Second Cup

373 77 11
                                    

Ada suatu hal di sudut hati yang sedari dulu memaksa untuk terungkap dan menjadikan dirimu  tempatku bercerita. Nada indah ini senantiasa mengalun di dalam hati, ibarat lantunan piano yang biasa kau gemakan. Tapi, apa bisa kukatakan sedangkan niatku saja terkalahkan oleh rasa gugup dan takut?

Tak ada yang perlu dikhawatirkan, aku cukup mengatakan bahwa aku –-

Simon mengerjapkan mata, seketika dilanda gelombang rasa gugup.

“Haii…!” ia tergagap.

Matanya otomatis melebar dan mulutnya terbuka setengah untuk beberapa detik sebelum akhirnya menyunggingkan senyum yang sedikit canggung dan malu.

“Maaf, aku terlambat ya?”

Suara merdu berkumandang seiring munculnya seraut wajah tampan yang balas menatap pada Simon.

Tiba-tiba saja pemuda itu sudah duduk di depannya .

Pemuda itu berpakaian casual. Jeans biru tua dengan kemeja santai berwarna biru muda. Satu sling bag dengan merk dan kualitas baik tersampir di bahunya yang segera ia lepas dan taruh di meja. Nuansa biru yang ia kenakan kontras dengan kulit putih sehalus marmer yang cemerlang. Mata bening berbinar indah, bibir merah dengan lengkungan manis.
Tatapan Simon terkunci pada keindahan di depannya.

“Kukira kau tidak akan datang, Zhehan,” ujarnya.

“Kau lama menunggu?” tanya si pemuda yang baru datang yang dipanggil Zhehan.

Simon mengerjap dengan susah payah.

“Sebenarnya tidak, tapi..” ia tersipu seperti anak gadis.

“Satu menit terasa panjang saat menunggu kedatanganmu.”

Ada banyak kata yang ingin Simon lontarkan sebagai pembuka obrolan. Namun, itu semua tertahan di tenggorokan dan akhirnya ia terdiam beberapa saat, menatap Zhehan yang kembali melihat ke arah taman dengan wajah seperti biasanya. Manis. Simon tiba-tiba merasa membuat kesan buruk. Duduk bengong  seperti orang bodoh di hadapannya.

Dalam sepersekian menit, keduanya kembali bertatapan. Mendadak Simon seperti lupa cara untuk bernapas. Otak segera mengirimkan sinyal untuk menghirup oksigen kalau tidak ingin terjerembab kehilangan kesadaran dan jatuh pingsan.

Dia mencoba bernapas normal dan menyembunyikannya dengan senyum seperti tak terjadi apapun. "Aku tidak mengganggu, kan?"

Rambut Zhehan bergoyang selaras dengan gelengan kepala.
"Tentu tidak."

Simon mengetuk kuku jemari pada meja. "Sejak pertama aku melihatmu di sini. Sejak saat itu juga aku berniat untuk duduk di hadapanmu lalu mengajakmu berbicara ̶ " dia tersadar kalau ia bebicara terlalu membosankan sebagai pembuka obrolan.

Wajahnya sesaat terasa hangat, merasa canggung, mau ditaruh di mana mukanya kalau seperti ini. "Maaf, aku terlalu banyak bicara tidak penting."

Zhehan menggeleng kembali dengan senyum tipis terlukis pada bibir merah muda. Simon lagi-lagi terpaku. Pemuda cantik itu semakin manis kalau sedang tersenyum seperti itu.

"Tidak apa-apa."

Lembut suaranya kembali terdengar.

"Omong-omong, kenapa? Ada hal penting yang ingin kau sampaikan?" pertanyaan itu membawa Simon kembali pada kenyataan setelah terbuai pada bayang-bayang indah yang tercipta oleh senyuman.

Mata indah Zhehan menatapnya hingga Simon dibuat salah tingkah.

"Tidak ada apa-apa. Hanya .. aku tidak bisa melihat seseorang duduk sendirian dan terlihat kesepian."

𝐅𝐫𝐚𝐩𝐩𝐮𝐜𝐜𝐢𝐧𝐨 𝐢𝐧 𝐋𝐨𝐯𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang