BAB 15 (Part A)

47 12 3
                                    

Ace berjalan santai sambil bersiul ketika melewati gang sempit. Sesekali ia menendang kerikil di sana. Tujuannya kali ini jelas, rumah si peramal bernama Lilia. Sudah bukan hal aneh kalau pria dengan kulit kuning langsat mampir ke sana, sebab keduanya telah menjadi rekan lama terutama dalam hal bisnis informasi dan hal-hal terkait magis.

Pintu rumah Lilia terbuka, membuat Ace tidak perlu susah payah untuk mengetuk. Saat ini, si empunya sedang melihat sebuah bola kristal besar yang menyala. Warnanya ungu sama persis seperti warna matanya yang kini tampak bersinar terang. Ace sudah tahu kalau Lilia sedang menggunakan kemampuan meramalnya, jadi pria dengan mantel hitam bersedekap sembari bersandar di ambang pintu.

Setelah sinar di mata Lilia menghilang, dan bola kristal di tangannya berubah warna menjadi abu-abu, Ace mengubah posisinya. Senyum menggoda tersungging di wajah si pria, tetapi si wanita peramal sudah kebal dengan senyum itu.

Sambil memasukkan bola kristal ke dalam kota kayu yang dilapisi kain-kain kusam, Lilia mendengkus. "Bicaralah."

"Baik, baik." Ace berdeham pelan. "Jadi, tadi saat aku pergi ke kedai si pak tua, dia memberiku surat ini. Katanya dari si pria kaya itu."

Lilia menoleh, netra ungunya memperhatikan sebuah lipatan kertas di tangan Ace. Wanita itu sudah tahu maksud dari 'si pria kaya', pastinya merujuk pada Kyle Rosehearts. Lagi pula, siapa lagi di Shadowglass yang terlihat berpenampilan bangsawan dan merupakan bangsawan itu sendiri selain Kyle, Cassie, dan keluarga Obumbratio. Namun, anggota keluarga Obumbratio tidak pernah terlihat memakai pakaian berwarna selain hitam, semua orang di Shadowglass sudah tahu itu.

Tanpa banyak bicara, Lilia langsung mengambil lipatan kertas tersebut. Di sana terdapat tulisan sambung yang sangat rapi dengan tinta hitam. Hanya satu paragraf, tetapi memuat sebuah informasi yang berhasil membuat si wanita bermata ungu mengembuskan napas keras.

"Ini yang aku khawatirkan," ucapnya pelan.

"Jadi, bagaimana? Ada ide?" tanya Ace sembari bersedekap.

"Kau sudah tahu isinya ya?"

Ace mengedikkan bahu seraya tersenyum tanpa dosa. Tentu saja pria itu tahu isi dari surat tersebut. Dia punya kebiasaan untuk mengintip surat yang tidak tersegel. "Ya begitulah."

Lagi, terdengar suara dengkusan Lilia. Wanita itu berjalan menuju laci penyimpanan dengan boneka-boneka aneh di atasnya. "Padahal aku sudah memperingatkannya. Sekarang tak ada pilihan lain selain menyusul mereka."

❇❇❇

Cassie memperhatikan jam saku perak di tangan kiri. Sudah hampir lima belas menit dan Eversly tak kunjung datang. Sementara itu, Kyle di sampingnya tengah memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Kedua tangan dimasukkan ke dalam saku mantel. Semua orang di sekitar mereka terlihat tidak bahagia. Beberapa dari penduduk asli Shadowglass keluar masuk ke toko serba ada yang menjual barang-barang bekas dari para pendatang.

"Aneh ya," kata Kyle seraya bersandar ke dinding bangunan. Netra cokelatnya masih asyik memperhatikan aktivitas pasar yang tidak ramai ini. "Padahal seharusnya musim panas, tapi aku merasa seperti baru saja hujan badai turun."

Cassie tertawa pelan. "Akibat perjanjian Shadowglass, kota ini jadi tidak merasakan musim panas."

Sebenarnya ada nada mengejek di sana, tetapi faktanya memang begitu. Kalau bukan suhu yang karena perjanjian, mungkin Shadowglass saat ini merasakan musim panas.

"Ah, aku jadi ingat novel yang pernah kubaca. Tentang kerajaan yang kena kutukan musim dingin bertahun-tahun," kata Cassie sambil melirik Kyle.

"Aku rasa itu bukan sekadar fiksi," timpal Kyle yang juga menatap iris hijau sepupunya. "Kudengar memang jauh sekali melintasi samudera ke arah barat, ada kerajaan yang memang dikutuk mengalami musim dingin."

Shadowglass Covenant [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang