22. Masih kuatkah bertahan?

825 193 105
                                    

Aku benci sekali dengan ekspetasiku yang terlalu tinggi. Andai saja aku tak memikirkan itu, mungkin aku tak akan sekecewa ini.

•••

Masih pagi, tetapi langit sudah diselimuti awan hitam. Mendung. Melengkapi suasana hati Qinan yang juga kelam. Orang-orang yang ada di dekatnya pun ikut mengakui jika Qinan dan cuaca pagi ini tampak begitu serasi.

Seperti sekarang, ketika Res dan Kibo mengajak Qinan bertemu di perpustakaan lantai dua dan di tempat paling tersembunyi di sana, Qinan tak kunjung mengeluarkan sepatah kata apa pun sejak datang, bahkan setidaknya untuk bertanya tentang tujuan mereka mengajaknya bertemu. Tak ada sama sekali. Bibir Qinan rapat seolah direkatkan dengan lem.

"Qi, gue denger Kak Galang masuk RS." Ucapan Res mengawali perbincangan mereka. Ia mendapat kabar dari Rizal pagi tadi.

Wajah Qinan yang semula tertunduk kini terangkat. "Iya," ucapnya singkat.

Res melirik Kibo di samping, keduanya seakan berkomunikasi lewat tatapan. Sejujurnya mereka tahu ada hal yang tak beres antara Galang, Gilang, dan Qinan setelah acara bazar kemarin, hingga membuat teman mereka jadi seperti ini. Tetapi, untuk lebih detailnya, mereka tak tahu apa permasalahannya.

Atas dasar itu juga mereka menemui Qinan. Hanya mereka berdua saja, tanpa Rama—jangan lupa jika Qinan dan Rama sedang dalam hubungan yang buruk. Meskipun sejujurnya mereka ingin membuat Rama dan Qinan berbaikan juga, tetapi sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukan itu.

"Kita tau ada masalah antara lo sama Kak Galang juga dan Gilang. Kita mau lo cerita, Qi. Sebenarnya ada apa?" kata Kibo dengan lembut, berusaha membujuk agar temannya itu jujur.

Qinan tak menjawab, ia menunduk lagi, sembari mengigit bibir bawahnya. Res meraih tangan Qinan, menggenggamnya erat. "Cerita aja, Qi."

"Hati gue sakit banget," kata Qinan lirih, seketika membuat kedua temannya tertegun. Ia menatap kedua sahabatnya bergantian dengan mata bulat yang mulai berembun. "Kak Galang marah besar sama gue. Dia ... benci gue."

Kedua orang itu melotot tak percaya. Bagi mereka Galang membenci Qinan adalah salah satu hal mustahil yang ada di dunia ini. Mereka jelas tahu seberapa bucinnya Galang pada Qinan.

"Kenapa, Qi? Apa masalahnya?" Kibo mendesak. Jiwa keponya bergejolak.  Sudah dilanda rasa penasaran yang teramat besar.

"Ada kesalahpahaman."

Qinan mulai menjelaskan secara singkat. Dari mulai momen berbicara dengan Gilang, lalu Galang yang salah paham, terus ke kejadian di rumah sakit saat Galang tiba-tiba kolaps.

Kedua orang yang duduk di depan Qinan mendengarkan dengan serius, dengan wajah yang semakin menyayu, ikut merasa sedih.

"Kak Galang ... gak mau ketemu gue lagi." Qinan menutup ceritanya dengan kalimat paling menyakitkan yang dia punya. Ia tersenyum getir, berusaha agar tak menangis lagi. Sudah cukup semalaman suntuk dia tak bisa tidur gara-gara menangis terus, hingga paginya dia terpaksa mengompres kedua matanya dengan es agar tak terlihat bengkak.

Namun, di saat Qinan berusaha tak menangis, tiba-tiba Res malah menitikkan air matanya, lalu terisak kecil sambil menyorot lurus pada Qinan.

"K-kenapa K-kak Galang gitu? Kenapa dia jahat banget sama lo?"

Qinan menggeleng pelan. "Sejak awal gue yang salah, Res. Wajar kalo Kak Galang marah, meski gue gak nyangka kalo dia akan semarah ini."

Res mengusap air matanya. "Enggak, Kak Galang yang salah. Katanya dia cinta sama lo, tapi kenapa dia egois banget gak mau dengerin penjelasan apa pun? Kenapa dia selalu bertindak semaunya? Apa dia gak sadar seberapa sabarnya lo ngadepin manusia kulkas keras kepala kayak dia?" Cerocosan Res yang penuh emosi berhenti sejenak, ia menatap manik mata Qinan dalam. "Kenapa lo bisa tahan sama dia? Kalo lo terus disakitin gini harusnya lo berhenti aja."

BITTERSWEET : TWINS (2) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang