Menyerah Saja

3 2 0
                                    

Happy reading gaess. Sorry for typo🙏🙏

          Fajar terbit dari ufuk barat sinarnya menyembul melewati kisi-kisi jendela kamar Satya. Hari ini akhir pekan, sekali lagi ia ingin mendatangi daerah gadis itu. Meski dia tahu tidak akan menghasilkan apa-apa. Dia ingin sekali lagi meyakinkan dirinya bahwa Salma sudah benar-benar pindah dari tempat tinggalnya dulu.

         Satya mengehela nafas pelan
         "Nggak ada salahnya kan gue sekali lagi mastiin kalo dia nggak ada di kampung itu lagi". Monolog Satya.

         Setelah sempat lari pagi disekitar daerah tempatnya tinggal, Satya segera membersihkan diri. Setelah selesai ia turun menapaki tangga. Dibawah sana bunda Iren tersenyum simpul menyambut anak bungsunya.

          "Masih mau nyari lagi?" Tanya bunda Iren saat Satya telah mendudukkan dirinya.
          
          Satya mengangguk." Iya bun, Satya pengen mastiin sekali lagi. Boleh kan bun? Satya masih boleh berharap kan?" Satya menarik bibirnya, senyumnya seolah menguatkan dirinya sendiri.

         "Ya udah, yang penting sarapan dulu." Bunda Iren mengelus sayang surai putranya.

          Setelah menuntaskan sarapannya Satya melangkah keluar, sebelumnya ia telah pamit dan mencium tangan bundanya.

         "Mas Aris." Satya kaget melihat masnya berdiri diteras rumah.

         "Iya..kenapa kaget gitu, mas kesini minta dibuatin soto daging, Mita lagi ngidam pengen sotonya bunda".

         "Lah mbak Mita nya mana?" Tanya Satya celingukan.

         Mas nya ini baru menikah 7 bulan yang lalu,dan saat ini mbak Mita istrinya tengah hamil 3 bulan.

         "Tuh lagi ngantri bubur kacang hijau". Dagu Aris menunjuk ke arah istrinya.

          Satya ber-oh ria, kemudian pamit menyalami mas nya itu.

         "Satya- Satya nyari kog ya yang nggak ada". Aris geleng-geleng sesaat setelah adiknya melenggang keluar pagar rumah.

         💙💙💙

           Kurang lebih Satya menempuh jarak 20km untuk sampai dikampung halaman Salma. Ia menghentikan motor maticnya didepan warung kopi.
          
           Ibu penjual kopi itu hafal betul dengan Satya karena hampir dua tahun ini tiap akhir pekan Satya selalu mengunjungi warungnya.

           "Masih nyariin temenya ya mas? Belum ketemu juga?" Seloroh bu Siti pemilik warung.

           Satya tersenyum mengiyakan.
           "Belum bu, mungkin ini pencarian saya yang terakhir. Kemarin bapak pekerja pabrik kayu bilang kemungkinan Salma dan keluarganya sudah pindah".

          "Yang sabar ya mas". Bu Siti meletakkan kopi Satya di meja.

            Bu Siti juga baru pindah dari kota kembali ke kampung halamannya ini,  karena anaknya yang meminta. Dulu beliau bekerja sebagai pembantu rumah tangga di ibukota, tepatnya di Surabaya.

           Jadi jangan tanyakan soal Salma, tentu beliau tidak mengenalnya. Karena para pekerja pabrik yang kerap berganti-ganti.

         Satya berjalan menyusuri jalanan yang masih berpasir dan bebatuan. Jalanan kampung tempat tinggal para pekerja pabrik kayu itu memang belum beraspal, rumah-rumahnya juga bisa dikatakan kurang layak untuk ditinggali. Bahkan mereka harus berbagi kamar mandi.

          Tak jarang air tidak mengalir didaerah itu karena kampung itu berada kurang lebih 10km dari puncak gunung kelud, tentu tidak ada sumber air layaknya sungai seperti didaerah lain, para petani juga harus menunggu masa tanam hanya saat musim hujan saja.

           Satya menarik nafas panjang ia hembuskan pelan...
          "Apa aku harus menyerah saja, Salma?" Batinnya bertanya.

          Netranya menatap seluruh penjuru kampung para pekerja pabrik. Senja semakin turun, semburat jingga menerpa indah mega. Satya segera berlalu menstarter motornya. Dia tidak ingin pulang larut.

           Dia ingin segera merebahkan tubuhnya, dia letih kakinya ngilu seharian berjalan tak tahu arah. Kali ini dia menyerah saja. Biarkan Tuhan yang menjawab semua pintanya, termasuk bertemu Salma..

Makasih yang masih setia nungguin🙏🙏

Seven Year laterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang