Ujian Tengah Semester sudah berada tepat di depan mata. Tentu saja para murid sedang gencar-gencarnya untuk mengejar materi yang tertinggal dan juga mengulang materi agar semakin paham.
Termasuk dengan (Y/n).
Gadis itu kini sedang berhadapan dengan setumpuk buku berisi soal-soal. Hidupnya tengah dipertaruhkan saat ini. Mungkin ini terdengar berlebihan, namun itulah yang ia rasakan. Ujian Tengah Semester kali ini akan menjadi penentu apakah dirinya boleh tinggal seorang diri di rumah yang berukuran kecil ini ataukah harus kembali tinggal bersama orang tuanya.
"Caranya masih sama."
Suara milik lelaki yang duduk di depannya sontak mengejutkan (Y/n) seketika. Gadis itu mengangkat kepalanya dan mengalihkan tatapannya dari soal-soal yang membuat kepalanya pening.
"Cara mengerjakannya masih sama," ulang Miya kala ia hanya ditatap oleh gadis di hadapannya itu.
(Y/n) kembali menunduk. Menatap barisan angka yang dilengkapi oleh kata-kata hingga membentuk sebuah soal. Kemudian, gadis itu pun mulai mencorat-coret bukunya lagi.
Dan semua yang dilakukan oleh (Y/n) diperhatikan oleh Miya. Literally, semuanya.
"Seperti ini 'kan?" (Y/n) mendorong buku tulisnya ke hadapan Miya. Lalu, ia beralih menatap lelaki itu yang tengah melihat jawabannya dengan saksama.
"Dari sepuluh soal yang kau kerjakan, ada delapan soal yang jawabannya benar. Dua yang lainnya masih salah," jelas Miya kemudian.
Diletakkannya pensil mekanik itu ke atas meja. Kemudian, tangannya direntangkan ke atas. Bersamaan dengan helaan napas yang keluar dari bibir gadis itu. Menandakan jika ia merasa lega.
"Oi, (F/n)."
Yang dipanggil menghentikan aksinya seketika. (Y/n) pun kembali menopang dagunya dengan kedua tangan di atas meja. Tatapannya tertuju ke arah Miya yang tengah duduk sambil bersandar pada kursi.
"Mengapa kau mendadak memintaku mengajarkan Matematika? Padahal sebelumnya kau selalu tampak enggan untuk belajar."
Ucapan Miya itu membisukan (Y/n) seketika. Gadis itu memang memiliki alasan tersendiri tentang mengapa ia bersusah payah untuk belajar. Meskipun selama ini ia sudah melakukannya dan hasilnya cukup membuatnya tertekan.
"Ada sebuah alasan mengapa aku melakukannya," ucap (Y/n) kemudian. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela kelas. Di luar sana, hanya terdapat segelintir siswa yang tengah bercengkerama. Pun ada yang sedang berjalan ke luar gerbang sekolah.
"Apa alasannya?"
Pertanyaan Miya membuat (Y/n) mengembalikan pandangannya kepada lelaki itu. Ia pun diam sejenak. Bimbang antara ingin memberitahu atau tidak. Terlebih, alasannya cukup konyol. Setidaknya bagi orang lain. Karena bagi dirinya sendiri itu seperti sebuah pertaruhan antara hidup dan mati.
Namun, kemudian (Y/n) pun terkekeh. Ia menatap ke arah Miya seraya melemparkan sebuah senyum miring. "Apakah kau penasaran, Wahai Tuan yang Pandai Matematika?"
Miya sontak menggeram kecil. Salahnya juga karena menanyakan hal tersebut pada (Y/n). Toh (Y/n) belum tentu akan menjawab pertanyaannya dengan semudah membalikkan telapak tangan. Rasanya sia-sia saja ia memasang wajah serius dan menunggu jawaban gadis itu.
Ya, itulah pemikiran awal lelaki itu. Namun, kemudian ia pun kembali membalas perkataan (Y/n) yang seketika membungkam gadis itu hingga terdiam.
"Dari apa yang kudengar tadi, kau memanggilku Tuan yang Pandai Matematika. Hee, jadi kau sudah mengakui kepandaianku ya?" Miya menatapnya remeh. Disertai dengan senyuman jahilnya.
Sebenarnya, lelaki itu tidak berniat untuk memancing emosi (Y/n). Hanya saja, ia merasa tertarik dengan reaksi gadis itu. Terlebih wajahnya ketika ia kesal.
