Sekali lagi Miya menatap ke arah Yuuna. Bertanya-tanya tentang apa yang akan gadis itu katakan lagi selanjutnya. Namun, keheningan kembali menyapa kala senja perlahan melahap langit biru. Habis, tak bersisa.
Miya pun sontak melirik ke arah Yuuna. Gadis itu hanya menunduk, tangannya saling memilin. Mulutnya terbuka sekali, namun kembali terkatup rapat.
"Jujur padaku, Miya-kun." Yuuna menengadahkan kepalanya. Menatap lurus ke arah Miya yang berdiri tepat di hadapannya. Ada nada yang bergetar kala gadis itu berucap. Miya dapat mendengarnya, meskipun samar.
Lelaki bersurai hitam itu beralih menatap barisan pepohonan di belakang mereka. Kala angin berhembus kencang, pepohonan itu pun ikut bertiup. Mengikuti irama sang angin yang bergerak dengan bebas.
"(Y/n)-chan selalu saja melindungiku. Kapan pun dan di mana pun," ujar Yuuna tiba-tiba. Mengalihkan atensi Miya padanya. Lelaki itu menatap ke arah Yuuna dengan tatapan yang sulit diartikan. Sementara Yuuna sendiri hanya menatap lurus ke depan. Pandangannya menerawang jauh. Seolah-olah tengah mengingat apa yang sedang terjadi di masa lampau.
"Tetapi, aku sudah tidak menginginkan saat di mana (Y/n)-chan selalu melindungiku. Bukan, aku tidak bermaksud untuk bersikap sombong. Tetapi, aku pikir sudah saatnya aku berhenti meminta tolong pada (Y/n)-chan," ujarnya lagi.
Miya pun hanya membisu. Ia tidak tahu harus mengatakan apa saat ini. Dirinya pun bimbang dan bingung di saat yang bersamaan. Mereka memang bisa dikatakan sebagai teman masa kecil. Namun, pertemanan itu hanya terjadi ketika mereka masih belia. Di saat mereka masih belum mengerti apa makna dari dunia ini.
Seusai terdiam cukup lama, akhirnya Miya pun membuka mulutnya. Ia mengatakan kalimat pernyataan yang langsung membisukan Yuuna yang duduk di sebelahnya. Kalimat yang tak disangka oleh Yuuna akan dikatakan oleh Miya. Sekaligus menjadi kalimat yang membuat cairan bening mengalir dari matanya.
***
Percakapan kemarin siang antara Miya dan Yuuna kembali terputar ulang di dalam kepala lelaki itu. Bahkan Sensei yang sedang menjelaskan di depan kelas pun ia abaikan. Bukan karena ia malas, namun karena materi yang dijelaskan sudah sangat ia pahami sehingga kini otaknya beralih memikirkan ke hal lain. Yang entah mengapa membuat dirinya merasa bingung.
Miya menoleh ke samping kirinya. Tepatnya ke arah jendela. Ia bisa melihat pantulan wajah teman-teman sekelasnya di sana. Termasuk dengan (Y/n) yang tampak tengah tertidur pulas. Melihat gadis itu yang bisa tidur dengan nyenyak tanpa gangguan apapun, seketika sebuah senyum miring tersungging pada bibir Miya. Namun, kemudian senyum itu lekas lenyap kala ia sadar dirinya memperhatikan (Y/n) sejak tadi.
Di saat yang bersamaan, lelaki bersurai hitam itu pun baru menyadari jika sejak tadi jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia meletakkan tangan kanannya di atas dada kirinya yang terbalut dengan seragam sekolah. Miya pun mengernyit. Menyadari jika perasaan aneh itu mendadak muncul dari dalam dirinya. Ditambah hal itu terjadi ketika ia melihat (Y/n) tadi. Seharusnya tidak seperti itu. Hal itu seharusnya tidak akan pernah terjadi.
Apakah... dirinya mulai merasakan suka terhadap gadis itu?
***
"Kau tidak bisa mengerjakan soal semudah ini?"
Pertanyaan itu dilontarkan oleh Miya kala dirinya tengah duduk bersama dengan (Y/n). Tentu saja, mereka tengah belajar bersama hari ini. Namun, pembelajaran hari ini tidak diatur atau karena disuruh oleh guru mereka. Melainkan karena (Y/n) dan Miya yang menginginkannya.
Sebelumnya gadis itu meminta kepada Miya dengan wajah yang sangat enggan dan nada bicaranya yang terdengar datar. Ia meminta kepada lelaki itu untuk membantunya mengajarkan beberapa materi di pelajaran Matematika mengingat Ujian Tengah Semester yang sebentar lagi akan datang.
