Katanya tak ada usaha yang sia-sia, tapi mengapa aku malah dibuat kecewa?
•••
Semakin hari rasanya semakin suram. Gilang merasa tak punya semangat hidup akhir-akhir ini- lebih tepatnya setelah Galang marah dan mengabaikannya, juga setelah Galang menyuruhnya menjauhi Qinan. Dalam waktu singkat, Gilang mendapat dua hantaman sekaligus.Sampai sekarang semua masih sama menyedihkan baginya. Bahkan rasa dilemanya semakin membuncah ketika ucapan Rizal dua hari lalu, tentang bagaimana perasaan Qinan yang sebenarnya.
Ia tak mau terlalu berharap jika Qinan menaruh hati padanya, tapi dia juga butuh kepastian supaya dia bisa memutuskan hal yang terbaik nantinya.
Jika nanti Qinan masih menyukai Galang, ia janji akan rela dan menjaga jarak. Namun, apa jadinya jika ternyata perasaannya terbalaskan? Apakah dia harus melepas Qinan demi Galang atau memperjuangkannya demi kebahagiaannya sendiri?
Gilang menghela napas panjang untuk kesekian kalinya setelah hampir lima belas menit diam di belakang panggung. Ia bahkan hampir lupa jika sebentar lagi acara bazar yang diadakan oleh anak BEM di kampusnya akan segera dibuka. Untung saja ada seseorang yang datang dan menepuk bahu Gilang, sehingga pemuda itu segera tersadar dari lamunan.
"Awalnya gue biarin lo bengong karena kayaknya lo lagi banyak masalah. Tapi kalo bengongnya sampai setengah jam, gue takut lo nanti kerasukan, Gil."
Pemuda yang sedang bicara itu bernama Vito, dia adalah Presiden Mahasiswa di kampusnya.
Gilang bangkit dari kursi plastik warna hijau tersebut, lalu mengusap tekuk yang mendadak terasa pegal. Ia melirik arloji di lengan kiri, lalu mendengus pelan, "Ngarang, baru juga lima belas menit."
Vito mencibir. "Sama aja lama."
"Iya, sorry." Gilang menjawab, lalu melengos melewati Vito, membuat Vito segera menahan pergerakannya.
"Mau ke mana lo?"
"Bantuin beres-beres."
Vito mendelik, lalu mengendikkan dagu menunjuk ke sekitarnya. "Gak usah, udah selesai."
Gilang mengerjap. Lalu tersenyum kaku pada si Presma. "Sorry." Ini akibatnya jika terlalu banyak pikiran, dia jadi lupa waktu dan tugas yang seharusnya dia lakukan.
Tiga puluh menit lagi bazar dibuka untuk umum, tepatnya pada pukul 9 pagi. Para peserta bazar sudah siap dengan menggelar dagangannya, bahkan masyarakat umum pun sudah mulai banyak yang berdatangan.
"Tugas lo nanti yang pembukaan bazarnya, ya."
Gilang mengernyit. "Kok gue? Bukannya sama pak Rektor?"
"Beliau gak bisa dateng, suruhnya sih gue yang gantiin. Tapi karena lo lalai tugas, jadi lo aja, ya." Vito mengedutkan alisnya dengan wajah menyebalkan. Gilang mendengus, mau tak mau menurut juga.
***
Sudah dua hari berlalu setelah hari penuh drama itu. Sejak pertengkaran Qinan dan Galang, sejak insiden emosional Qinan, Rama, Alya di dekat parkiran, dan juga sejak Galang menurunkan ego untuk berbaikan dengan Qinan.
Sekarang banyak hal yang terasa berubah-untuk sebagian orang. Qinan menghela napas panjang saat melihat Alya berjalan melewatinya begitu saja memasuki kelas. Ia menoleh pada Alya sejenak, memperhatikan bagaimana aura wajah Alya yang masih begitu dingin.
Bukan hanya padanya, bahkan teman-temannya yang lain terkena imbas dari sikapnya tersebut. Mereka memaklumi, tahu fakta jika Alya dan Rama sudah putus kemarin lusa— meski sebagian besar tak tahu penyebab putusnya apa. Untungnya kejadian itu hanya dilihat segelintir orang, jadi tak menimbulkan gosip yang terlalu heboh.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTERSWEET : TWINS (2) ✓
Teen Fiction[Season 2 • Wajib baca season 1 nya dulu] Ketika waktu mengubah banyak hal. Sebuah kepercayaan, perlahan memudar. Sebuah keyakinan, mulai menimbulkan keraguan. Hati yang belum menetap, semakin terombang-ambing dalam ketidakpastian. Perasaan itu kini...