Part 22

78 13 0
                                    

Apapun keputusan yang sudah kamu sepakati antara lisan dengan hati, maka bersiaplah untuk menerima segala sesuatu yang akan terjadi nanti_Hilyatun Nisa'

"Kang maaf sebelumnya, saya menghormati sampean tapi tolong kang, jangan terlihat begitu dekat dengan saya, saya tau kalau sampean memang baik dengan semua orang, saya takut kalau saya salah menerima kebaikan sampean, saya juga ndak enak sama yang lain, jadi mohon pengertiannya tolong jangan begitu lagi sama saya"
Itu lah kata-kata yang terucap dari mulut Hilya ketika tidak sengaja bertemu dengan Hafidz. Hilya tadinya disuruh bu Nyai membeli gula tapi kebetulan sekali Hafidz lewat juga dalam keadaan sendiri, mereka berbicara saling membelakangi sedangkan Hafidz hanya menunduk terdiam dan mendengarkan.

"Iya mbak...mohon maaf kalau saya bikin mbak Hilya malu" jawab Hafidz dengan nada sopannya kepada Hilya yang usianya lebih tua daripada dirinya

"Saya ndak pernah merasa malu, Alhamdulillah ada teman yang baik dengan saya, tapi tolong ngerti keadaan saya kang, saya rasa sampean faham dengan maksud saya dan maaf kalau ada kata-kata yang sedikit menyinggung perasaan sampean"

"Assalamu'alaikum"
Lanjut Hilya meninggalkan Hafidz

"Wa'alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh"

Seakan-akan tali yang selama ini tersambung dengan sangat rapi dengan mudahnya diputuskan oleh kata-kata. Tadinya Hafidz berfikir tidak ada salahnya jika akan membangkang lagi seperti yang sudah terjadi kemarin hari tapi, ini sudah kesekian kalinya Hilya mengingatkan Hafidz untuk menjauh. Mungkin, ini memang sudah saatnya Hafidz berhenti care dengan Hilya.

"Hafidz pasti manggil kamu Hil, 1...2...3...
Lahhh kok diem aja ?" Ucap manda penasaran sambil melihat Hafidz. Tidak seperti biasanya Hafidz melihat Hilya dan hanya diam dengan pandangan lurus kedepan.

"Kenapa jadi gitu si Hafidz ?" Lanjut Manda menarik tangan Hilya

"Lagi ndak suka liat muka kita, hahaha..." Jawab Hilya sambil tertawa

"Ndak bener ini Hil, pasti ada yang salah"

"Dia buru-buru mau masak sayurannya, nanti keburu layu manda" jawab Hilya santai.

"Ndak tau kenapa, kalo Hafidz nggak menyapa rasanya aneh kayak ada yang kurang, biasanya dia selalu berulah dan sekarang ia berubah. Apa gara-gara kata-kata kemarin ya ? Emangnya kasar banget aku bicaranya ?"

"Hil...mau kemana ? Mau nabrak tembok kamu ?" Tanya manda sambil menyeret pergelangan tangan Hilya

"Eh...iya Manda maaf-maaf aku nggak ngeliat" ucap Hilya sambil menepuk jidatnya

"Kamu mikir apa hayooooooo"

"Ndak ada"

~~~~~~~~~~

Tanggal 4 bulan Sya'ban semua kegiatan pondok resmi ditutup sampai tanggal 1 Ramadhan. Semua santri juga diizinkan untuk pulang.

"Nduk bantu ibu ngepel dulu ya, cuci piringnya nanti aja" ibu Arum memberi tau Hilya

"Iya bu"

"Liburmu lama nduk, lumayan lah ibu jadi ada yang bantu"

"Hehe iya bu"

Rindu, itulah yang tergambar dari raut wajah seorang ibu, susah payah membesarkan dan mendidik seorang putri hingga tumbuh dewasa seperti saat ini, seorang putri yang diharapkan bisa memintakan ampun atas dosa kedua orang tua kepada sak khalik. Dan sekarang harus berpisah untuk tholabul 'ilmi, berpisah untuk mencari ilmu sudah membuat orang tua sangat merindukan anaknya, bagaimana jika tanggung jawab seorang anak sudah bergantung pada suaminya ? Itulah yang dirasakan seorang ibu ketika menghadapi putrinya yang semakin tumbuh dewasa.

"Coba mbak bayangin, tiba-tiba ada kang santri ngelamar sampean ke mbah Yai terus langsung kerumah, tapi keadaan mbak Hilya belum tau apa-apa"
Bu Arum memulai percakapan dengan putrinya yang memang sudah waktunya untuk memikirkan hal tersebut

"Ibu jangan gitu dulu, sekarang kan Hilya belum khatam ngajinya" Hilya selalu merengek ketika membicarakan hal tentang pernikahan, ia baru saja merasa tenang setelah ditinggalkan oleh laki-laki yang pernah ia cintai dan sekarang ibunya membahas lagi tentang nikah.

"Yang sudah terjadi ya sudah mbak ikhlaskan, yang belum terjadi kita tata rapi dan perbaiki, semoga Allah meridhoi.
Mungkin Irsyad itu terlalu SubhanAllah buat sampean jadi Allah menyiapkan yang sepadan"

"Ndak kok bu...Hilya ndak peduli dengan laki-laki yang seperti itu, buat apa terus disesali, ya mungkin memang bukan jodohnya bu"

"Ibu do'ain semoga dapet jodoh yang memang benar-benar sesuai dengan do'a-do'a yang selama ini kamu panjatkan nduk, ibu ndak akan melarang, ibu juga ndak akan memaksa, intinya kalo suatu saat dia datang, ibu siap menerima kalo kamu memang mengiyakan"

"Semoga saja bu, do'ain Hilya terus ya"

"Cepet khatam ngajinya, jangan molor terus"

"Ehehe...jarang molor sering ngobrol buk"

"Ibumu menangis mendengar kelakuanmu nak..."

"Nggak papa asalkan ibu bahagia"

Mereka pun tertawa lepas, ketika seorang anak perempuan menceritakan semua kisah hidupnya kepada seorang ibu, seseorang yang siap mendekap merangkul putrinya kapanpun dan bagaimanapun kondisinya.

Kisah Cinta Santri Itu Indah(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang