Akibat dari kejadian hari itu, Sean dan Sena menjadi semakin dekat. Gadis itu selalu meminta Sean untuk menemani di jam istirahat siang dan akan mengganti dengan makanan sebagai sogokannya. Ia tak keberatan karena Ray juga terlalu sibuk dengan Almanda. Lelaki itu mungkin tak sadar kalau selama ini Sean mendapatkan teman baru.
"Sean lo mau bantuin gue, kan?" Sena yang sedaritadi sibuk dengan dialog, tiba-tiba berdiri didepannya. Sean yang juga lebih memperhatikan ponselnya untuk berlatih nada lagu yang sempat ditugaskan Harsa pun menoleh.
"Daritadi kan gue bantuin lo nemenin disini." jawabnya sembari melepas earphone kirinya. Meski telinganya tersumpal benda bulat itu, dia masih bisa mendengar suara Sena barusan.
"Bukan itu, tapi bantuin gue buat meranin ini." Sena menunjukan kertasnya lalu menunjuk sebuah paragraf.
"Nggak mau!" tolak Sean begitu tegas saat melihat adegan yang harus diperankan.
Disamping lelaki ini tak pintar berakting, dialog tersebut juga memaksanya untuk kontak fisik dengan Sena. Dia tak pernah melakukan itu dan pasti canggung.
"Ih kok nggak mau sih? Dikit kok ini doang. Gue mau latih mental sebelum ngelakuin sama Brilian nanti. Kan nggak lucu kalau malu-maluin di acara pensi." perempuan itu melengkungkan bibirnya menukik keatas disertai dengan tatapan memohon yang entah kenapa sulit sekali untuk Sean tolak.
"Sekali aja."
"Oke!! Sekali langsung jadi." seketika ekspresi Sena berubah menjadi lebih ceria. Sean yang melihatnya hanya membalas dengan deheman malas berdebat.
"Pokoknya lo tinggal lakuin ini—"
Sena bersemangat menjelaskan dengan begitu detailnya. Pemuda yang berada dihadapannya hanya bisa diam sambil mencoba untuk menngingat setiap kalimatnya. Jika boleh jujur, otaknya tak mampu menampung secepat itu. Dalam dunia musik saja Sean membutuhkan setidaknya satu malam untuk memahami lagu yang akan dia nyanyikan, apalagi ini.
"Udah paham?"
Bukannya menjawab pertanyaan Sena setelah menjelaskan panjang lebar barusan, Sean malah diam dengan pandangan yang terkunci tepat dimanik kecokelatan milik gadis itu.
"Sean?" kembali Sena memanggil membuat ia tersadar.
"Eh—hm?"
"Lo nggak dengerin gue ya?" kesalnya.
"Dengerin kok. Gue inget semua yang lo omongin tadi." Kalimat dusta yang justru semakin menjerumuskannya ke jalan yang salah.
"Coba ulangin kata-kata gue." titah Sena persis seperti guru yang baru saja selesai menjelaskan suatu materi lalu menangkap basah salah satu murid yang kedapatan tidak konsentrasi dalam pelajarannya.
"I—itu tadi—lo—gue—"
"Ah udahlah lo nggak nangkep apa yang gue omongin. Mending langsung pratek aja." nampaknya Sena tak ingin memperpanjang hal itu dan lebih memilih alternatif lain untuk langsung memulai eksekusi.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan." Sena menarik lelaki itu hingga berdiri, membuat Sean terkejut apalagi nada bicaranya yang tiba-tiba saja berubah menjadi serius.
"Menurutmu, apa yang bisa menyelamatkan dunia ini dari Madana?" sambungnya begitu lekat menatap Sean yang semakin membatu dibuatnya. Sena memberikan kode agar Sena mengambil kertas dan membacanya.
"P—Pernikahan—"
"Ah jangan terbata-bata gitu dong. Lo katanya mau bantuin gue tapi malah nggak serius." lagi-lagi Sena mengeluh dan nampaknya tak peduli dengan kegugupan yang menyelimuti Sean.
"Y—ya gue mau bantu, tapi pelan-pelan. Lo harus sadar kalau gue nggak bisa akting kayak Brilian, maklumin aja."
"Yaudah kita mulai lagi dari awal."
Sean mengangguk setelah menarik nafas panjang mencoba menetralkan hatinya yang mendadak berantakan tak tahu sebab akibatnya.
Perempuan itu kembali merapatkan jarak diantara mereka. Wajahnya hanya tersisa sekitar dua jengkal saat Sean menundukan menatapnya.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan." kalimat itu kembali terucap dari bibirnya. Tangan Sena pun bergerak dipundak Sean dan merematnya pelan. "Menurutmu, apa yang bisa menyelamatkan dunia ini dari Madana?"
