BAB 11

36 13 0
                                    

Tak ada satu pun yang berbicara, karena ketiga orang itu kalut dengan pikiran masing-masing. Terlebih lagi Cassie yang tampaknya terguncang akibat perkataan Ace. Perempuan itu berjalan dengan kepala menunduk, iris hijaunya hanya melihat tanah dan ujung gaun. Sementara itu, Kyle memikirkan berbagai cara untuk menghibur sepupunya nanti setelah sampai di penginapan, meski ia sendiri kebingungan harus melakukan apa. Di sisi lain, Ace jadi merasa bersalah, sebab ia baru saja mematahkan harapan seorang perempuan muda yang rela masuk ke Shadowglass hanya untuk mencari anggota keluarganya.

Lama mereka tak berbicara satu sama lain, sampai akhirnya mereka kini memasuki bangunan milik Roland. Si empunya yang sedang membaca buku langsung mendongak. Alisnya naik saat melihat wajah ketiga tamunya. Dengan cepat, Roland menutup buku lalu meletakannya di meja. Ia berniat membuka suara, tetapi diurungkan ketika Ace mendekat. Lagi, tatkala Ace ingin berbicara, Roland terkejut saat melihat perempuan dengan surai gelap menangis.

"Sebenarnya ada apa?" bisik pria itu pada Ace.

"Sepertinya aku salah bicara," jawab Ace dengan nada pelan. Mata cokelatnya melirik Cassie yang kini menunduk memandangi buku-buku.

Roland berkacak pinggang diikuti decakan. "Kau ini selalu saja membuat masalah."

"Ya, bagaimana lagi, dia bertanya jadi aku jawab saja." Ace mengendikkan bahu seraya menyengir.

Melihat kelakuan pria di sampingnya, muncul rasa ingin memukul. Namun, Roland tak sejahat itu untuk memukul Ace, walaupun harus dia akui kalau pria itu memang menyebalkan. Hutang-hutangnya belum dibayar, padahal si pemilik kedai yakin kalau lelaki dengan rambut hitam itu sudah mendapat pemasukkan dari informasi yang dijual pada Cassie dan Kyle. Ace memang pandai dalam mencari peluang cuan.

Kyle menghampiri Roland dengan wajah sendu, dari langkahnya saja terlihat kalau ia seperti tidak bersemangat. Pria dengan rambut cokelat hendak meminta segelas air, tetapi ucapannya tertahan ketika Roland mendahuluinya.

"Beritahu aku apa yang si bodoh ini katakan," kata si empunya kedai sambil menunjuk Ace dengan ibu jari kanan.

"Aw, Pak Tua jahat sekali memanggilku begitu," sahut Ace sebelum terkena pukulan pelan di lengan kiri.

Netra cokelat Kyle menatap dua pria itu bergantian, lalu ia menghela napas. "Tadi sepupuku menemukan barang-barang ayahnya di sebuah toko, dan dia bilang semua barang itu didapatkan dari orang mati."

Sontak saja Roland terbelalak, sedangkan Ace mendengkus keras. Tak lama, si pemilik penginapan melayangkan tatapan tajam. Tak ada perkataan yang mampu dikeluarkan oleh pria itu, lagi pula tampaknya Ace juga merasa menyesal berkata jujur. Suara embusan napas berasal dari Kyle mengalihkan dua orang di hadapannya.

"Boleh aku minta segelas air untuk sepupuku?" tanya Kyle pelan dan diangguki Roland sebelum beranjak ke dapur.

Sambil menunggu si pria pemilik kedai kembali, Kyle menoleh sebentar memperhatikan Cassie yang kini tengah membaca buku. Hatinya terasa dicubit, ia tak bisa membayangkan berada di posisi sepupunya yang baru saja mendapat berita mencengangkan. Meskipun demikian, Kyle tahu seharusnya ia mencari tahu dulu fakta tentang pamannya.

Roland baru saja kembali dari dapur, tangan kanannya memegang gelas kayu berisi air. Kemudian, ia meletakan gelas tersebut di hadapan Cassie. Sebelum kembali menuju dapur, pria itu menepuk pelan pundak si perempuan. Seulas senyuman tipis terlihat di wajah yang mulai muncul keriput.

Mata Cassie yang sembab memperhatikan Roland, kemudian beralih ke gelas di atas meja. Tak ada niatan sama sekali untuk menyentuh gelas tersebut, sebab saat ini pikirannya masih terus mengingat tentang kenyataan yang ia dapatkan. Sejenak, Cassie melirik buku-buku milik Krigg, perlahan ia meletakan ketiganya di atas meja, lalu membuka salah satunya. Buku itu hanya buku favorit sang ayah, kumpulan puisi yang ditulis oleh penyair dari luar negeri. Cassie ingat betul kalau puisi-puisi di buku tersebut pernah ditampilkan di salah satu pertunjukan musikalisasi puisi di ibu kota. Perempuan itu bahkan pernah mengunjunginya bersama sang ayah, tetapi karena ia tak menyukai pertunjukan musikalisasi puisi, Cassie memilih untuk meninggalkan tempat saat acaranya masih setengah jalan.

Shadowglass Covenant [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang