BAB 2

239 42 2
                                    


□□□□□□

Siapa gadis itu kira-kira?

Naruto dalam perjalanan ke Konoha untuk memastikan apa yang dikatakan oleh Sakura benar. Ah, bukan kebenaran yang dia harapkan sebenarnya, tetapi memastikan dia mengingat gadis itu, dan alasan mengapa dia membawa pulang gadis itu. Bukankah begitu?

Sesampainya di depan rumah besar itu, dia sudah melihat Sakura keluar dari sana, sementara Sasuke manatapnya agak bingung di belakang gadis itu. "Wah, berencana liburan?"

"Kamu punya kabar baik, Sasuke?"

"Ha? Seakrab itukah aku harus memberimu kabar?"

Naruto memicing dengan wajah kesal.

"Ya, teman semasa kecil yang tidak dianggap."

"Mengapa aku tidak menganggapmu?"

"Karena kamu menyuruhku untuk tinggal di sini seperti penjaga."

"Jadi, kamu mau pulang ke rumah dan berurusan dengan Uchiha?" Naruto terpingkal-pingkal. "Lagi-lagi ayahmu akan membicarakan tentang kamu dan kakakmu—kalian berbeda."

"Naruto!" Sakura tersulut, dia hampir-hampir memukul kepala Naruto jika Sasuke tidak mencegah kekasihnya. "Kamu ke sini untuk menemui gadis itu, bukan untuk memulai pertengkaran."

"Hei, dia dulu yang memulai," dengkus Naruto, agak kesal—atau benar-benar kesal. "Ampun deh, kenapa aku bisa punya kebaikan seperti ini membawa siapa pun ke rumah seenaknya."

Naruto melewati Sakura dan Sasuke untuk menuju ke suatu tempat di mana dia harusnya berada di sana siang ini. Ia sudah meluangkan waktu di jadwal super padatnya hanya untuk menemui gadis yang dibawanya pulang pada malam itu.

Kata Sakura kamar gadis itu ada di lantai dua, bagian lorong paling ujung, di sepanjang area kamar tamu. Dan akhirnya dia sudah sampai di sini. Di sebuah pintu berdaun putih dengan lambang keluarganya berwarna emas spiral.

□□□□□□

Hinata memandangi pintu kamarnya dengan berpikir apakah kali ini dia bisa keluar dari kamar ini. "Tidak mungkin, 'kan? Semua pembantu itu pasti langsung menemukannya. Di setiap kelokan lorong aku dapat melihat kamera pengintai di sana."

Sudah semestinya kalau di rumah besar seperti rumah Frankenstein ini akan banyak mata-mata, bukan hanya dari ucapan para pembantu, yang dari mulut ke mulut, dari mata ke mata, menjadi sebuah rumor yang tak terbantahkan.

"Haruskah aku keluar sekarang?" dengan tangan bergetar Hinata memutar kenop pintu dan melesat keluar dari kamar tersebut, tetapi sesuatu menghalanginya hingga dia terjatuh. Bokongnya mendarat pada lantai, dan itu sangat menyakitkan. "Aduh!" dia meringis kesakitan.

Hinata mendongak ketika dia melihat sepasang sepatu pantofel mengilap, kemudian terkejut ketika seorang pria menghalanginya untuk kabur. Tidak pernah sekalipun dia kira kalau pria itu—si pembunuh dingin mencul di depan pintunya.

"Kamu—" ujar pria itu terheran-heran. "Mau kabur?"

"Tidak!" Hinata merangkak ke belakang dengan wajah ketakutan, sebaliknya memabayangkan hari itu—malam berdarah dengan bulan purnama besar di belakang tubuh pria itu tampak menakutkan. Senyuman dingin pria itu benar-benar menghancurkan keberaniannya. "Maafkan aku!"

Naruto memasuki kamar Hinata dengan langkah yang berat sambil memperhatikan sekitarnya. "Kamar yang pengap."

"Pengap?" pria aneh itu jelas berbicara melantur. Kamar ini besar dan sangat mewah, setiap hari tercium aroma dari bunga segar yang selalu diganti, akan dibersihkan menyeluruh dua hari sekali. Tidak sekalipun debu dibiarkan hinggap.

Pria itu kemudian duduk pada sofa, dan bagaimana bisa terlihat sangat menawan seperti bangsawan yang selalu terlihat elegan di mana pun mereka berada. Ah, tidak juga, justru terlihat seperti seorang penjahat pria yang seksi di sebuah cerita romansa.

