Dua bulan sebelumnya
[Flashback start]
Simon Gong Jun memiliki dua tujuan dalam perjalanan pulang kali ini. Dia berpikir dalam-dalam saat melewati hujan pagi yang deras.
Tujuan pertama adalah menjenguk sang ayah yang tengah sakit, merencanakan untuk tinggal bersamanya di rumah masa kecil nan damai di pinggiran Chengdu, meninggalkan kemeriahan Shanghai dan kehidupan gemerlapnya.
Tujuan kedua, mewarisi bisnis coffe shop yang telah dijalankan sang ayah selama lima belas tahun yang telah menjadi sumber tambahan penghasilannya selain bekerja sebagai pegawai pemerintah. Tahun kemarin, ayahnya bahkan sudah pensiun dini. Itu yang Simon dengar selentingan lewat percakapan di telepon.
Jadi saat ini, dia tengah mengemudikan sedan Chevrolet terbarunya melalui perjalanan panjang selama hampir delapan jam dengan memilih jalur bebas hambatan yang berkelok-kelok seperti ular. Simon sudah mengurus semuanya di Shanghai. Dia menyerahkan apartemen pada salah seorang sepupu jauhnya untuk dirawat dengan baik. Dia juga sudah mengundurkan diri dari perusahaan periklanan tempatnya bekerja sebagai manager. Simon masih lajang, seharusnya tak akan ada banyak hambatan untuk dia berpindah dari satu kota ke kota lain.
Memutar musik ceria pada audio mobil, Simon menatap bayangan wajahnya sendiri dalam satu kilas lirikan di kaca spion. Wajahnya luar biasa tampan, dia tahu itu. Semua orang mengetahuinya.
Kulit putih bersinar, matanya gelap, tajam dan nakal secara bersamaan, bulu mata berjumbai hitam, hidungnya mancung sempurna seperti hasil pahatan pematung profesional. Ya, dia tampak hebat. Tapi aset keduanya lebih penting dan jelas, dan itu adalah otaknya. Dia lebih pintar dari yang diketahui siapa pun. Dia terlihat pintar, bahkan licik dan Tuhan tahu orang-orang menghormati dedikasinya pada pekerjaannya, keteguhannya, kemampuannya untuk mengendus sebuah cerita dan melacak kerancuan dalam satu masalah.
Simon tidak hanya bertahan atau berhasil hidup di kota sebesar Shanghai, dia berkembang pesat. Karena dia cerdik dan pintar. Menggunakan ketampanan dan kemampuan untuk keuntungannya.
Tapi itu cerita yang nyaris berlalu. Kini masa depannya adalah Chengdu dan sebuah bisnis kedai kopi yang mungkin tidak sehebat atau sebesar yang ia bayangkan. Sejujurnya, dia mungkin bisa lebih sukses lagi. Tapi permohonan sang ayah membuat alur cerita jadi berbeda.
Ini sedikit lebih rumit.
Mendekat ke kota Chengdu, dia tersenyum memikirkan hal itu saat Chevroletnya memutar melalui tikungan di jalan bebas hambatan. Melaju melewati sebuah van bergerak yang melayang ke jalurnya, dia membunyikan klaksonnya dan si idiot yang menyetir van itu mundur.
Melalui kaca depan, dia melihat sekilas sungai dan kota yang terhampar di tepiannya yang lebar. Jembatan yang menghubungkan sisi timur ke barat terlihat melalui pepohonan. Gedung-gedung tinggi bermunculan lebih dekat ke jantung kota dan dia melihat kabut pagi naik dari air saat dia melihat trem yang menghubungkan kota ke sebrang tepian sungai.
Matahari telah naik dengan sempurna diiringi rintik hujan yang semakin deras dalam sekejap. Simon berhenti di tepi jalan, turun dari mobil lalu berjalan cepat-cepat mengitari rumah besar indah dibingkai taman, melintas ke jalan setapak pribadi. Sudah lima belas tahun berlalu, dia masih saja terkesima, digulung ombak nostalgia, dengan cepat melewati pagar tanaman yang terawat lalu dia bergegas menaiki tangga berubin ke pintu utama.
Setelah mencapai pintu, dia menekan bel yang berdentang bagaikan bunyi lonceng di kuil kosong. Simon menunggu beberapa lama hingga pintu terbuka dan seraut wajah pria setengah baya muncul dari balik pintu. Baru kemudian dia menghela nafas lega, melonggarkan sesak di paru-parunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐅𝐫𝐚𝐩𝐩𝐮𝐜𝐜𝐢𝐧𝐨 𝐢𝐧 𝐋𝐨𝐯𝐞
FanfictionCOFFEE SERIES BOOK 1 Satu permintaan terakhir dari sang ayah membuat Simon kembali pulang ke kota kelahirannya di Chengdu. Di sana ia mewarisi bisnis coffe shop milik keluarga dan mengelolanya. Di kafe itulah ia bertemu dengan seorang pelanggan mist...