Pagi yang sama, matahari cerah yang sama, dan pertemuan yang kesekian diantara mereka. Simon dan Zhang Zhehan melewatkan satu acara minum kopi lagi bersama di kursi dekat taman. Di antara desir angin dan kicauan burung, satu lagu instrumental piano terdengar di hening pagi.
Nada demi nada mengalun, mengalir lewat udara pagi pukul sembilan yang tenang. Melambat, mengayun kemudian cepat. Lantunan nada penuh cerita, mewakilkan seribu rasa. Tanpa sadar melambungkan pendengarnya pada masa-masa indah penuh kenangan tak terlupakan. Itulah salah satu kekuatan nada keajaiban sebuah lagu.
"Hana's eyes," Zhang Zhehan menggumam. Inderanya masih terfokus pada lantunan nada instrumental piano dari pemutar lagu di dalam kafe, menggema ke seluruh bagian ruangan lewat pengeras suara aktif.
"Ya?" Simon mengangkat wajahnya yang tertunduk pada cangkir di depan mata.
"Dulu aku sering mendengarnya. Entah aku yang memainkan pianonya atau orang lain. Tapi lagu ini melekat di kepalaku seperti parasit," mata indah Zhang Zhehan menerawang. Kemudian terpejam. Di balik mata yang tertutup bukan kegelapan yang ia temukan melainkan sekelebat bayangan putih, serupa gaun atau selendang seseorang yang melambai-lambai.
Dia melihat gambaran dirinya sendiri, bermain piano, dari tarian jemari terlahir melodi menyentuh, menyeret hantu-hantu kenangan kembali bangkit dari sudut ingatan yang coba ia lupakan. Lantas bayangan putih itu berjalan ringan, melayang, mendekat, menyapanya lembut.
Zhehan...
"Hfftt...." Zhang Zhehan membuka mata dan langsung terbelalak. Mengerjap-ngerjap cepat seiring hembusan nafas berat.
"Zhehan, ada apa?" Simon menatapnya, ketidakpahaman tanpa rasa bersalah.
Zhehan menyesap kopinya menekan guncangan yang tiba-tiba melanda.
"Tidak ada," si empunya paras cantik menggeleng bersemu pucat.
"Aku baik-baik saja.""Apakah lagu itu mengganggumu?"
"Sama sekali tidak. Ini tidak ada hubungannya dengan lagu. Aku hanya sedikit pusing tiba-tiba," menyesap kopinya lagi, Zhehan melirik kesana kemari dalam gerakan bola mata liar. Bayangan itu hanya ada dalam pikirannya, alam bawah sadar yang terkunci. Tidak ada siapapun serupa sosok itu di kafe tempatnya berada sekarang. Hanya ada sang manager tampan yang mengusik hati dan tidurnya dengan senyuman serupa malaikat.
"Kau tampak berbeda. Apa kau memikirkan hal serius?" Simon masih merasa ada sesuatu yang mengganjal.
Zhehan menggeleng lagi. Saat itu permainan piano berganti dengan lagu yang lebih lembut dan melamun.
Perlahan ekspresi wajah Zhehan kembali setenang danau di pagi hari.
"Nampaknya kau sangat menyukai permainan piano," Simon kembali berkomentar setelah beberapa lama.
"Lumayan. Aku teringat pernah memainkannya. Tapi aku tidak ingat kapan itu terjadi dan kapan aku berhenti bermain," meskipun membingungkan, jawaban Zhehan terdengar jujur. Tidak ada nada kebohongan di dalam suaranya.
"Alangkah menyenangkan jika bisa melihatmu bermain," tiba-tiba kilasan ide berkelebat dalam benak Simon tentang menempatkan sebuah grand piano di dalam coffeeshop miliknya untuk sesekali menggantikan alunan musik dari jukebox atau radio.
"Aku perlu belajar lagi," Zhehan menyeringai.
"Tapi di rumahku sekarang tidak ada piano. Jika kau menyediakan satu di kafe ini mungkin aku bisa--""Itu soal gampang," Simon memotong kalimatnya. Membeli piano sesederhana menjentikkan jari baginya. Itu mungkin tidak ada dalam anggaran tetapi ia akan mengurus masalah itu nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐅𝐫𝐚𝐩𝐩𝐮𝐜𝐜𝐢𝐧𝐨 𝐢𝐧 𝐋𝐨𝐯𝐞
FanfictionCOFFEE SERIES BOOK 1 Satu permintaan terakhir dari sang ayah membuat Simon kembali pulang ke kota kelahirannya di Chengdu. Di sana ia mewarisi bisnis coffe shop milik keluarga dan mengelolanya. Di kafe itulah ia bertemu dengan seorang pelanggan mist...