Penjahat seksi?

Muka Hinata langsung bersemu merah agaknya karena dia membayangkan sesuatu yang salah—sesuatu yang sedikit memalukan.

"Apa kamu baik-baik saja? Mukamu merah, apa kamu marah aku ada di kamarmu?"

"Tidak, mengapa aku harus marah?"

"Karena aku tiba-tiba masuk, atau tiba-tiba membawamu ke sini? Hanya Tuhan yang tahu," gadis itu langsung menundukkan wajahnya. "Aku ingat kejadian malam itu, kamu menyaksikan semuanya, 'kan?" Hinata mendongak, wajahnya berubah pucat dari memerah. "Aku tidak yakin kamu bakal merahasiakan kejadian malam itu."

Badan Hinata terlihat bergetar, sedangkan Naruto tersenyum dengan menyunggingkan bibirnya.

"Kenapa kamu selalu merespons ucapanku seperti sekarang? Kamu benar-benar takut padaku?"

"Kamu... mungkin saja—"

"Mungkin saja?"

"Mungkin saja... membunuhku."

Naruto tertegun, kemudian dia terbahak-bahak. "Hmm, daripada membunuhmu bukankah aku harus memanfaatkanmu?" tenggorokan gadis itu bergerak, terlihat bahwa dia menelan ludahnya sendiri. "Apa yang harus aku lakukan padamu ya kalau begitu. Ah, kalau menghangatkan malamku bagaimana?"

"Apa?"

"Kenapa kamu terkejut begitu?" tanya Naruto, entah mengapa menyenangkan melihat wajah gadis itu ketakutan, tetapi sedikit terlihat malu. "Bukankah seorang tawanan itu harus dijadikan budak?"

"Budak? Aku bisa bekerja di rumah ini jadi pelayan jika kamu mau."

"Bukan budak seperti itu."

"Bukan budak seperti itu?" tanya Hinata tergagap.

"Ya, bukan budak seperti itu, tetapi budak seperti ini," Naruto menunjuk selangkangannya, sementara Hinata semakin tidak karuan. "Hehe, kamu tahu maksudku ya."

Hinata memejamkan matanya rapat-rapat, lalu membuka matanya kembali. Seakan-akan dia berharap bahwa situasi yang sedang dia hadapi sesuatu seperti mimpi buruk, dan sebentar lagi dia akan terbangun begitu membuka mata. Namun semua yang terjadi, dan percakapan menjijikkan itu bukan bagian mimpi buruknya.

"Baiklah," pria itu berdiri dari duduknya. "Aku tidak mau menggodamu lagi."

"Jangan bercanda!" Hinata berteriak cukup keras, menggema di ruangan itu, air matanya mengalir tiba-tiba bahkan ketakutan memenuhi seluruh hatinya. "Kenapa kamu tidak membunuhku? Bukankah lebih baik begitu agar tidak ada lagi saksi yang melihatmu membunuh seorang pria!"

"Ternyata kamu bisa bicara lancar juga ya."

"Memang kenapa kalau aku bicara lancar? Lalu... kenapa aku tidak boleh bicara gagap?" pria itu menggaruk pipinya. "Dasar pria jahat!"

Naruto kembali tersenyum kepada Hinata, lantas berseru, "Penjahat?" dia mendekati gadis itu kembali, menyentuh pipinya yang terasa panas dan masih merona. "Aku tidak dapat menyangkalnya, karena aku memang seorang penjahat."

Hinata ingin melangkah ke belakang, tetapi seperti malam itu, dia tidak dapat melakukan apa-apa selain terpaku pada sosok pria tinggi dan kekar di depannya. Di antara kemeja gelap, bagian dada pria itu yang menonjol membuatnya merasakan kekeringan pada tenggorokannya. Hinata akan tabah menghadapinya, tetapi mungkin saja tidak.

"Namamu Hinata, 'kan?"

"Ya?"

"Suka sekali aku menggodamu," kata pria itu dengan lembut di telinga Hinata yang memerah, dan napas pria itu berhasil membuat gadis itu merasakan detak jantung tak beraturan. "Aku tidak ingin menemukanmu pingsan lagi, Hinata," sementara tangan pria itu melingkar ke pinggangnya. "Tapi jika kamu pingsan sekarang, aku akan menggaulimu!" bisiknya lagi pada gadis itu.

□□□□□□

BERSAMBUNG

TALKING To The MoonWhere stories live. Discover now