Waktu kecil, aku pengin banget segera jadi dewasa. Orang dewasa itu enak. Mereka nggak perlu tidur siang. Mereka bebas keluar malam dan melakukan semua hal yang disukai. Nggak ada yang akan ngomel kalau mereka bikin kesalahan. Hidup mereka tenang.
Teryata aku salah.
Aku nggak tahu kalau jadi dewasa juga harus memikirkan masalah keuangan. Kukira uang bisa datang sendiri, tanpa perlu repot dicari. Baru kusadari kalau selama tiga bulan ini keuanganku nggak ada pemasukan sama sekali. Yang kulakukan cuma menghabiskan uang, tanpa pernah sadar kalau nanti uang dalam rekening Papa dan Mama bisa habis, seperti sekarang ini.
"Mak? Ini katanya surat pemberitahuan yang ketiga, yang pertama sama kedua mana?" tanyaku dengan suara bergetar. Surat ini lumayan membuatku syok. Cicilan rumah yang harus kubayar totalnya mengerikan, lebih dari tujuh puluh juta. Sisa uang yang kumiliki bahkan nggak sampai setengahnya. Kalau begini, aku harus cari uang di mana? Nggak mungkin ada orang yang keterlaluan kaya membuang uang puluhan juta secara cuma-cuma, kan?
Jemari tangan Mak Oci saling bertautan. Kakinya bergerak gelisah. Matanya berkelana, nggak jelas mencari apa. "Maaf, Kak. Mak Oci lupa. Kayaknya, sih, memang pernah ada dua surat yang mirip itu. Tapi, Mak Oci lupa taruh di mana."
Mak Oci memang sudah nggak muda lagi. Usianya sudah 64 tahun. Rambut lurusnya nyaris putih semua, mirip gurunya naruto, tapi tanpa masker miring. Dulu, Mama sering pusing dengan sikap Mak Oci yang sering lupa. Sekarang, aku juga pusing dengan pikunnya Mak Oci.
Aku memejamkan mata sambil bernapas dalam-dalam, berharap ada banyak uang ikut mendekat sampai menutupi lubang hidungku. Sayang, yang ada malah jutaan paku menghujam kepalaku. Kepalaku ini cuma satu, tapi terus memikirkan angka tujuh puluh juta. Kekuatannya nggak seimbang. Takutnya, sebentar lagi kepalaku bisa terbelah jadi kepingan puzzle sebanyak tujuh puluh juta keping.
Kalau banyak orang menganggap angka 13 sebagai angka menyeramkan, aku nggak. Bagiku angka paling mengerikan saat ini adalah tujuh dengan tambahan nol sejumlah tujuh butir di belakangnya. Nggak ada yang spesial dari angka ini, selain aku harus segera melunasinya.
"Kenapa?" tanya Aya. Dia satu-satunya teman kuliah yang akrab denganku. Poni rambutnya selalu lucu, berbentuk love terbalik (atau sebenarnya itu bentuk pantat?). Aku nggak paham dengan seleranya. Mungkin itu ungkapan perasaannya yang sering dijungkirbalikkan cintanya atau dia ada masalah pencernaan yang membuatnya sering sembelit. Entahlah.
"Gimana cara dapet duit banyak dalam waktu singkat?" Aku balas bertanya. Pandanganku lurus ke dosen pengantar akuntansi yang baru saja keluar kelas, tapi pikiranku penuh dengan uang yang nggak bisa kumiliki.
"Ngepet, piara tuyul, atau pasang togel," jawab Aya cepat. Dia lalu tertawa dengan keras, tanpa peduli kalau aku sudah menatapnya kesal.
Sebenarnya, aku nggak terlalu suka dengan Aya. Dia sering berlebihan menanggapi semua hal. Waktu mendapatkan tugas tambahan dari dosen Pengantar Akuntansi minggu lalu saja, dia sampai menangis histeris.
"Hidupku nggak tenang lagi. Aku menderita sampai nyaris mati." Dia terus mengeluhkan penderitaannya, padahal teman-teman yang lain biasa saja. Makudnya, kami memang kesal dengan semua tugas beruntun yang nyaris nggak ada ujungnya ini. Tapi, kami menerimanya tanpa banyak mengeluh. Orang yang terlalu sering mengeluh itu memang menyebalkan.
Kurebahkan kepalaku di meja. Tubuhku lemas tanpa gairah. Sudah tiga hari sejak surat pemberitahuan itu kuterima, tapi aku nggak dapat solusi apa pun. Hidupku berjalan monoton selama tiga hari ini.
Pundaku ditepuk dengan lembut. "Sori, gue bercanda." Kali ini suara Aya rendah, menunjukkan dia serius meminta maaf.
Aku menatapnya sekilas, lalu kembali memandang lurus. Nggak ada yang menarik di hadapanku, selain bagian belakang bangku yang mulai berkarat dan penuh coretan. Ada nama Bambang dan Ujo dihubungkan dengan tanda love yang mirip poninya Aya. Ternyata, dunia memang sudah gila, bukan aku yang mendadak gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Baby Wanna Be
RomanceKalian punya Papa posesif, yang terus mengawasi dan mengikuti ke mana pun? Sama! Aku benci Papa yang membuntuti setiap pergerakanku, seolah aku ini balita yang nggak bisa dibiarkan keluyuran sendirian. Tapi, ternyata saat Papa pergi, aku sadar kalau...