BAB 9

42 15 2
                                    

Hari baru telah dimulai, tetapi langit Shadowglass masih tetap sama, tertutupi awan mendung. Untung saja pagi ini kabutnya tidak setebal malam hari, menurut Roland kabut di Shadowglass akan menipis di siang hari, dan semakin tebal di malam. Ia bahkan memberitahu Cassie dan Kyle kalau di siang hari kota Shadowglass bisa dijelajahi.

Cassie menatap piring kayu yang diletakan di hadapannya. Baguette yang dipotong seukuran kepalan tangan orang dewasa, tiga potong sosis kecil seukuran jempol, dan segelas air putih menjadi menu sarapannya. Netra hijau cerah perempuan itu melirik Kyle dengan senyum tipis, diikuti kening mengerut seolah menertawakan sarapan pagi itu. Sementara itu, sepupunya tidak berkomentar. Ia memakan baguette pelan-pelan seakan menikmatinya.

Karena tak ingin dianggap tidak menghargai pemilik kedai, Cassie mengambil garpu untuk mencicipi sosis. Begitu dikunyah, sosis itu tidak terasa apa pun. Jangankan terasa dagingnya, asin pun tidak ada. Sosis itu benar-benar hambar. Dengan cepat si perempuan meletakan kembali garpu di samping piring, lalu menegak air putih yang terasa dingin.

"Tuan Roland, kau belum menceritakan tentang kota ini," ucap Cassie berniat untuk menutupi ketidak selera makan.

Roland yang baru kembali dari dapur langsung duduk di samping Kyle, lalu meletakan gelas berisi air di atas meja. Tangan kanannya memegang baguette. "Apa yang ingin kau tahu tentang kota ini selain kutukan dan penuh kemiskinan?"

"Aku pikir aku bisa pergi ke pusat informasi, untuk mencari orang hilang," timpal Cassie dengan senyum percaya diri.

Roland tertawa, ia bahkan nyaris tersedak oleh makanan. Dua tamunya itu langsung bertukar pandang, terkejut melihat si pria tertawa. "Yang benar saja! Shadowglass tidak punya tempat semacam itu."

"Aku sudah menduganya," gumam Kyle sebelum menghabiskan tiga potong sosis dalam sekali suap.

"Dengar," ucap Roland dengan memasang wajah serius. "Kota ini tidak seperti kota-kota di luar sana. Jumlah penduduknya sedikit, hanya ratusan yang bertahan. Ditambah lagi kemiskinan merajalela. Satu-satunya cara bertahan hidup hanyalah mengandalkan alam, walau kadang memang tidak bisa diandalkan."

"Kalau begitu kenapa kalian tidak meninggalkan kota ini?" tanya Cassie penasaran. "Orang-orang menyuruh kami pergi, tapi kalian—"

"Tidak ada yang bisa keluar semudah itu, Nona." Suara seorang pria menginterupsi pembicaraan. Saat mereka menoleh ke sumber suara, Ace sudah berjalan menghampiri.

"Mau apa lagi, huh? Bayar dulu hutangmu!" gerutu Roland seraya menghabiskan baguette.

"Ayolah, Pak Tua. Nanti saja kalau ikannya sudah ada, ya." Ace menyengir. Tanpa menunggu balasan, ia pun langsung duduk di samping Cassie. "Nona, tidak ada yang bisa keluar melewati kabut semudah mereka memasukinya. Hutan kabut itu dijaga iblis. Makanya kami tidak punya pilihan selain bertahan hidup di sini."

"Iblis?" Kyle dan Cassie saling bertukar pandang, sementara Roland mengembuskan napas kasar.

"Semuanya gara-gara perjanjian konyol itu." Ace mengepalkan tangan, lalu memukul pelan meja.

Lagi-lagi Cassie dan Kyle memandang satu sama lain dengan kening mengerut, tidak paham dengan ucapan Ace. Walau begitu, si perempuan berambut cokelat menduga bahwa perjanjian yang disebutkan pria di sampingnya, memiliki hubungan dengan ucapan Krigg saat berkunjung ke mimpi. Namun, perempuan itu tak mau berbicara lagi. Yang ia inginkan hanyalah menemukan keberadaan sang ayah, dan pergi meninggalkan Shadowglass.

Ketika Roland bangkit dari duduk, Cassie segera memotong baguette kecil-kecil. Sambil memakannya pelan, iris hijau cerah itu memperhatikan ruangan. Tiba-tiba, Kyle ikut berdiri sambil membawa piring, garpu, dan gelas. Ia menyusul si pemilik kedai ke dapur.

Shadowglass Covenant [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang