5. Dekapan paling nyaman

1.1K 245 109
                                    

Rasa ini ... hangat, begitu nyaman. Akankah dapat terus merasakannya?

°°°

Sudah tiga hari, tapi masih belum ada kabar dari Gilang. Qinan mencoba mengesampingkan gengsi dan menghubungi Gilang lebih dulu. Namun, pemuda itu tak kunjung membalas juga. Entah sengaja atau tak disengaja, ia yakin ada sesuatu yang terjadi padanya.

Qinan juga sudah bertanya pada Rizal selaku teman sekampusnya. Ternyata Rizal sendiri juga tak tahu keberadaan Gilang sekarang, katanya Gilang belum masuk kampus lagi setelah tiga hari terakhir.

Sebenarnya sempat terbesit dibenaknya untuk pergi ke rumah Gilang. Kebetulan dia pernah diajak ke rumahnya waktu itu. Qinan cemas, takut jika Gilang kenapa-kenapa. Dan juga dia masih ingin memastikan soal kado dari Galang untuknya. Walau pada akhirnya, Qinan memilih mengurungkan niatnya tersebut, karena rasa gengsi.

Seharusnya Gilang yang menemuinya, bukan malah sebaliknya.

Untuk kesekian kalinya ia menghela napas panjang. Adit yang duduk di tepian kasur miliknya—setelah mendengar curhatan Qinan— refleks menghela juga.

"Lo bilang Kak Galang bakal segera pulang, kan? Mungkin aja Kak Gilang lagi ke singapura buat persiapan kepulangan Kak Galang?"

"Tapi, harusnya dia ngabarin gue." Qinan mendesah samar, menjatuhkan tubuhnya ke kasur, menatap plafon kamarnya dengan wajah memelas.

"Kenapa?" Qinan melirik Adit yang mengernyit heran menatapnya. "Kenapa dia harus ngabarin lo?"

Gadis itu langsung mengalihkan pandangan, kembali menatap plafon kamar. "Eung ... itu ... gue butuh penjelasan soal kado Kak Galang. Di dalam surat, Kak Galang nulis kalau dia udah sadar sejak awal tahun ini, harusnya Kak Gilang tau, 'kan? Kenapa dia gak kasih tau gue?"

"Pasti ada alasannya."

"Karena itu gue mau penjelasannya."

Adit menjatuhkan tubuhnya juga ke kasur, melirik kakaknya yang terus menatap lurus ke plafon. Raut wajahnya terlihat sendu, pandangannya menyorot teduh, dan berkali-kali terdengar helaan napas samar.

Adit sangat mengenal Qinan. Dan dia tahu jika sekarang kakaknya itu tengah memiliki beban pikiran yang lain. "Pasti bukan cuma itu 'kan yang lo pikirin, Qi?"

Qinan menoleh ke sampingnya, bingung.

Kali ini Adit yang mengalihkan pandangan, manatap plafon kamar. "Hampir tiga tahun lo bareng Kak Gilang. Dia selalu ada buat lo, selalu bantuin lo, atau cuma nemenin lo. Semua perhatian dia itu ... gak mungkin gak buat lo tersentuh." Ia kemudian melirik kakaknya, saling beradu tatap.

"Lo ... gak mungkin gak baper sama dia."

Pupil mata Qinan membulat, ia menelan ludah, membuka mulut hendak berkata, tapi Adit mendahului.

"Gue cuma nebak sih. Tapi, kalau itu emang bener, pasti bakal berat banget buat lo."

Melihat wajah Qinan yang berubah mengeruh, Adit jadi meringis kecil merasa bersalah. Ia bangkit, mendudukan diri, membuat Qinan pun refleks bangun juga.

"Maaf, gue gak bermaksud buat lo makin kebingungan, Qi. Gue cuma berharap lo bisa sadar sejak awal sama perasaan lo yang sebenarnya. Supaya nanti ... gak ada keraguan lagi dibenak lo."

Adit tersenyum pengertian, lalu menepuk bahu Qinan dua kali, dan berdiri.

"Udah malem, cepet tidur!" katanya, lantas pergi keluar kamar Qinan.

Meninggalkan Qinan yang langsung tertunduk merasa dilema.

***


Res, Kibo, dan Rama yang duduk bosan di kafe dekat kampus. Menunggu seorang teman yang sejak tadi tak kunjung datang juga. Padahal mereka sudah janjian kemarin, jika hari ini mereka akan nonton film horor terbaru di bioskop.

BITTERSWEET : TWINS (2) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang