Bab 1 : Turbulence

316 15 0
                                    

"Kita adalah pernah, bukan punah, apalagi menyerah, hanya sudah."

...

Teaser : ROMANTIC MARRIAGE
......

Desember

Di bulan ini, takdir mempertemukan kita yang awalnya hanya saling sapa, menjadi rasa.

Di sudut caffe, sepenuhnya kita habiskan waktu bersama, sambil mengiringi sang surya kembali pada peraduannya.

Kurasa pada saat itu waktu cukup panjang, memihak pada kita yang sedari awal malu malu ingin mengungkap rasa.

Namun, dengan bergulirnya waktu, rasa mulai menguasai keseluruhan. Perlahan cinta mendekap hati kita yang sama sama sudah siap.

Tepatnya 30 Desember, bulan yang begitu indah.
Dilangit sepanjang malam bulan terukir cerah, seakan-akan memberikan makna pada kita yang saling jatuh cinta.

Namun, itu satu tahun yang lalu.
Dan kini? Desember kali ini aku habiskan dengan kesendirian tanpa dirimu.

Ya. Dirimu yang telah berpaling, lebih memilih pergi dengan yang lain tanpa seizin ku.

Oh Desember yang malang.

....

Pagi ini, alarm memaksaku untuk terbangun. Memulai hari dengan kemalasan memang sudah menjadi salahsatu kebiasaan yang sulit untuk di ubah..

Apalagi jika hanya tinggal sendirian di apartemen sebesar ini, siapa yang akan memperhatikan?.

Ah rasanya baru saja menyandang status sebagai jomblo wati memang tidak meng-enakan.

Apalagi hari ini aku ada jadwal flight untuk kembali pulang kampung, malas. Cukup malas untuk pulang kerumah, apalagi ada acara besar yang pastinya akan banyak orang berkumpul di rumah papa.

Sebenarnya, jarak dari kota tempatku bekerja dengan kampungku lumayan jauh.

Jika berpergian melalui daratan, mungkin akan sampai satu hari kemudian, berbeda jika memakai pesawat hanya satu jam sudah cukup untuk menghabiskan sisa sisa jam sebelum hari besar digelar.

Bahkan bisa beristirahat sejenak dari kesibukanku nanti disana.

Sekarang, aku sudah berada dijalanan menuju bandara. Jalanan terasa ramai dan padat dipenuhi lalulalang kendaraan.

Belum lagi klakson terdengar dimana-mana, seakaan akan ikut menjerit tak sabaran.

Aku merasakan getaran di dalam tasku, sebuah telpon dari mama berhasil mengalihkan perhatianku dari jalanan ini.

"Halo il?" Suaranya sangat lembut kala menyapa.

"Iya ma?"

"Ilya udah berangkatkan? Jadikan pulang hari ini?" Tanyanya membuatku sedikit tertawa kecil.

"Jadi dong ma, ini ilyana lagi dijalan. Tungguin ilyana pulang ya ma, salam buat papa dan mbak isyana." Selorohku pada mama yang harap harap cemas menanti kedatangan putri bungsunya ini.

"Mmm iya sayang, mama tunggu ya? Kamu hati hati pulang kesini, ada yang menemani kah? Apalagi naik pesawat harus bisa mengendalikan rasa ketakutanmu ya nak" mama memang terbaik, pastinya aku akan terus ingat apa yang mama katakan.

Hingga percakapan kami terputus, disinilah aku sekarang berpijak, di dalam bandara, menunggu pesawat yang akan mengantarkan rombongan menuju tujuan.

Jantungku kini sudah berdegup lebih cepat dari biasanya, rasa cemas mulai melingkupi keseluruhan hatiku.

Terbang sendirian tanpa ada yang menemani, terkadang membuat efek trauma ku kembali kambuh.

Hingga saat ini aku sudah duduk di dalam pesawat, seluruh indra tubuhku mulai terasa kaku, fikiran dan fokusku tertuju pada mbak pramugari yang terus memberikan informasi beserta arahannya jika saja ada hal yang tidak diinginkan terjadi.

Walaupun aku sudah sering mendengarnya dan hafal secara keseluruhannya.

Hingga kami mulai mengudara, dengan ketinggian yang sudah jauh tak terhalau lagi.

Hatiku sudah mulai terasa relax, otot ototku yang tadi sempat kaku kembali ku regangkan.

Hingga mungkin baru seperempat dari perjalanan. Tiba tiba yang tidak aku harapkan terjadi juga.

Pesawat mengalami turbulensi, semua yang di dalam pesawat terlihat panik. Apalagi dengan aku yang kini sudah sedikit hilang kesadaran untuk melakukan apa yang di perintah kru.

Tanganku Menggapai apa yang bisa aku cengkram, sementara sebelahnya lagi sudah ku gigit demi menghindari teriakan yang takutnya akan keluar dari bibirku ini.

Ntah..

Ntah apa yang aku cengkram saat ini, namun yang aku rasakan saat ini ada yang membalas cengkramanku dengan lembut.

Seakan akan menguatkan diriku untuk melawan apa yang menjadi ketakutan terbesarku saat ini.

Mungkin hampir lima menit lamanya guncangan itu terjadi, hingga kini semua sudah kembali normal.

Seluruh badanku benar benar tegang, dan saat ini aku mulai kembali menguasai tubuh.

Perlahan dengan pasti aku buka kembali mata ini, di sekelilingku orang orang sudah mulai tenang, pun dengan orang yang berada di sebelahku.

Tanpa sadar tangan kami masih terus tertaut.

Astaghfirullah ilya..

"M-mmaaf, s-ssaya-" ucapanku terpotong dengan kepalanya yang mengangguk-angguk.

"it'okay" tukasnya kemudian pandangan kami berdua tertuju pada punggung tangannya yang terkelupas dan sedikit berdarah karena cakaranku tadi.

Ya allah il, sampe berdarah gitu toh?

"Mmm pak, itu- berdarah biar saya bersihkan ya?" Panikku dengan kedua tangan yang sibuk mencari sachetan tissue basah biasa yang sering aku bawa.

Tanpa penolakan tangannya ku gapai untuk dibersihkan. Walaupun darahnya tidak begitu banyak, tetap saja akan terasa perih bila dibiarkan begitu saja. Belum lagi bakteri yang kuku-ku bawa akan masuk kedalam lukanya.

"S-saya benar benar meminta maaf pak" ucapku lagi setelah kegiatan yang kulakukan dirasa cukup.

Ia hanya mengangguk dan selalu dengan senyuman simetrisnya.

"Nggak apa-apa, saya mengerti." tegasnya.

Hhhh... Ini yang sulit aku ubah dalam kurun waktu lama.

Punggungku kembali kusandarkan, mencoba untuk terus fokus dan melupakan kejadian awkward tadi.

Hingga tak terasa kru kabin menginformasikan kembali jika pesawat akan segera landing.

Berakhirlah kekacauan dari perjalananku ini..

...

ROMANTIC MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang