BAB 9

33 4 0
                                    

□□□□□□

Sudah berapa kali hari ini dia mengutuk dirinya sendiri karena terlalu berbicara blak-blakan. Saat menyusul Hinata ke rumah kaca, dia mengatakan bahwa dia terangsang dengan mudahnya. Kalau Anne tahu masalah itu, sudah jelas wanita itu akan menyebutnya tidak sopan, setelah apa yang diajarkan dalam buku sopan santun dengan isi yang berbab-bab banyaknya. 

Di dalam video panggilan tiga orang, Sakura dan Sasuke yang berada di tempat berbeda, menatapnya aneh sambil menikmati sesuatu seperti camilan. 

"Dia sudah mulai gila," celetuk Sasuke dengan menatap ke layar. "Sebenarnya dia sedang apa? Dia tidak niat melakukan rapat? Tumben sekali."

"Biasanya dia yang akan marah kalau kita berdua tidak serius," ujar Sakura, yang merasa aneh. "Naruto, serius sedikit, kalau memang tidak ada yang perlu dibahas, aku harus segera meninggalkan panggilan ini untuk pergi ke suatu tempat. Ada banyak pertemuan yang sudah dibuat, karena Sasuke akan rapat dengan beberapa klien hari ini."

Naruto mematikan panggilan itu secara sepihak tanpa mengatakan apa-apa sehingga teman-temannya merasa makin aneh, bahkan mereka tidak berhenti untuk menggerutu karena masalah yang bahkan tidak diketahui oleh mereka sendiri, mengapa Naruto sampai-sampai menjadi orang yang terlihat linglung. 

Beristirahat dengan tidak nyaman di kursinya, dia lagi-lagi mendengar pintu yang diketuk, tidak lama kemudian dia melihat Hinata membawa teh untuknya pada siang hari sebelum makan siangnya. Gadis cantik yang menggunakan pakaian pelayan sungguh seksi. Apa yang sebaiknya harus dia lakukan kepada gadis itu? Sejak awal dia memang suka menggoda Hinata dengan sesuatu yang sangat menggelikan atau tidak sopan, tetapi dia tidak pernah semalu sekarang. Kalau dipikir-pikir sensasinya memang aneh. 

"Apakah aku mengganggumu?" 

"Tidak, aku baru selesai rapat dengan Sasuke dan Sakura," tanpa mengatakan kalau dia bersikap aneh dan tidak fokus hanya karena ketidaksopanan yang sudah dilakukannya tadi pagi. Namun sepertinya tidak begitu berefek pada Hinata. Gadis itu tampak biasa dengan candaan atau kalimat yang mengarah pada suatu hal sensitif. Oh sial, berarti hanya aku yang bersikap berlebihan? Naruto mendengkus kesal. "Hinata, bisakah kita membicarakan sesuatu yang lebih serius?" 

Hinata termenung sesaat ketika dia baru saja selesai meletakkan cangkir di meja kerja Naruto, juga sebuah teko berisi teh. "Apa ada masalah? Atau ini soal pernikahan kontrak?" 

"Aku tidak akan menutupi soal itu." 

"Baiklah, tetapi kamu seharusnya tahu jawabanku." 

"Kenapa kamu tidak mau menikah denganku?" Hinata mengambil duduk sambil memainkan jarinya. Berpikir apakah jika dia tidak berkata jujur Naruto lagi-lagi akan marah kepadanya, atau mengeluarkan suara keras sampai-sampai membuatnya kembali merinding. "Berikan alasan, aku butuh alasan." 

"Aku tidak ingin menikah kontrak," kata Hinata dengan suara yang sangat lirih. "Aku ingin menikah dengan pria yang mencintaiku, kita sama-sama bahagia, dan kita punya tujuan yang sama."

"Aku bisa begitu kalau kamu mau," ujar Naruto dengan nada yang sangat yakin. "Kamu tahu perasaanku, aku begitu menyukaimu, kamu adalah cinta pertamaku, kamu sudah mengerti, 'kan? Kenapa kita tidak menikah saja kalau begitu?" Hinata menggelengkan kepalanya—Naruto dibuat gemas oleh gadis itu. "Apa yang kurang kalau begitu?" 

"Tapi aku tidak punya perasaan kepadamu," dia dapat merasakan hatinya pecah kerkeping-keping. 

"Aku akan membuatmu jatuh cinta—" Naruto berkata dengan muka memerah. "Aku akan buat kamu jatuh cinta padaku!" Hinata terdiam, semakin membuat Naruto tidak berdaya. "Apa kamu mau mendengar ceritaku, kenapa aku bisa sampai seperti ini?" 

TALKING To The MoonWhere stories live. Discover now