1. Prolog

433 130 131
                                    

❝Kenapa kebahagiaan itu seperti pelangi? Bisa aku lihat, tapi ga bisa aku sentuh.

Aora Visces Aquela
By Author

• ◩◪ •
















Jumat malam di sebuah kota.

Aora berjalan di tengah kehampaan. Kaki jenjangnya yang melangkah pelan berkecipak dengan genangan air yang memenuhi jalan.

Setelah turun hujan deras selama kurang lebih setengah jam, kini kota ini diselimuti hawa dingin.

Namun sedingin apapun suasana saat ini, Aora tidak merasakannya. Bahkan meski seluruh tubuh dan pakaiannya basah kuyup akibat terguyur hujan tadi, ia tidak menggigil kedinginan.

Fisiknya telah mati rasa untuk peka terhadap suasana beku ini.

Aora terus berjalan di tengah jalanan yang sepi, diikuti oleh bayangan hitam tubuhnya.

Ia tak peduli mau dibawa ke mana dirinya oleh kakinya yang lemah, kakinya yang lemah untuk menopang tubuhnya tetap berdiri dengan tegar, yang lemah untuk terus membawanya pergi mencari kebahagiaan.

Pertanyaan Aora hanya satu, apa itu kebahagiaan?

Angin datang menabrak tubuh Aora, menerbangkan sebagian kecil rambut merah gelapnya yang basah.

Barangkali bukan hanya fisiknya saja yang mati rasa. Bisa jadi hatinya yang selama ini dibantai oleh kenyataan pahit juga ikut mati rasa sehingga ia tak bisa merasakan kebahagiaan itu.

Atau, memang kebahagiaan itu saja yang tak pernah mau menemuinya.

"Kenapa kebahagiaan itu seperti pelangi? Bisa aku lihat tapi ga bisa aku sentuh." batin Aora.

Kakinya berhenti melangkah, genangan air di depan memantulkan bayangan tubuhnya.

"Apakah aku terlalu hitam untuk bahagia?" Aora menunduk menatap genangan air itu.

"Mau sampai kapan?"

"Mau sampai kapan aku jadi yang terhitam dari yang paling hitam?"

"Mau sampai kapan aku kotor terus?"

Sayang, cermin alias genangan air itu tetaplah memantulkan dirinya sendiri. Dirinya sendiri yang tak pernah bisa menjawab semua pertanyaan itu.

"Aku benci kamu," ucap Aora lemah, diikuti air matanya yang keluar.

"Aku benci kamu, Aora." isaknya.

Jika semua orang bisa membenci dirinya, kenapa ia tidak?

Aora pun lanjut berjalan sambil menangis.

Seharusnya malam ini ia bahagia. Bahagia karena bisa kabur dari rumah bibinya.

Tapi sejauh apapun ia melangkah menjauh, ia tetap tidak bisa kabur dari kenyataan kelam dalam hidupnya.

Pada akhirnya ia harus kembali ke rumah kotor itu dan menjadi gadis hitam lagi.

Ia ibarat bayangan hitam yang takkan bisa pergi kemanapun, selalu mengikuti sosok di depannya sampai cahaya datang untuk menghapus dirinya, atau sampai semuanya menjadi gelap dan dirinya bukan apa-apa lagi.

Ini bukan pertama kalinya Aora kabur dari zona hitam.

Ia sudah berkali - kali mencoba pergi meninggalkan bibinya namun rasa takut akan hal buruk yang terjadi pada orangtuanya lah yang selalu membuatnya berubah pikiran.

Jika aku pergi, Mama Papa akan mati.

Dan jika aku bertahan, aku akan terus tertekan.

Dia kuat. Dan dia jahat. Itulah yang bisa Aora gambarkan tentang bibinya.

Suara derum mesin kendaraan di jalan raya mulai masuk ke telinga Aora. Beberapa meter di depannya terlihat jalan raya yang ramai.

Lampu-lampu merah di area trotoar itu berkedap-kedip menerpa setiap kendaraan yang lewat dengan cepat.

"Hei!"

Aora tercekat. Ia memberhentikan langkahnya sembari menoleh.

Di belakang, tampak lima orang laki-laki berbadan besar sedang berlari ke arahnya.

Mata Aora membelalak dan dengan panik ia segera berlari menyelamatkan diri.

"Hei, jangan kabur!"

"Jangan tangkap aku!" teriak Aora tanpa menoleh. Sementara lima anak buah bibinya itu terus mengejar.

"Berhenti!" bentak salah satu dari mereka.

"Ku mohon jangan." Air mata Aora berterbangan, ia berlari sambil menangis.

"Aku mohon berhenti," teriaknya lagi. "Jangan kejar aku!"

Tanpa sadar Aora telah berada di tengah jalan raya. Ia berhenti ketika mendengar suara klakson berbarengan dengan cahaya putih yang menyilaukan matanya.

Aora menoleh dan belum sempat menghindar, tubuhnya telah tertabrak mobil hingga terpelanting ke aspal.

"Ya ampun!" Orang-orang di sekitar trotoar berteriak panik.

Aora tengkurap di jalan, darah pekat mengalir di bawah tubuhnya. Ia merasakan kesakitan yang luar biasa.

Para anak buah bibinya tampak terkejut melihat kejadian itu, namun, mereka memilih balik badan dan lari.

Aora mendengar suara derum mobil yang berhenti di belakangnya. Kemudian seorang laki-laki menghampirinya.

"Kamu bisa bertahan?"

Aora mendongak, hendak melihat seseorang itu, air matanya mengalir deras sederas darah di bawah tubuhnya.

"S-sakit..." erang Aora. Sementara orang-orang mulai bergerombol di sekelilingnya.

"Saya bawa kamu ke rumah sakit, oke?"

Laki-laki itu mengangkat tubuh Aora secara perlahan dan membawanya ke mobil.

Aora disandarkan di sebelah kursi setir. Kemudian laki-laki itu ikut masuk dan menyalakan mesin.

Mereka pun melaju meninggalkan kerumunan orang-orang yang tampak masih shock.

"Sabar, ya. Rumah sakitnya ga jauh dari sini." ucap laki-laki itu sambil memandang cemas pada Aora.

Aora yang bersandar lemah di kursi sebelahnya, terpaku. Menatap laki-laki itu dengan kagum.

"Tolong bertahan," kata laki-laki itu.

Aora tersenyum, entah mengapa melihat laki-laki ini, ia merasa bahwa hidupnya tak seburuk yang ia kira.

Aora merasa semangat hidupnya telah kembali. Ia merasa bahagia.

Sejenak ia menoleh ke jendela mobil, melihat pemandangan langit malam yang hanya menyisakan satu bintang.

Ia bergumam, "bin... tang."

Aku bertemu cahaya hidup.

Perlahan matanya menutup, lalu kepalanya terkulai lemah ke samping.

Di bawah langit malam yang memiliki satu bintang, mobil itu melaju dengan cepat.

Dan cerita I am Gross pun... baru dimulai.












I am Gross
©2021

I AM GROSS [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang