlah, Win. Nggak usah diladeni. Lo bakal capek."
"Lo capek juga ya pasti?"
Pertanyaan Wina membuatku terdiam sejenak, tapi aku terus melanjutkan langkah. Belum sempat menjawab, suara seseorang yang sangat kukenali menyapa.
"Wulan!" Aku mendongak dan melihat Tata melambaikan tangan di ujung dekat pintu masuk parkiran. Di sana juga ada Mutia yang berusaha mengeluarkan motor. "Gue tunggu di depan," kataku, lalu menghampiri Tata.
KAMU SEDANG MEMBACA
40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]
RomanceWulan Ayu Kencana sempat berpikir, jika mungkin memang tak ada kebahagiaan lagi di dalam hidupnya. Setelah semua yang terjadi pada keluarganya, ia tak lagi punya tujuan yang pasti dalam setiap langkah. Bersamaan dengan keputusan Wulan untuk berhijra...