CHAPTER 01

647 48 0
                                    


Semua kursi sudah ditata rapih lengkap dengan selimut kecil yang terbungkus plastik diatasnya. Lampu warna-warni yang tergantung serta sorot lain dari sisi panggung, semakin menambah kesan meriah. Satu persatu dari mereka yang ditangan kanannya melingkar sebuah gelang, masuk dan menempati kursi sesuai dengan nomor pada kertas tiket. Semakin lama semakin banyak yang mengisi sampai tak ada satupun yang tersisa. Ekspresinya serempak sama, terlihat bahagia dan antusias. Tidak ditemui satu wajah pun yang murung atau sedih.

Pertama kalinya dalam sejarah band lokal mampu mengadakan konser sebesar stadion sepak bola. Ditambah lagi, ini baru pembukaan. Masih panjang tour yang akan dilakukan. Tentu saja menyenangkan. Semua orang bernyanyi bersama dalam satu frekuensi.

"Udah siap?" Tanya perempuan berambut panjang yang hari ini begitu sibuk kesana kemari mengurusi acara, manager band Flicker yang biasa dipanggil Zuri. Gulungan kertas yang berisikan rundown, tak lepas dari genggaman tangannya. Sesekali dia mengangguk saat menempelkan earphone lebih dalam. Mungkin instruksi dari ruangan. "Sean mana?" Dia kembali bertanya saat menyadari vokalis utama tidak ada dalam lingkaran kecil ini.

"Bentar lagi dia kesini, biasalah." Jawab lelaki jangkung yang begitu lekat dengan stick drum ditangannya bernama Ray.

"Tapi aman, kan?" Ia nampak khawatir.

"Tenang aja dia udah bisa jaga diri kok." Timpal lelaki berhidung mancung dan satu-satunya pemiliki darah campuran Indo-Aussie dalam grup bernama Jerico.

"Oke, kasih tahu kalo Sean udah dateng. Kita mulai naik 20 menit lagi." Zuri pergi begitu saja dan kembali sibuk dengan urusan lainnya.

"Lo yakin Sean baik-baik aja?" Bisik Harsa yang daritadi nampak gelisah.

"Kalo kita jujur, bisa batal konsernya. Udah percayain sama Sean." Jawab Jerico.

Semuanya kembali duduk disofa hitam dan tenggelam dalam keheningan padahal disekitarnya begitu berisik dengan kesibukan masing-masing. Dalam hati mereka mengaamiinkan perkataan Jerico dan berharap Sean memang baik-baik saja.

Lelaki itu duduk dipojok ruangan yang bahkan tertutupi tirai hitam. Ia menunduk menatap ponsel berlayar redup. Jantungnya berdebar padahal tinggal satu langkah lagi untuk menekan icon telepon. Rasanya terlalu berat dan sesak. Tangannya gemetar dan akhirnya dia menyerah. Sean menyandarkan punggung di tembok lalu menutup mata seolah kegelapan yang ada disini masih belum cukup.

Menit berikutnya, Sean membuka mata dan kembali sibuk pada ponselnya. Kali ini tak ada keraguan sama sekali. Benda pipih itu dia dekatkan ditelinga dan terdengar dering sambungan. Satu kali, dua kali, tiga—

"Hallo?" Mendengar suara dari seberang sana membuat Sean tersenyum.

"Belum mulai?"

Pertanyaan yang kembali terdengar padahal dia belum sempat membalas sapaan awal. Kali ini suaranya berbenturan dengan kunyahan makanan, seperti mendengarkan ASMR mukbang.

"Lagi makan apa?"

"Jawab dulu pertanyaan aku!" Rengekannya membuat Sean tertawa.

"Bentar lagi aku naik." Jawabnya.

"Nanti kalau udah selesai langsung istirahat. Nggak usah bikin lagu dulu, jadwal kamu padet banget harus bolak-balik ke luar kota. Jangan sampai kurang tidur!" Omelan yang lagi-lagi membuat Sean tersenyum. Perhatian yang diberikan selalu membuatnya lebih tenang.

CELEBRITY :: parksungso [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang