{Part 5}

142 15 0
                                    

Langit sore hari yang cerah, cahaya matahari sedikit demi sedikit mulai redup, menambah semangat bagi Hilya untuk menuntut ilmu. Pasalnya setiap hari sabtu dan minggu Hilya berangkat menjelang maghrib. Setiap harinya Hilya pulang pergi hanya bedua dengan adiknya Salsabila.
Disepanjang jalan tiada waktu terlewat untuk menyanyi, yaaa anggap saja konser jalanan.

Ba'da maghrib adalah waktu yang paling mengharukan karena,sudah menjadi kebiasaan semua santri berdo'a bersama di musholla yang dilanjut qira'at. Pada saat itu Hilya merasa bahwa dia sudah batal dan harus berwudhu, Hilya keluar dari musholla menuju kamar mandi yang berada dibelakang pondok. Ketika Hilya keluar dari kamar mandi semua kang santri sudah berjalan ke arah asrama putri, jika Hilya terlambat sedikit saja ia pasti terjebak disana. Hilya berlari kecil dan dari arah berlawanan Hilya melihat salah satu dari gerombolan kang-kang ada kang Irsyad. Hilya hanya melirik, begitu pula kang Irsyad, ia melihat Hilya yang sedang berlari-lari kecil yang pada akhrnya mereka saling melempar senyum. Mungkin hanya sesederhana itu, saling menatap sekilas dan melempar senyum tapi sudah mampu membuat Hilya bahagia.

"Ciiieeeeeeeeee..."
Teriakan dari santri putra yang memerhatikan senyum malu-malu antara Hilya dan kang Irsyad.

"Kenapa Hil ? Ada apa diluar ?" tanya Amanda, teman 1 kelas madrasah Hilya.

"Nggak ada apa-apa Amanda...semua baik-baik aja"

"Kok rame-rame gitu ya ?"

"Iya...Emang biasanya kalo santri putra ke sini kan pasti gitu"

Amanda celingak celinguk ke arah teras memastikan kalau memang tidak ada apa-apa.
Saat ini tujuan Hilya hanya satu, ia berharap keinginannya dapat terwujud suatu saat nanti. Cita-cita yang mulia, yang sangat didambakan oleh semua orang dan Hilya rasa usia Hilya juga belum cukup tua, dan insyaAllah dia masih mampu yaitu, sebagai Hafidzoh.
Sering Hilya membujuk orang tua nya untuk mengizinkan dia mukim dipondok tapi, orang tua Hilya masih saja belum rela.
Suasana angin malam yang berhembus tenang. Ngaji tartil kali ini pindah di musholla, Hilya memilih duduk dipojok antara tembok dengan pembatas. Bisa dibilang bersebelahan dekat dengan kang-kang.
Al-Qur'an pink dan pensil untuk menandai huruf Al-Qur'an yang sulit untuk dihafal itu tak pernah lepas dari genggamannya. Tiba-tiba ada surat yang disodorkan dari bawah pembatas, Hilya pun membuka surat itu dan isinya,
"Semangat ya ngajinya, semoga tambah barokah"

"Amin..." Hilya mengembalikan surat itu.

Tidak lama kemudian ning Izza  datang, pertanda ngaji kitab dimulai. Semua santri terdiam seribu bahasa, bisa dibilang ning Izza adalah guru ter killer, pasalnya siapa saja bisa ditunjuk disuruh mengulang tartilan minggu lalu tanpa diberi kesempatan membaca Al-Qur'an sedikit pun. Sistem hafalan dipondok memang tidak hanya secara terus menerus dihafalkan sendiri tapi juga dengan metode tartilan bersama dan dibaca  secara berulang-ulang.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh..."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh..."

"Gimana semua ? Sudah siap ditunjuk ?"

"Belummmm" jawab semua santri bersamaan.

"lohh...kok belum ? Terus gimana ? Kang Irsyad ada ?"

Kang Irsyad mengangguk sambil tersenyum ke arah ning Izza

"Ayo kang tutup Al-Qur'annya dan ulangi tartilan minggu lalu kemarin" Ucap ning Izza

"Kulo ning ?" kang Irsyad terkejut dan  bingung.

"Iya kang... Sampean.
Disini nggak ada lagi kan yang namanya Irsyad ?"

"Inggih ning"

Dengan suara gemeteran kang Irsyad mulai membuka mulutnya, satu kekeliruan saja bisa fatal bikin malunya. Semua tersentuh dengan suara kang Irsyad. Subhanallah inilah suasana belajar yang sesungguhnya, semua bisa tau dimana kekurangan masing-masing lewat mendengarkan pelafalan orang lain.
Dari balik pembatas semua santri putri menunduk karena rasa takut jika ditunjuk. Hilya memang malu tapi jika menunduk semua, yang ada pasti malah kena.

"Nggeh...Sekarang mbak-mbak. Mbak Amanda ada ?"

Berbeda dari yang lain, Amanda langsung saja melafalkan semua tartilan minggu lalu tanpa ragu-ragu. Hingga membuat santri putra kagum dengan kelancarannya. Tak terkecuali kang Irsyad

Kisah Cinta Santri Itu Indah(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang