Hari demi hari kian berganti, hingga genap satu bulan lamanya semenjak surat yang dikirimkan Krigg pada Cassie. Tak ada lagi surat lain yang menyusul setelahnya, sehingga meninggalkan pertanyaan di benak si perempuan. Hampir setiap hari, anak kedua keluarga Darwell selalu menanyakan hal serupa pada kepala pelayan. Kadang, ia pergi ke kantor pos hanya sekadar mencari tahu jika ada surat dari Krigg. Namun, hasilnya selalu sama. Surat yang meninggalkan pertanyaan di benak Cassie sebulan lalu itu menjadi surat terakhir.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, perempuan dengan surai cokelat kembali bertanya pada kepala pelayan sebelum ia menuju ruang makan. Gelengan kepala menjadi jawaban yang membuat dia nyaris putus asa. Cassie kembali memikirkan kecurigaan tentang kalimat terakhir sang ayah, tetapi perkataan Bibi Roxena seketika muncul dan mengenyahkan rasa khawatir itu.
Ayah pasti pulang. Dia hanya suka berkelana.
Pintu cokelat menuju ruang makan terbuka lebar, menampilkan seisi ruangan didominasi warna hijau. Meja persegi panjang diletakan di tengah ruangan, lengkap dengan delapan kursi. Di sebelah kanan ruangan, terdapat jendela besar mengarah langsung ke hutan mini belakang rumah. Pemandangannya sangat indah serta cukup menenangkan, tetapi sebaliknya jika Wezen sudah duduk di sisi yang menghadap jendela. Setidaknya, tidak menyenangkan bagi Cassie.
Perempuan itu hendak memutar badan kalau saja kakaknya tidak memanggil. Sambil mengerling, Cassie melangkah malas ke ujung meja yang berjauhan dari posisi Wezen.
"Bisa tidak sehari saja kau tidak bersikap kekanakan?" ujar Wezen seraya meletakan sendok di samping mangkuk sup.
Suara decakan keluar dari mulut si perempuan berambut ikal. "Kau sendiri bisa tidak sehari saja berhenti mencumbu si mata duitan?"
Wezen membelalak, lalu menatap sang adik tajam. "Sepertinya kau harus kembali belajar tata krama."
"Aku?!" pekik Cassie. "Asal kau tahu ya, aku sudah lulus belajar tata krama."
Wezen menahan napas sejenak seraya mengalihkan pandangan. Menatap hutan mini di hadapannya jauh menyenangkan daripada melihat perempuan berambut cokelat ikal di ujung meja. Pria itu tak mau meneruskan perdebatan yang hampir tiap hari tidak ada ujungnya. Jadi, dia lebih memilih kembali memakan sup krim kentang.
Cassie juga melakukan hal serupa. Sup krim di hadapannya tidak panas lagi, sehingga suasana hatinya semakin memburuk. Raut dongkol menghiasi wajah si perempuan. Gara-gara itu, Wezen yang melirik adiknya sejenak, merasa bersalah.
Pria berambut cokelat berdeham sebelum beranjak dari kursi. "Jangan lupa pesta di rumah bibi Roxena sore nanti. Jadi, kau punya waktu untuk memilih gaun terbaik."
Cassie mendengkus keras. "Tanpa diberitahu pun aku ingat."
Wezen sempat terdiam, sedikit tersinggung dengan jawaban yang diberikan si perempuan berambut ikal. Sebenarnya, ia mengharapkan jawaban yang lebih baik. Menjawab 'oke' atau 'iya' saja sudah cukup, tetapi mengharapkan salah satu dari dua kata itu keluar dari mulut adiknya hanyalah sekadar harapan belaka. Entah sampai kapan Cassie akan berhenti bertingkah seperti itu padanya.
Kaki si pria pergi meninggalkan ruang makan, membiarkan perempuan itu sibuk menyuapkan sendok ke dalam mulut sembari menggerutu. Tatkala netra hijau melihat hutan mini, tangannya sempat berhenti menyendok sup krim yang tinggal sedikit. Sekelebat kenangan tentang kejadian di hutan mini mengingatkan ia pada sang ayah. Mendadak saja Cassie merasa kenyang. Tangan kanannya meletakan sendok di pinggir mangkuk sembari mengembuskan napas keras. Perempuan itu tadinya berharap kalau Krigg pulang hari ini, karena ia ingin menghadiri pesta di rumah Bibi Roxena bersama sang ayah, bukan dengan Wezen.
Kenapa ayah tidak mengirim surat lagi? Pikir Cassie sembari beranjak dari kursi.
❇❇❇
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadowglass Covenant [TERBIT]
خيال (فانتازيا)(Sebagian isi telah dihapus untuk kepentingan penerbitan. Bisa dipesan di Tokopedia dan Shopee) "Saat kau memasuki Shadowglass, kau akan menemukan rahasia gelapnya. Tapi, perlu kau ingat bahwa seseorang yang masuk ke kota itu tidak pernah keluar dar...