BAB 1

230 48 2
                                    

□□□□□□

Sudah semestinya Hinata ditempatkan pada ruang bawah tanah rumah aneh gaya Eropa itu. Namun realitas yang ada, dia ditempatkan pada kamar mewah bagai kamar putri raja. Pernak-pernik bergaya barat, furnitur serba emas dan agaknya menyilaukan matanya itu membuatnya terdiam.

Dengan pakaian lusuh dia digiring masuk ke sana. Pria tampan misterius itu sepertinya kurang waras. Jadi ini yang disukainya? Memberikan apa yang dibutuhkan oleh sang korban, setelah itu membunuhnya. Ya, tentu saja, dia datang ke sini bukan untuk liburan romantis serta menikmati kehidupannya sebagai gadis pengangguran yang mendadak hidup mewah. Dia datang ke sini untuk menjadi korban selanjutnya—dibunuh saja atau dijadikan sebagai uji coba, siapa yang tahu.

Sudah sebulan lamanya dia tinggal di rumah Frankenstein—begitulah dia menyebutnya—tanpa penjelasan apa pun atau setidaknya dia diberitahu apa yang harusnya dia lakukan sepanjang berada di sana. Setiap hari dia diserang pusing karena menebak kemungkinan yang terjadi untuk keesokan harinya. Sedangkan pria misterius yang akhirnya diketahui olehnya sebagai Naruto, tak pernah sekalipun muncul di rumah itu.

"Kamu selalu murung setiap hari, apa yang bisa aku lakukan untukmu agar kamu tidak murung?"

Sakura Haruno memasuki kamarnya seperti biasa setiap pagi karena dia tidak pernah diizinkan untuk keluar dari kamar itu. Satu-satunya yang dapat dia lakukan adalah keluar dari balkon untuk menikmati udara segar. Mengistirahatkan diri dari udara kering karena pendingin ruangan.

"Kamu mengabaikan aku?"

"Hanya kamu satu-satunya teman biceraku di sini, bagaimana bisa aku mengabaikan kamu?" tanya Hinata, menatap Sakura dengan skeptis. "Meski begitu kita benar-benar bukan seorang teman."

"Apa maksudmu? Apakah kamu punya teman baru?"

"Tidak, untuk apa aku punya teman baru? Aku tidak yakin semua orang yang datang dan pergi di kamar ini bisa aku jadikan sebagai seorang teman, karena aku adalah tawanan. Bukankah begitu?"

Gadis berambut merah muda itu memancarkan pandangan baru, begitu menggelitik dan terlihat akan tertawa. Namun satu-satunya yang dilakukannya bukan yang dilihat oleh Hinata. Sakura justru mendekati Hinata dan merapikan rambut panjang gadis itu. "Bagaimana kalau kamu potong rambut? Aku punya gaya rambut cantik yang cocok dengan wajah bulatmu."

"Aku tidak ingin potong rambut, karena aku suka rambut panjang."

"Tapi gadis-gadis yang tinggal di sini tak pernah diizinkan untuk punya rambut panjang," Hinata memutar ingatannya kembali. Pelayan-pelayan wanita yang bekerja di rumah ini berambut pendek. Ia pikir awalnya mungkin agar rambut panjang mereka tidak mengganggu aktivitas mereka yang padat. Akan tetapi akhirnya dia tahu, bahwa memiliki rambut panjang adalah larangan.

"Apa kamu juga dipaksa potong rambut?"

"Hmm, tidak juga, aku hanya menghormati Naruto."

"Menghormati? Apa maksudmu?"

"Maaf, aku tidak bisa menceritakan masalah itu, karena satu-satunya yang harus aku lakukan adalah memotong rambutmu sekarang. Akan aku tunjukkan gaya mana yang akan kamu gunakan, tetapi jika kamu tidak suka, kamu bisa memilih yang lain."

Hinata mengambil beberapa helai rambutnya dan melihatnya serius. Dia tidak pernah memotong rambutnya sangat pendek atau sedikit saja, sebab dia terlahir seperti gadis tomboi. Dia mungil seperti anak laki-laki yang menggemaskan, maka dari itu rambut pendek membuatnya tidak pernah percaya diri.

"Kamu yakin akan tetap membuatku jadi cantik kalau aku potong sedikit saja?"

"Ya, karena kamu sudah cantik, aku kira dipotong model apa pun tetap membuatmu cantik," Hinata bersemu merah. "Aku tahu kok kamu adalah gadis yang tidak percaya diri dengan penampilanmu sendiri. Kamu datang dengan pakaian tebal dan rok hampir menyentuh mata kaki. Rambut panjangmu terawat dengan baik tetapi membuatmu benar-benar seperti gadis kampungan, padahal kamu adalah gadis yang sangat cantik."

TALKING To The MoonWhere stories live. Discover now