"Papa bangun!" pintaku. Aku menjulurkan tangan sampai menyentuh tubuh Papa yang terbungkus, lalu menggoncang tubuh Papa kuat-kuat.
Papa bergeming. Nggak ada gerakan sama sekali dari Papa, bahkan napasnya pun nggak terdengar.
"Papa jangan tidur terus! Nanti rezekinya dipatok ayam. Ayamnya nggak enak dibikin ayam goreng soalnya sering keluyuran sampai malam. Kakak tahu Papa cuma pura-pura tidur. Surprise kali ini gagal," omelku. Suaraku semakin meninggi karena kesal Papa mengabaikan terlalu lama. Aku mau Papa tahu kalau diamnya ini sudah keterlaluan.
Papa itu gampang banget bangun hanya karena hal kecil. Suara cicak napas saja bisa membuat Papa bangun, kok. Tapi, kenapa sekarang Papa masih tidur? Kenapa Papa nggak mau bergerak? Apa Papa terlalu menjiwai perannya kali ini?
Aku duduk di samping Papa. Wajah Papa ditutup rapat dengan kain putih, yang juga membalut seluruh tubuhnya. Siapa, sih, yang menutup wajah ganteng Papa gini? Papa, kan, jadi nggak bisa napas. Aku berusaha membuka kain di wajah Papa. Tapi, sebelum aku berhasil menyentuhnya, sudah ada yang menghentikanku.
"Kak, jangan!" cegah Mak Oci sambil menahan kedua tanganku.
Aku memandang Mak Oci, "nanti Papa nggak bisa napas, Mak!" Sebenarnya, aku nggak bermaksud membentak Mak Oci. Tapi, aku sudah muak dengan lelucon ini. Aku benci semua yang mendukung akting Papa yang buruk ini.
Gimana kalau Papa benar-benar mati karena kehabisan napas?
"Kak, kenapa? Ini Papa? Kenapa Papa dibungkus begini?" tanya Kara yang berdiri di belakangku. Kara menangis. Matanya bengkak. Hidungnya merah. Rambutnya berantakan. Ini sudah terlalu larut buat Kara terjaga. Biasanya dia tidur sebelum jam sembilan dan sekarang sudah nyaris jam satu.
"Papa tidur, capek. Adek jangan berisik, ya," sahutku. Aku memeluk Kara dan berusaha menenangkannya, padahal perasaanku sendiri rasanya berantakan.
Lantunan ayat suci mulai terdengar di sekelilingku. Aku diam. Ada getaran aneh di dadaku. Rasanya sesak dan ngilu dalam waktu bersamaan. Ada kesedihan yang aku rasakan. Tapi, aku nggak tahu harus gimana. Apakah begini rasanya kerasukan? Kalau gelisah mendengar orang mengaji, artinya sedang ada setan yang mengusikku, kan?
Entah berapa lama aku mematung di samping dipan tempat Papa tidur. Kara tertidur di pangakuanku. Aku nggak punya hasrat untuk tidur. Mataku berat dan badanku seperti habis membangun candi dalam satu malam, tapi aku sama sekali nggak bisa tidur. Otakku menolak untuk beristirahat.
Aku nggak mau jauh dari Papa. Aku mau jadi orang pertama yang Papa lihat waktu bangun nanti. Dengan berada di samping Papa begini, aku jadi gampang melampiaskan kesal kalau Papa akhirnya mengaku kalah dan membuka mata.
Pagi mulai datang. Rumahku semakin dipenuhi banyak orang. Suara teriakan Mama beberapa kali terdengar di sela-sela lantunan ayat suci. Aku masih merasa hampa. Ada remasan asing yang nggak pernah kurasakan sebelumnya di jantungku. Rasanya sama sekali nggak nyaman, kayak pakai celana dalam yang kekecilan, lalu lipatannya menyelip di sela pantat. Tapi, aku nggak punya kesempatan merapikan celana dalamku. Aku masih nggak tahu harus bersikap seperti apa.
"Vio, Kara," panggil Tante Lily yang tiba-tiba muncul di depan pintu. Dia langsung memelukku dan Kara. Kerudungnya berantakan. Penampilannya yang mengerikan ini bukan Tante Lily banget. Matanya sudah bengkak dan merah. Tangisannya semakin kencang setelah memelukku dan Kara.
Dalam pelukan Tante Lily aku akhirnya menangis. Air mataku jatuh dengan derasnya. Aku meraung, terus memanggil Papa. Aku berteriak sekencang mungkin. Panas dan sesak di dadaku levelnya semakin meningkat. Aku yakin makan seblak level 100 nggak mampu menyamai rasa panas di dadaku.
Tante Lily terus memelukku. Dia terus membisikkan sesuatu di telingaku, tapi aku nggak mampu mendengar dengan jelas. Aku terlalu sibuk menangis, melampiaskan kesedihan yang semalaman nggak bisa kuluapkan.
"Papa jahat, Tante! Papa ninggalin Vio. Papa jahat!"
Tante Lily ini adik Papa satu-satunya, keluarga terakhir yang Papa punya. Papa dan Tante Lily hanya dua bersaudara. Kakek dan Nenek sudah meninggal setahun sebelum Kara lahir.
Dibantu Mak Oci, aku diajak ke kamar Mama. Mak Oci memberiku segelas minuman coklat terang hangat. Aku meminumnya. Teh tawar atau teh manis? Entahlah. Aku nggak bisa merasakan manisnya. Nggak mungkin aku terkena penyakit misterius yang mendadak membuat indera pengecapku kehilangan fungsinya, kan?
Mama berbaring di ranjang dengan mata tertutup. Bu RT masih setia menemani Mama. Aku merangkak di tempat tidur mendekati Mama, berbaring di samping Mama, lalu memeluknya. Kara mengikuti apa yang aku lakukan di samping Mama, di sisi yang lain. Kami berpelukan. Kami menangis sambil berpelukan.
Mama membuka matanya. Mungkin tangisan kami terlalu berisik, sampai Mama terganggu. Aku mencoba berhenti menangis.
"Kak," panggil Mama saat melihatku. "Papa?" tanya Mama lirih dan serak.
Aku nggak menjawab pertanyaan Mama, nggak sanggup. Yang aku lakukan hanya mempererat pelukan. Mama diam dalam dekapanku. Tapi, aku merasakan detak jantungnya yang meningkat.
"PAPAAA ...." Teriakan Mama membuat kami kaget.
Kara yang terkejut menangis semakin kencang.
Aku mengusap lengan Mama. Tapi, Mama terus berteriak. Mama menjambak rambut kuat-kuat. Bu RT, Mak Oci, dan Tante Lily berusaha menenangkan Mama, tapi sia-sia. Mama seperti kehilangan pendengaran.
Tiba-tiba Mama diam. Tubuhnya lunglai. Matanya terpejam kembali.
"MAMA," panggil Kara panik.
"Pingsan lagi." Entah siapa yang berkomentar. Aku nggak memerhatikan. Yang kulakukan cuma menggoyangkan tubuh Mama. Aku mencari tanda-tanda kehidupannya. Aku berusaha membangunkan Mama.
Nggak ada respons dari Mama. Matanya masih terus terpejam. Tapi, aku lega angin hangat masih keluar dari hidung mancungnya.
"Apa dibawa ke rumah sakit saja? Sudah berkali-kali pingsan."
"Saya sudah minta tolong dokter Rudi buat memeriksa Bu Afandi, sebentar lagi datang." Bu RT menyebut nama tetanggaku yang berprofesi sebagai dokter kulit.
Aku nggak menemukan korelasi antara dokter kulit dan pingsannya Mama. Tapi, aku nggak mencoba protes. Tenagaku sudah habis.
Aku nggak mendengarkan percakapan mereka lagi. Kepalaku sakit banget. Dadaku sesak. Air mataku nggak bisa berhenti turun. Ini terlalu menyakitkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Baby Wanna Be
RomansaKalian punya Papa posesif, yang terus mengawasi dan mengikuti ke mana pun? Sama! Aku benci Papa yang membuntuti setiap pergerakanku, seolah aku ini balita yang nggak bisa dibiarkan keluyuran sendirian. Tapi, ternyata saat Papa pergi, aku sadar kalau...