"Pernikahan. Satu-satunya cara adalah menyatukan dua kerajaan dengan ikatan yang sah sehingga tidak dapat terpisahkan." mendadak Sean hafal dengan dialog itu padahal matanya tenggelam dalam tatapan Sena.
"Kau juga pasti tahu, kalau pernikahan tanpa cinta tetap takkan bisa menyelamatkan semuanya." tangan yang tadinya hanya berada dipundak, kini berpindah menyentuh pipi Sean membuat lelaki itu refleks menutup mata. Ibu jarinya begitu lembut membelai disana memberikan kenyamanan.
"Kau tak mencintaiku?" Sean benar-benar mendalami perannya.
"Harusnya aku yang menanyakan itu."
Lelaki itu kembali membuka matanya, bertemu lagi dengan kehangatan bola mata Sena yang masih setia menatapnya.
"Aku mencintaimu."
Sontak Sena melepaskan tangannya lalu menjauh dari pemuda itu. Reaksinya pun mengagetkan Sean seolah mengembalikan dirinya yang sempat hilang karena terlalu larut dalam peran.
"Ada yang salah?" tanyanya memastikan Sena tak lagi marah padanya.
"Ng—nggak ada kok. Gue balik dulu ke kelas ya makasih udah bantuin."
"Eh tapi Sen—"
Tak sempat Sean menahan kepergiannya, Sena lebih cepat berlari begitu saja. Lelaki itu menyentuh dadanya, bergerak naik ke pundak, lalu mengusap pipi tempat yang baru saja dijelajahi Sena. Hatinya mendadak berdebar tak karuan.
"Kenapa gue nggak protes sih?" sesalnya meski sudah terlambat. "Dia yang minta bantuan, dia yang marah, dia juga yang ningalin gue. Aneh banget." mulutnya bisa saja menyalahkan Sena, tapi dalam hati juga merutuki kebodohannya.
Bel tanda masuk jam berikutnya berbunyi menyadarkan Sean untuk kembali ke kelasnya. Tak ada gunanya juga terlalu memikirkan hal itu karena baik Sean maupun Sena sama-sama menolak reaksi yang muncul setelah bermain peran barusan.
Sementara di ruangan lain, Sena mati-matian menahan diri untuk tidak berteriak. Dia juga tak mengerti kenapa ingin sekali melakukan hal itu tapi tetap menahannnya.
"Udah gila!" pekiknya setelah sekian lama menenggelamkan diri diatas meja membuat seorang temannya bernama Mona yang duduk disamping terkejut nyaris melempar pulpennya.
"Lo yang gila." timpalnya.
Sena hanya menoleh dengan wajah tertekuk membuat Mona memundurkan wajahnya menjaga jarak sebab sudah paham dengan ekpresi temannya itu.
"Jangan—"
"AAAAAAA MONA GUE BENERAN GILA!!!" terikan Sena mengundnag perhatian banyak orang dan Nita hanya bisa menghela nafas kasar. Tangannya mengibas diudara memberikan kode pada teman yang lain tak usah menghiarukan Sena dan dirinya.
"Sekarang kenapa lagi?"
"Gue kan masih grogi kalau langsung adu akting sama Brilian. Gimana kalau tiba-tiba gue malah malu-maluin? Nah yaudah berhubung ada Sean, gue minta tolong aja ke dia. Awalnya nyebelin banget soalnya dia kelihatan nggak serius bantuin gue, tapi percobaan berikutnya dia berhasil." Penjelasan panjang lebar Sena membuat kening Mona mengernyit tak paham.
"Loh harsunya bagus dong kalau dia berhasil sama perannya, berarti emang serius bantuin lo."
"Masalahnya hati gue mendadak sakit waktu dia bilang kalimat terakhir. Jantung gue rasanya mau meledak."
"Emang apa sih kalimat terakhinya?"
"Aku mencintaimu." Sena bahkan masih bsia mendengar kalimat itu keluar dari mulut Sean seolah berbisik ditelinganya.
"Lo suka ya sama Sean?" pertanyaan Mona kembali membuat Sena menenggelamkan kepala diatas meja.
Sekuat tenaga Senamengokohkan diri untuk percaya kalau semua itu hanya peran yang dimainkan Sean.Tak seharusnya dia sampai terbawa perasaan padahal baru satu kali melakukannya.Dia harus kembali fokus pada tujuannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
CELEBRITY :: parksungso [✔]
Fanfic[Fanfiction Original Character Park Sunghoon 'Enhypen' ft Park Soeun 'Weeekly'] Mereka saling mencintai, menyayangi, dan menjaga satu sama lain. Hidup bahagia dengan penuh ketenangan adalah impian sederhana yang nyatanya tak direstui semesta. Pasaln...