Haii kamu yang baca cerita ini, terima kasih untuk itu!
Mohon dikoreksi dan selalu support yang terbaik untuk aku yaa!
Jangan lupa vote dan komennya!
Enjoy and Happy Reading!
————————————————————
Untuk sekarang
Hari hariku hanya ingin belajar perihal mengikhlaskan
Menikmati luka yang basah
Dan merelakan apa yang sudah~~
Valerie yang baru saja sampai ke rumah sehabis pulang belanja sayuran, langkahnya tepat berhenti tepat di depan pintu rumah saat mendengar suara orang-orang yang tengah berdebat. Valerie mengintip dan menguping dan dapat mendengar apa yang mereka bicarakan. Ada ayah, kakak dan sepertinya bunda sedang telpon video call dan namun terdengar seperti sedang berdebat. Valerie dapat mendengar jika bunda sedang menangis.
"Setelah ini aku kuliah, yah. Aku enggak mau kalau aku harus berhenti sekolah, pokoknya aku mau kuliah!" tegas Clara.
"Kamu enggak boleh seperti ini, Clara! Adikmu juga butuh uang untuk sekolah!" bentak Dhifa.
"Aku enggak peduli, Bun. Aku lebih tua dari Vale, jadi aku yang lebih butuh uang itu untuk keperluanku!" lanjut Clara.
"Cukup! Clara benar, Vale bisa putus sekolah, tapi tidak dengan Clara. Dia lebih butuh uang itu!" tegas Arkan.
"Istighfar Mas! Vale juga darah dagingmu, kamu juga harus memperlakukan Valerie sama seperti Clara! Kamu enggak bisa seenaknya ambil keputusan seperti ini, aku tidak terima!" geram Dhifa melihat sang suami.
"Arkan menggelengkan kepala, menolak apa yang diucapkan istrinya itu. " Aku tidak peduli!"
"Ayah, bunda dan kakak! Sudah cukup, kalau kalian memang ingin aku untuk putus sekolah, akan aku lakukan. Tapi, tolong jangan ribut seperti ini, enggak enak di denger tetangga." ucap Valerie datang mencoba menenangkan keadaan.
"Ini semua gara-gara kamu! Kamu anak pembawa sial di keluarga ini, harusnya kamu tidak terlahir di dunia ini, ini semua salah kamu, Vale!" teriak Arkan.
"Berhenti menyalahkan Vale mas, dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!" kata Dhifa.
Clara segera membantah, "Ada bun! Andai Vale tidak lahir di dunia maka aku akan mendapatkan semua yang kuinginkan!"
Valerie segera menggelak. "Cukup! Jika kalian tidak ingin aku ada di dunia ini, lalu mengapa kalian melahirkanku? Mengapa tidak kalian gugurkan aku saja saat aku berada dalam kandungan? Mengapa kalian baru menyesali sekarang?!"
"Cukup! Jangan Valerie yang kalian jadikan korban, apa salah Valerie dalam hal ini? Anakmu tidak tahu apapun, Mas!" teriak Dhifa. Emosinya menyalak.
"Aku tidak peduli, sampai kapanpun Vale akan selalu salah di mataku! Ini semua terjadi karna Vale!"
Sudah cukup Valerie mendengarkan perdebatan orang di sana yang semakin membuat hatinya sakit. Valerie meninggalkan pekarangan rumah dengan keadaan menangis, yang terpenting sekarang Valerie butuh tempat untuk melampiaskan semuanya. Valerie tiba di tepi danau yang berada jauh dari rumahnya, Valerie menangis kencang saat mengingat semua perdebatan dan perkataan ayah dan kakaknya tadi.
"Apa salah Vaerie, Yah, Kak." Valerie menepuk dadanya berkali-kali, mencoba menghilangkan rasa sakit yang menghampit di dadanya. Valerie masih menangis kesakitan, mengingat bagaimana dirinya tidak dianggap dan tidak diharapkan oleh keluarganya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ilusi dengan Waktu
Teen FictionHappiness is when your parents smile, and you are the reason. Banyak yang bilang, Vale itu lemah. Namun tidak dengan Zaheen. Dimatanya, Vale adalah seorang gadis dengan nilai sempurna tanpa ada kekurangan sedikitpun yang membuatnya selalu merasa...