Ninth Cup

159 43 3
                                    

Jika seseorang melakukan kesalahan, akan selalu ada kesempatan untuk memperbaiki, dan jika seseorang itu sudah cukup dewasa, akan selalu ada kesempatan untuk memilih mana yang baik dan buruk. Tetapi lihatlah ironi ini. Sebagian orang bahkan tidak bisa menemukan jalan untuk memperbaiki kesalahan. Bersedih atas satu kejadian, memberikan kepuasan tersendiri bagi mereka. Berpikir bahwa bertindak berani untuk menatap masa depan hanya akan membuat hati terbebani. Optimisme tenggelam dalam depresi. Tidak bisa menemukan jalan kembali kepada kenyataan. Kehilangan keberanian untuk menghadapi kebenaran dan memilih untuk bertahan pada kebohongan.

Salah satu orang itu adalah Zhang Zhehan. Duduk di meja tulis dekat dengan french window di kamarnya, menatap sesekali pada bintang-bintang redup di langit malam yang tidak ia kenal. Benar-benar tidak mengerti kenapa ia duduk sendirian bersama burung-burung kertas yang bertebaran di meja tulisnya.

Apakah sudah mencapai seribu?

Dia menatap bingung pada burung-burung kertas yang berserakan. Dia tidak ingat kapan mulai membuatnya tetapi dia ingat akan mitos tentang burung kertas. Demi satu keinginan yang mengendap dan berdebu di dasar hati yang gelap. Dia telah melakukan sesuatu yang konyol. Apa dirinya benar-benar terlihat seperti orang mabuk.

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dan seraut wajah cantik wanita dewasa muncul dari balik pintu.

"Zhehan, apa kau sudah minum obatmu?" wanita itu melangkah masuk ke dalam kamar. Tinggi langsing berambut panjang. Cantik, berwajah lancip dan terlihat sabar serta perhatian.

Zhang Zhehan menoleh tanpa menjawab, hanya menggelengkan kepala.

"Jangan lupa minum obatmu. Besok lusa kau harus periksa kesehatan, hanya itu sekarang rapor bagimu."

Wanita itu berdiri di belakang kursi dimana Zhehan duduk menekuri burung kertas di atas meja tulis.

"Jiejie, bukankah ini bagus?" dia mengangkat satu burung kertas, bersikap seolah menerbangkannya.

"Cantik sekali, kau pintar, Zhehan. Baiklah, aku akan siapkan obatmu."

Wanita yang dipanggil Jiejie memeriksa dua botol obat di atas meja nakas, kemudian menyiapkan segelas air putih. Dia membawa botol dan gelas, meletakkannya di depan Zhehan kemudian terus mengawasi untuk memastikan pemuda cantik itu meminum obatnya.

"Ngomong-ngomong, kemana akhir-akhir ini kau sering pergi?" Jiejie bertanya, mengambil kembali botol obat dan gelas,mengembalikan ke tempat semula.

"Tidak kemana-mana, hanya bersepeda," Zhehan menjawab ragu-ragu.

"Jangan terlalu memaksakan diri. Kau masih belum pulih sempurna. Aku khawatir kau tersesat. Lagipula, kau belum terlalu mengenal jalan-jalan di kota ini dengan baik."

Jiejie mengelus bahu Zhehan lembut, sorot matanya prihatin sekaligus khawatir. Ada kilasan rasa kasihan di sana yang tak bisa ia sembunyikan.

"Tapi aku bosan, jie. Kenapa tak ada seorangpun yang menengok aku di sini?"

"Ayahmu sibuk," Jiejie menghela nafas. "Tapi dia sering menelponku untuk menanyakan kabarmu. Jangan khawatir."

Zhang Zhehan kembali sibuk dengan Burung-burung kertasnya. Sekilas ada kesan dia tidak peduli akan apa yang sebelumnya dia tanyakan. Sikapnya seolah terdistorsi.

"Kau ingin lekas kembali ke Chongqing?"

Pemuda cantik itu mengangkat wajah, menembus jendela, binar matanya kembali mencari kerlip bintang. Dia tidak tahu apakah dia ingin kembali setelah menghabiskan waktu beberapa lama di kota ini. Bahkan ingatan tentang keindahan langit malam di kota kelahiran sudah mulai memudar, tergantikan oleh senyum manis seseorang. Tetapi di saat bersamaan, satu senyuman lain membayang dalam angan. Senyum seorang gadis cantik. Tidak ada yang salah dengan senyuman itu, tetapi anehnya membuatnya takut.

𝐅𝐫𝐚𝐩𝐩𝐮𝐜𝐜𝐢𝐧𝐨 𝐢𝐧 𝐋𝐨𝐯𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang