Miya baru saja berniat untuk keluar dari kelas ketika seseorang memanggilnya. Suara feminin itu memasuki indra pendengarannya. Tepatnya suara milik seseorang pernah dekat dengannya.
"Miya-kun!"
Begitu dipanggil, Miya pun menoleh. Ia berhenti di ambang pintu kelasnya. Meskipun demikian, ia tidak menghalangi jalan keluar. Toh murid-murid yang lain sudah pulang. Hanya menyisakan Miya dan gadis bersurai cokelat di depannya itu.
"Ada apa?" sahut Miya.
"Etto... Apakah kau ingin pulang bersamaku?" Yuuna mengatakannya dengan wajah yang sedikit memerah.
"Maaf, Yuuna. Aku tidak bisa."
Kala mendengar Miya memanggil nama depannya, wajah Yuuna sontak semakin memerah. Memberikan tanda tanya yang sangat besar di benak Miya. Karena seharusnya Yuuna merasa kecewa sebab ajakan pulang bersamanya ditolak oleh Miya, bukannya mendadak tersipu seperti saat ini.
"Ada apa? Kau sakit?" tanya Miya secara beruntun dan tentu saja, justru membuat wajah merah Yuuna semakin menjadi.
Entahlah, mungkin di sini hanya Yuuna yang terlalu berlebihan.
"Aku pulang dahulu."
Miya pun berbalik dan meninggalkan Yuuna di belakangnya. Entahlah, Miya sama sekali tidak paham dengan gerak-gerik gadis itu. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah segera pergi dari sana dan latihan dengan skateboard-nya.
***
Bagi Miya, Yuuna hanyalah teman masa kecil yang tak perlu diingat-ingat olehnya. Toh mereka hanya berteman di masa kecil. Maka dari itu, ia melabeli gadis itu sebagai 'teman masa kecil'. Yang bisa diperluas menjadi 'teman ketika ia masih kecil'.
Entah apa yang membuat mereka bertemu kembali, tiba-tiba saja Yuuna pun berada di sekolah yang sama dengannya. Bahkan di kelas yang sama. Dan, hal yang paling membuat Miya terkejut ialah; Yuuna yang ternyata merupakan teman dekat (Y/n), gadis bersurai (h/c) itu. Sama sekali tak pernah ia sangka (Y/n) ternyata berteman dengan Yuuna.
Namun, di sanalah permasalahannya. Apakah Yuuna pernah memberitahu tentang dirinya pada (Y/n)? Jika pernah, apa yang diberitahu oleh Yuuna kepada gadis itu? Keburukannya? Kebaikannya? Ah, entahlah, kebaikan yang Miya lakukan sepertinya masih bisa dihitung dengan jari.
Mengingat tentang (Y/n), seketika di dalam kepala Miya muncul sosok gadis itu ketika melemparkan tatapan penuh kebencian ke arahnya. Jujur saja, Miya sama sekali tidak tahu apa penyebab lirikan penuh kebencian itu dilemparkan kepadanya. Toh ia merasa tak berbuat salah apa-apa.
Benar begitu, bukan?
Ponsel Miya yang bergetar membuat dirinya menghentikan dirinya sendiri yang sedang berlatih dengan skateboard-nya. Miya menatap ke arah layar ponselnya sejenak. Mengamati isi pesan yang muncul secara beruntun di grup kelasnya.
Penasaran, Miya pun membuka LINE. Ia membaca sekilas pesan-pesan yang belum terbaca itu. Dikarenakan terlalu banyak, alhasil Miya hanya meng-scroll yang ia anggap tidak terlalu penting.
Pandangannya terhenti pada nama yang tertera di layarnya saat ini. Pemilik nama itu hanya mengirimkan sebuah stiker tertawa tanpa suara. Namun, entah bagaimana caranya, Miya langsung menghentikan aksi scroll-nya dan menatap lamat ke arah nama itu.
(Y/n), si pengirim stiker tadilah yang Miya perhatikan. Bahkan ketika pesan-pesan yang baru telah muncul lagi dan membuat stiker yang dikirim oleh (Y/n) terdorong ke atas, entah mengapa pikirannya tidak bisa ia alihkan dari gadis itu.
Padahal ia sudah mendapatkan lirikan maut dan tatapan benci nan sinis dari (Y/n). Namun, di dalam kepalanya kini dipenuhi oleh gadis bermanik (e/c) itu. Miya ingin segera menghilangkannya dan fokus dengan latihannya saja saat ini. Namun, bukannya bertindak sesuai yang logikanya katakan, justru di dalam pikirannya semakin dipenuhi oleh (Y/n).