"Bisa! Aku hanya lupa caranya," sanggah (Y/n).
"Itu sama saja artinya dengan tidak bisa," balas Miya seraya mendengus. "Coba kau kerjakan yang ini. Jika jawabanmu salah, maka akan ada konsekuensinya."
"Apa konsekuensinya?" tanya (Y/n) cepat.
"Kau hanya perlu melalukan satu hal yang tidak akan terpikirkan olehku," jawab Miya yang membuat kernyitan pada kening (Y/n).
Meskipun masih dilanda kebingungan, manik (e/c) itu dengan cepat menelusuri tiap kata yang tertera pada soal. Setelahnya, (Y/n) mulai mencorat-coret pada buku tulis. Ujung pensil yang beradu pada kertas menciptakan suara di kala hening menyapa.
Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Bahkan hingga waktu telah berlalu selama sepuluh menit pun (Y/n) masih belum bisa menemukan jawabannya. Alhasil, gadis itu hanya mengacak-acak surainya. Menunjukkan jika dirinya telah dilanda oleh kefrustasian.
"Menyerah?"
Kata yang dilontarkan oleh Miya membuat lelaki itu mendapat lirikan sinis dari (Y/n). Miya tahu (Y/n) benci kekalahan. Sama seperti dirinya. Namun, membuat gadis itu merasa demikian sepertinya akan cukup menghibur dirinya.
Pada akhirnya, (Y/n) kembali mencorat-coret bukunya. Sambil berusaha mengabaikan Miya yang duduk di hadapannya. Suasana kelas yang sudah sepi pun tidak membantu (Y/n) untuk berkonsentrasi dan menemukan jawaban soal itu. Nyatanya, gadis itu kembali dibuat merasa frustasi akan deretan angka yang telah ia hasilkan.
"Masih belum menyerah?" Miya menatap (Y/n) dengan tatapannya yang terlihat remeh. Namun, di baliknya tersirat rasa puas melihat (Y/n) di depannya yang tampak tertekan.
"Yosh!"
Mendengar seruan (Y/n) itu, sontak Miya pun beranggapan jika (Y/n) telah menemukan jawabannya. Namun, kala ia mendengar lanjutan dari perkataannya, sontak Miya tertawa.
"Aku menyerah!" katanya demikian.
Tawa Miya pun semakin keras kala ia melihat wajah frustasi milik (Y/n). Ditambah dengan surainya yang telah kusut dan mencuat ke mana-mana.
"Jangan tertawa, Chinen Miya."
Lelaki itu sontak berhenti tertawa. Ia pun menatap (Y/n) sambil bertopang dagu. "Kalau begitu, kau hanya perlu melakukan konsekuensinya," ujar Miya lagi. Membuat (Y/n) tampak terlihat ragu.
"Baiklah, baiklah."
(Y/n) bangkit dari kursinya. Ia mencondongkan sedikit tubuhnya. Mengikis jarak di antara dirinya dan Miya. Miya sontak membulatkan matanya kala ia menyadari apa yang telah (Y/n) lakukan. Namun, belum sempat ia menoleh pada gadis itu, (Y/n) sudah lebih dahulu berlari ke luar kelas.
Meninggalkan Miya di sana dengan wajah yang memerah juga detak jantungnya yang menggila. Tentu saja, itu karena kecupan singkat pada pipinya yang diberikan oleh (Y/n).
Tanpa diketahui oleh siapapun, sepasang mata melihat hal itu dengan wajah terkesiap. Ia ingin lari dari sana, namun kakinya seperti terpaku di atas permukaan lantai yang dipijaknya. Pada akhirnya, ia pun pergi dengan rasa nyeri mendadak di dalam dadanya.
***
Yo minna!
Akhirnya aku update lagi—🛐
Mmf sangat aku jarang update. Dikarenakan tugas + aku yang gak punya ide🚶♀️
Bentar lagi PAS bakal hadir dan bikin aku makin mengpusing dan depresot seketika.
Ayo, gws-in aku ges—
Btw, terima kasih karena kalian sudah baca dan vomment(๑´ㅂ'๑)♡
I luv ya!
Wina🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
END ━━ # . '1/6 Detik ✧ Miya Chinen
Fanfiction"Hanya butuh satu per enam detik bagiku untuk membencimu, Chinen Miya." ────── Pertemuan di antara kau dan Chinen Miya tidak terlalu baik, apalagi romantis. Melainkan seperti sebuah deklarasi perang di antara dirimu dan lelaki yang kau akui sangat m...