Suara pensil yang patah memasuki indra pendengaranku. Aku mengumpat dalam hati saat mengetahui pensil itu patah untuk yang keempat kalinya. Mengesalkan? Sangat.
Namun, aku kembali mengambil pensil yang baru meskipun masih tersisa sedikit kekesalan di dalam hatiku. Rasa kekesalan ini membuatku teringat dengan kejadian kemarin. Kejadian yang membuatku cukup kesal dan ingin melempar sesuatu.
***
Hari ini adalah tepat hari di mana aku akan memulai kehidupan baruku di bangku SMA. Tentunya dengan rumah mungil yang baru saja kutinggali beberapa hari. Rumah yang sempat dijadikan topik pembicaraan oleh orang tuaku beberapa minggu yang lalu. Tepat di saat aku memutuskan untuk tinggal seorang diri saat memasuki masa SMA.
Memang, pada awalnya orang tuaku menolak. Mengatakan jika aku masih belum sanggup untuk tinggal seorang diri dan masih perlu bergantung pada mereka. Namun, aku yang keras kepala ini tidak semudah itu menuruti perkataan kedua orang tuaku. Justru aku diberikan syarat oleh mereka. Jika aku mendapat peringkat pertama di kelas—aku tahu hal ini sangat mustahil—aku diperbolehkan untuk tinggal selamanya di rumah ini. Namun, jika aku gagal, maka aku harus kembali ke rumahku yang lama. Jikalau hal itu terjadi, barang bukti yang kusembunyikan pasti akan diketahui dalam waktu dekat.
Tentu saja, aku tidak ingin kedua hal itu terjadi.
Jadi, selama satu semester pertama di kelas satu SMA ini, aku benar-benar harus rajin belajar. Aku tahu ini terdengar sangat mustahil kulakukan dikarenakan aku bukanlah anak yang suka duduk di depan meja selama berjam-jam dan belajar di sana. Alhasil, mau tidak mau aku harus melakukannya.
Kembali lagi pada realita saat ini. Aku sudah tiba di kelas beberapa saat yang lalu. Sebentar lagi, upacara pembukaan untuk siswa-siswi kelas satu akan dimulai. Tentu saja, aku harus berpatisipasi di sana meskipun sebenarnya aku ingin menolak. Lagi pula, apa gunanya pidato kepahlawanan yang akan disampaikan oleh kepala sekolah nanti? Yang kubutuhkan saat ini adalah cara agar mendapatkan peringkat satu, bukanlah pidato kepahlawanan yang isinya serupa dengan film-film yang sering kutonton.
Para murid mulai berbaris di lapangan. Menunggu sang kepala sekolah naik ke atas podium dan memulai pidato membosankannya itu. Aku sendiri sudah menguap berkali-kali. Mataku pun telah berair. Yang kuingat setelah upacara pembukaan itu hanyalah aku yang sudah duduk di kelas. Dengan air conditioner yang membuat suasana sejuk seketika.
"(Y/n)-chan!"
Aku menoleh ketika namaku dipanggil. Pemilik suara yang sudah sangat kukenali itu menatapku dengan antusias. Sontak aku mengernyit. Apa yang membuat Yuuna tampak bersemangat hari ini?
"Apakah kau ingin bermain truth or dare?" tanyanya kepadaku.
Sama sekali tidak kuingat kapan terakhir kali aku memainkan permainan itu. Seingatku aku tidak pernah memilih truth ketika memainkan permainan itu. Entahlah, aku pun tidak terlalu mengingatnya karena kejadian itu sudah sangat lama.
Pada akhirnya, aku mengangguk. Sambil menunggu wali kelasku datang, aku, Yuuna serta beberapa siswi lain pun bermain truth or dare. Salah satu dari kami memutar bolpoin di atas meja. Untuk putaran pertama, bolpoin itu berhenti pada Yuuna, temanku sejak sekolah dasar.
"Eh, aku yang pertama ya?" gumamnya.
"Truth or dare?" Aku berinisiatif untuk bertanya.
Yuuna tampak diam sejenak. Ia pun membuka mulutnya dan menjawab, "Truth!"
Sudah kuduga ia akan menjawab dengan truth.
"Apakah kau memiliki seseorang yang kau suka?"
KAMU SEDANG MEMBACA
END ━━ # . '1/6 Detik ✧ Miya Chinen
Fanfiction"Hanya butuh satu per enam detik bagiku untuk membencimu, Chinen Miya." ────── Pertemuan di antara kau dan Chinen Miya tidak terlalu baik, apalagi romantis. Melainkan seperti sebuah deklarasi perang di antara dirimu dan lelaki yang kau akui sangat m...