Alhasil Miya memutuskan untuk pulang sore itu. Ia rasa tubuhnya perlu istirahat. Oh, pikirannya justru lebih membutuhkannya.
***
Malam ini, Miya tidak dapat tertidur dengan nyenyak. Ia membolak-balik tubuhnya sendiri di atas tempat tidur. Sudah banyak posisi tidur yang menurutnya cukup nyaman ia gunakan. Namun, tidak ada satu pun yang membuatnya dapat tertidur hingga lelap malam ini.
Sama seperti author yang bergadang ketika mengetik chapter ini, Miya pun demikian. Karena ia tidak bisa terlelap-padahal ia tidak memiliki insomnia di tubuhnya-lelaki itu pun memutuskan untuk belajar. Ya, belajar. Duduk selama berjam-jam di depan meja belajar beserta tumpukan buku tebal yang terbuka di depan wajah.
Pikirannya pun mulai larut dan konsentrasinya tertuju pada soal-soal Matematika yang belum ia pecahkan. Menurutnya, tidak ada satu pun soal Matematika yang tidak memiliki jawaban. Jika jawabannya belum dapat ditemukan, itu artinya cara yang ia gunakan salah ataupun ia masih belum teliti.
"Miya-kun? Belum tidur, Nak?"
Suara milik ibunya terdengar dari balik punggung Miya. Sejenak Miya mengalihkan pandangannya dari soal-soal rumit di hadapannya dan menatap ke arah sang ibu.
"Belum, Kaa-san," sahutnya seraya kembali menatap ke depan.
"Apakah ada yang kau pikirkan?"
Pensil kayu yang tengah Miya gunakan seketika berhenti bergerak. Ia tampak diam sejenak, membenarkan perkataan ibunya di dalam hati, namun mulutnya berkata lain.
"Tidak ada, Kaa-san. Tidak ada yang kupikirkan," jawabnya lagi.
"Kau yakin?"
Miya mengangguk tanpa menoleh pada ibunya.
"Baiklah jika demikian," ucap sang ibu. Ia mendekati Miya dan meletakkan sebuah mug berisi susu yang masih hangat. "Minumlah. Kaa-san membuatkannya untukmu."
Setelah berkata demikian, wanita itu mengecup dahi Miya dengan lembut, mengucapkan selamat tidur kepadanya, lalu pergi dari sana. Miya menatap ke arah pintu yang telah tertutup rapat. Ia kembali menatap ke depan dan menyentuh dahinya di mana ibunya mengecupnya tadi.
Tatapannya kini terjatuh pada mug yang masih mengeluarkan asap dari dalamnya. Ia meraih gagangnya, kemudian menyesapnya perlahan. Rasa hangat seketika menyusup perlahan ke dalam perutnya.
Ia yakin, kini ia bisa tertidur dengan nyenyak.
***
Belakang sekolah menjadi saksi bisu pertemuannya dengan Yuuna, gadis bersurai cokelat itu. Saat ini masih istirahat. Murid-murid sibuk mengisi perut mereka tanpa menyadari keberadaan dua makhluk di belakang sekolah yang kini tengah saling berhadapan.
Si gadis tampak gugup, hendak mengatakan sesuatu. Namun, si lelaki hanya diam. Sibuk dengan pikirannya sendiri dan segera ingin pergi dari sana.
"Ano... Miya-kun."
Ketika Yuuna mengangkat bicara, fokus Miya mendadak kembali ke gadis itu. Ia tidak menunggu ataupun mengabaikan ucapannya. Yang ia lakukan hanyalah berdiri di sana dan membiarkan panca indranya berfungsi sebagaimana mestinya.
Namun, ketika mendengar apa yang dikatakan oleh gadis itu, Miya seketika membeku. Panca indranya seolah-olah berhenti berfungsi secara mendadak.
"Aku... aku menyukaimu, Miya-kun."
***
Yuuna mulai berulah, kawand—
KAMU SEDANG MEMBACA
END ━━ # . '1/6 Detik ✧ Miya Chinen
Fanfiction"Hanya butuh satu per enam detik bagiku untuk membencimu, Chinen Miya." ────── Pertemuan di antara kau dan Chinen Miya tidak terlalu baik, apalagi romantis. Melainkan seperti sebuah deklarasi perang di antara dirimu dan lelaki yang kau akui sangat m...