□□□□□□
Keputusan bersama atau keputusan sepihak? Siapa yang peduli! Nyatanya masing-masing dari mereka sudah menduga, keputusan untuk pergi ke kamar sebagai hal yang paling bijak untuk sesaat, melewatkan makan siang. Tidak akan ada seorang pun yang mau mengganggu mereka berdua, bahkan wanita sekelas Mrs. Anne sekalipun.
Di dalam kamar yang serba tertutup, maupun tak dibiarkannya sekalipun cahaya matahari masuk. Mereka mulanya hanya saling bersentuhan. Hal paling inti sebelum menikmati menu utama adalah makanan pembuka, yang manis dan mengunggah selera. Ciuman panas, sentuhan kelewat intim, terakhir sebuah bisikan-bisikan lembut, menyatakan kepemilikan, selain itu menyatakan keinginan.
Naruto mengamati Hinata setelah melepaskan pelukan penuh posesif. Mengamati penampilan compang-camping yang menggiurkan. Semakin dilihat, semakin dia ingin melucuti pakaian pelayan yang dikenakan oleh gadis itu. Tapi masalahnya, ia tidak pernah ingin menelanjangi Hinata. Sekadar melecehkan adalah sesuatu yang mungkin lebih diinginkan oleh gadis itu. Wajah malu-malu Hinata, benar-benar lebih seksi dari para penari telanjang yang pernah ditemuinya.
"Jika kamu ada di sisiku, tidak ada alasan lagi bagiku mengikuti teman-temanku berpesta," bisik Naruto, saat tangannya menyelusup masuk ke dalam gaun pelayan Hinata yang panjang dan serba tertutup. "Ini disebut kesalahan, ketika aku lebih menyukai sesuatu yang serba tertutup seperti apa yang kamu kenakan. Aku jadi bisa berfantasi, ada apa di balik gaunmu itu. Apa ini tandanya aku sedikit kelainan?"
Hinata menatap Naruto dengan ragu. "Aku tidak mau mengatakan ini, tapi sepertinya kamu punya kelainan."
"Kelainan?"
"Apa sebelumnya kamu pernah melecehkan seorang pelayan?" tanya Hinata, mengalihkan tatapannya, matanya terlihat berkilat penuh dengan kecemburuan, kalau saja Naruto tidak salah menduga. "Apakah kamu suka diam-diam memerintahkan mereka untuk datang ke kamarmu?"
"Ya," Hinata terkesiap, menatap mata Naruto dengan dalam. "Sekarang kejadiannya."
"Apa?"
"Aku meminta pelayan pribadiku untuk melakukan pelayanan di kamarku, dan mungkin, aku tidak akan membiarkannya pergi dari sini mulai sekarang."
"Apa yang kamu katakan?"
Naruto mendekatkan bibirnya dengan menyunggingkan senyumannya tepat di telinga Hinata untuk berbisik. "Aku akan membuatmu tidak bisa berjalan keluar dari kamarku. Sial sekali, aku tidak dapat mengontrol begitu aku memutuskan sesuatu, Sweetheart."
Hinata merasakan jari-jari Naruto yang besar masuk dengan kasar meraba selangkangannya, lantas memasuki dirinya. Satu, dua, atau tiga jari yang akhirnya terasa menyakitkan. Pria itu memainkan bagian sensitifnya, dan tidak ada alasan baginya untuk tidak mendesah karena sesuatu akan meledak dalam hitungan detik, tapi pintar sekali sang majikan menghentikan sebelum semuanya benar-benar terjadi.
"Aku suka suara seseorang ketika memohon," bisik Naruto ke telinga Hinata. "Memohon dengan suara yang seksi, aku akan melakukannya untukmu jika kamu memohon."
Hinata terdiam, berusaha mengatur napasnya. Siksaan yang benar-benar meninggalkan sebuah ketidaknyamanan itu membuatnya tidak dapat memilih sesuatu yang lebih rasional. Dan saat kembali Naruto memainkan bagian-bagian sensitifnya, kali ini pria itu berada tepat di selangkangannya, sementara dia dapat merasakan sesuatu yang lunak—dengan tidak merasa jijik, lidah pria itu melesat masuk untuk menyiksa dirinya lebih lama, lalu kembali berhenti ketika dirasa sesuatu akan keluar tepat di bawah perut.
"Naruto!" Hinata berteriak penuh frustrasi, mengambil duduk dan memukul dada pria itu dengan keras, sementara Naruto kembali mendorong tubuh gadis itu untuk tetap terbaring di atas kasurnya. "Kamu sengaja melakukan hal ini, 'kan?"
YOU ARE READING
TALKING To The Moon
FanfictionPembunuhan yang terjadi malam itu tidak harusnya dia lihat! Hinata Hyuuga yakin untuk itu. Namun kesialan menimpanya. Hinata bertemu seorang pria misterius bermandikan darah dengan setelan jas formal hitam, justru menembak sang tetangga, seorang pri...