Cara terbaik melupakan adalah menghilang dari pandangan.
°°°
Sudah dua hari berlalu, sejak Galang menyuruh Gilang untuk menjauh dari Qinan. Rasanya berat, padahal ia dan Qinan baru berbaikan waktu itu, tetapi malam harinya dia malah harus menelan pahit akibat ucapan saudaranya tersebut.Walau Gilang memang berniat untuk menghapus perasaannya pada Qinan, dia sama sekali tak berpikir hingga ke sana. Ia merasa jika menjauh bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan. Awalnya Gilang berencana untuk menjaga jarak, lalu bersikap biasa saja layaknya seorang teman. Namun, sayangnya, Galang tak setuju dengan cara pikirnya tersebut.
Bagi Galang hal itu akan sia-sia saja.
"Percuma, kalo mau lupain tapi masih ketemu. Lo tau? Cara terbaik untuk melupakan adalah menghilang dari pandangan."
Begitulah perkataan Galang saat Gilang membujuknya. Saudaranya itu benar-benar ingin membuat Gilang hilang dari hidup Qinan.
Bukankah itu terlalu kejam?
Seharusnya Galang tak berhak untuk menyuruhnya menjauh, dia bahkan tak terikat hubungan apa-apa dengan gadis itu. Namun, Gilang juga sadar diri, jika dirinya pun sama saja, tak ada ikatan berarti antara dia dan Qinan. Apalagi dia juga sadar jika ... posisi Galang pasti lebih berarti bagi Qinan.
Qinan menyukai Galang. Itu adalah fakta yang selalu menamparnya sejak dulu.
Tak ada pilihan untuk Gilang— lebih tepatnya Galang yang tak memberikan pilihan. Pada akhirnya Gilang pasrah, dengan berat hati menuruti ucapan kembarannya tersebut.
"Lo kenapa, sih, Gil?" tanya Rizal, orang yang sejak tadi berdiri di samping Gilang sambil menghadap ke arah lapangan basket.
Padahal Gilang sendiri yang mengajak Rizal untuk bermain basket, bergabung dengan klub basket kampus mereka. Namun, setelah sampai di lapangan, Gilang malah jadi orang yang paling tidak bersemangat.
Sebenarnya, sudah sejak kemarin Rizal seringkali memergoki Gilang yang sedang melamun di berbagai tempat. Awalnya ia tak begitu peduli, karena melamun adalah hal yang wajar, tetapi untuk kali ini Rizal sudah tak menganggap lamunan Gilang itu wajar.
Tak mendapat balasan, Rizal mendengkus sebal, menyenggol pemuda jangkung yang memakai baju basket tersebut. "Lama-lama lo gila kalau ngelamun terus, Gil."
"Gak usah ganggu," ucap Gilang, mendelik.
"Lo sadar gak sih kalo daritadi lo ini bengong terus?"
"Bukan urusan lo."
Balasan Gilang hampir saja membuat Rizal melontarkan umpatan, untungnya Rizal ingat jika dia punya imej kalem. Alhasil, dia berusaha sabar, lalu menarik paksa lengan Gilang, membawanya duduk di tribun.
"Ayo ngomong, lo ada masalah apa?"
"Bukan urusan lo." Sekali lagi kalimat itu terlontar.
"Emang bukan urusan gue, dan gue juga gak mau ngurusin masalah orang. Tapi, lo sendiri yang bilang sama gue, kalo masalah itu bakal lebih ringan kalo diceritain. Sekarang lo harus buktiin ucapan lo itu," ucap Rizal dengan serius, malah membuat Gilang tersenyum geli.
"Itu ucapan gue tiga tahun lalu, lo masih inget?"
Rizal jadi tertawa saat menyadarinya. Ya, itu memang ungkapan Gilang saat mereka masih menjabat sebagai ketos dan waketos dulu. "Lo juga masih inget, tuh."
Gilang menunduk, melihat ke ujung sepatu olahraganya. "Pernah gak lo disuruh menghilang?"
"Ha? Menghilang ... bimsalabim gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTERSWEET : TWINS (2) ✓
Jugendliteratur[Season 2 • Wajib baca season 1 nya dulu] Ketika waktu mengubah banyak hal. Sebuah kepercayaan, perlahan memudar. Sebuah keyakinan, mulai menimbulkan keraguan. Hati yang belum menetap, semakin terombang-ambing dalam ketidakpastian. Perasaan itu kini...