Zhang Zhehan PovKetika aku dan ayahku mendekati rumah asing itu, emosiku ada di mana-mana. Aku sangat ingin melihat rumah, kota, dan kehidupan baruku. Aku gugup untuk memulai kembali. Namun, aku juga bersemangat untuk mendapatkan awal yang baru.
Meskipun emosi berkembang tentang kehidupan baruku, aku tahu bahwa rumah ini terlihat sedikit aneh. Ada banyak orang mengenakan piama seragam berwarna biru dilengkapi nomor di bagian dada, dan ada sebagian lagi dengan seragam putih. Ada pria wanita dan semuanya sibuk dengan masalahnya masing-masing. Sepertinya tidak mudah untuk keluar dari rumah besar ini, dan aku pun tidak bisa lari dari masalahku selamanya.
Setahun kemudian, aku telah belajar untuk menerima kenyataan bahwa aku tidak akan pernah menjalani kehidupan yang normal, dengan teman-teman yang normal, atau keluarga yang normal.
Aku telah menjadi mahluk dengan campuran yang tidak normal antara ketakutan dan patah hati, dan tidak peduli seberapa keras aku mencoba untuk melepaskan diri dari itu, emosi tersebut akan selalu menemukan jalan kembali kepadaku.
Kehidupan telah mengantarkan dan membawa aku dari satu tempat ke tempat lainnya. Nasib telah memindahkan aku dari satu titik ke titik lainnya. Dan aku sambil mengejar kedua hal ini mendengar suara-suara yang mengerikan dan melihat hal-hal yang berdiri sebagai halangan dan rintangan di jalanku.
☕☕☕
Sebulan terakhir aku masih mampu berdiam di rumah tanpa berani berjalan keluar, namun pada akhirnya aku sama sekali tidak bisa menahannya. Jiwa bebasku memberontak dan karena itulah sekarang aku mencoba keluar rumah dengan segenap resiko dalam genggaman.
Aku berjalan padahal tidak punya tujuan. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah coffeeshop di pojok taman yang asri dan damai memancarkan kehangatan dan suasana kekeluargaan dan tanpa sadar masuk ke dalamnya.
Lantai dua ̶ menurut barista sempat kudengar mengobrol ̶ adalah tempat yang tepat untuk menjernihkan pikiran terlebih di meja dekat kaca yang menampilkan pemandangan jalan.
Aku lebih memilih meja kursi yang ditata di luar dengan awning biru transparan menghadap taman dan sekarang aku sudah duduk di tempat yang dimaksud. Aku menoleh ke kiri dan kanan. Dadaku dilingkupi perasaan bahagia sampai sesak rasanya sebab melihat kembali keramaian setelah sekian lama tenggelam dalam kesepian. Aku seperti merasakan kebebasan walau aku tahu ini hanya sebentar karena aku harus kembali pulang sebelum wanita pelayanku tiba dan mendapatiku tidak ada di rumah.
Kenyataan lalu tenggelam tergantikan oleh angan-angan sampai tak sadar aku terdiam begitu lama dengan mata terpaku pada pada bunga-bungawn indah serta alunan instrumental piano yang menyayat hati.
Aku benar-benar damai sekarang. Orang di sekitarku tidak tahu tentang aku, yang mereka tahu kalau aku adalah salah seorang tamu dan terlihat bahagia walaupun semuanya adalah kepalsuan. Siapa yang tahu bahwa orang lain juga penuh kepalsuan, berpura-pura tertawa bahagia walau kenyataannya memiliki masalah mau pun noda hitam dalam hidup. Kita semua menjalani hidup ini terkadang dengan penuh kepalsuan.
Aku menyukai Frappuccino. Entah mengapa manisnya terasa sangat cocok di lidahku. Mewakilkan banyak rasa, sensasi yang membawaku pada masa-masa yang telah lalu.
Perlahan minumanku habis, dan alunan lagu berhenti sesaat. Perlahan tapi pasti, sekarang aku merasa kesepian lagi.
Rasanya aku ingin mengobrol dengan seseorang karena lama-lama aku tidak betah dengan keterdiaman juga pikiran yang semakin lama semakin menjalar tidak tentu arah. Aku takut berpikiran macam-macam yang akhirnya hanya mengancam diriku sendiri. Dan, satu-satunya cara untuk menepis itu semua adalah dengan mengobrol, entah apa topiknya yang terpenting aku teralihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐅𝐫𝐚𝐩𝐩𝐮𝐜𝐜𝐢𝐧𝐨 𝐢𝐧 𝐋𝐨𝐯𝐞
FanfictionCOFFEE SERIES BOOK 1 Satu permintaan terakhir dari sang ayah membuat Simon kembali pulang ke kota kelahirannya di Chengdu. Di sana ia mewarisi bisnis coffe shop milik keluarga dan mengelolanya. Di kafe itulah ia bertemu dengan seorang pelanggan mist...