Tunggu, apakah dirinya baru saja mengatakan tertarik kepada gadis itu?
"Alasannya ialah karena aku sedang bertaruh dengan orang tuaku."
Lamunan Miya sontak buyar kala ia mendengar suara (Y/n), menjawab pertanyaannya. Raut wajah gadis itu terlihat termenung. (Y/n) yang biasanya selalu membalas perkataan Miya kini hanya diam membisu tampak terlihat aneh di mata lelaki itu. Terlebih mereka lebih sering beradu mulut kala Miya sudah memancing dengan perkataannya.
"Bertaruh?"
"Um." (Y/n) seketika merasa ragu sejenak. Ia bimbang apakah harus memberitahu alasannya yang lebih lengkap kepada lelaki itu atau tidak. Ditambah, ia khawatir jika Miya akan menertawakannya. Namun, sejak awal (Y/n) memang sudah siap mental jika Miya akan tertawa.
"Aku dan orang tuaku bertaruh tentang suatu hal. Jika aku mampu meraih peringkat pertama ketika Ujian Tengah Semester nanti, maka aku diizinkan untuk tinggal seorang diri. Jika aku gagal, yang terjadi ialah yang sebaliknya."
Pada akhirnya, (Y/n) memutuskan untuk menjelaskannya kepada Miya. Toh gadis itu sudah memulainya sejak tadi. Maka, ia pun harus bertanggung jawab atas hal tersebut.
Seketika (Y/n) mengernyit heran. Pasalnya, tidak ada tawa yang Miya tunjukan pada dirinya saat ini. Lelaki itu justru menatapnya serius. Yang membuat (Y/n) semakin merasa heran.
"Kau... tidak tertawa?" Tanpa gadis itu sadari, pertanyaan itu sudah terlontarkan lebih dulu. Reaksi yang Miya berikan hanya berupa alisnya yang terangkat sebelah.
"Tertawa? Mengapa aku harus tertawa?" tanya Miya balik.
"Karena taruhan itu terdengar konyol?" Alih-alih menjawab, (Y/n) justru melemparkan pertanyaan lagi.
Miya tertawa melalui hidungnya. Manik emerald-nya menatap lurus-lurus ke arah (Y/n). Dengan perlahan namun pasti, lelaki itu mendekatkan wajahnya. Mengikis jarak di antara dirinya dan gadis itu. Kemudian, bibirnya mengucapkan beberapa patah kata yang tidak pernah (Y/n) sangka akan dikatakan oleh lelaki bersurai hitam itu.
"Kau membenci kekalahan. Maka dari itu, kau pasti bisa meraih peringkat satu nanti." Miya diam sejenak. "Namun, kau harus mengalahkan aku terlebih dahulu."
Pada akhir kalimat, lelaki itu tertawa. Memberikan (Y/n) rasa senang di awal lalu kesal di akhir. Benar-benar tipikal seorang Chinen Miya. Setidaknya, lelaki itu ternyata tidak membuatnya menyerah dan putus asa.
***
Itulah percakapan terakhir (Y/n) dengan Miya. Sekaligus menjadi sesi belajar bersama mereka yang terakhir kalinya. (Y/n) sudah tidak ingin mengganggu Miya lebih jauh. Lelaki itu pun pasti membutuhkan waktu untuk belajar seperti dirinya. Tidak sepatutnya jika (Y/n) terus-menerus meminta untuk diajarkan. Toh gadis itu tidak bodoh hanya untuk memahami sebuah materi.
Tepat pada hari ini, Ujian Tengah Semester akan diadakan. Baik fisik maupun mentalnya telah (Y/n) siapkan selama satu minggu ke depan. Semua materi yang telah ia pelajari selama berbulan-bulan belakangan ini kini sudah melekat di dalam kepalanya.
Intinya, gadis itu sudah benar-benar siap.
Harapannya hanyalah dirinya bisa melakukan yang terbaik saat ini. Jika ia gagal, maka (Y/n) akan menerimanya dengan lapang dada. Namun, usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Bukankah begitu?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
END ━━ # . '1/6 Detik ✧ Miya Chinen
Fanfiction"Hanya butuh satu per enam detik bagiku untuk membencimu, Chinen Miya." ────── Pertemuan di antara kau dan Chinen Miya tidak terlalu baik, apalagi romantis. Melainkan seperti sebuah deklarasi perang di antara dirimu dan lelaki yang kau akui sangat m...