Aku meratapi kebodohanku. Baru kusadari kalau nasib burukku terjadi karena kebodohanku sendiri. Bisa-bisanya aku sampai ditipu dan baru tahu dua hari kemudian. Jelas ini karena kebodohanku!
Aku duduk di teras supermarket, tepat di depan pintunya. Tas berisi barang belanjaanku kubiarkan tergeletak tak bernyawa di sampingku. Kakiku menjulur lemas. Kepalaku menunduk lesu. Mataku menatap tulisan di kaus putihku.
Your future ex-girlfriend.
Ini kalimat yang dulu kupakai buat menyindir Papa.
"Gimana rasanya punya mantan pacar?" Aku menggunakan kaus baruku. Mata Papa membulat lucu waktu membaca kata-kata di kausku.
Papa meletakkan hp-nya di meja cepat. Dia menepuk sofa kosong di sampingnya, memintaku duduk di sana.
Aku menurut. Papa langsung menyambutku dengan pelukan setelah aku duduk. "Rasanya nggak enak." Suaranya terdengar dari atas kepalaku. "Kakak cuma buang-buang waktu dengan pacaran. Mending Kakak sibuk belajar atau melakukan hobi Kakak daripada pacaran."
"Kalau nggak enak, kenapa banyak yang punya mantan pacar, bahkan ada orang yang bangga menyebut jumlah mantan pacarnya yang sampai tiga digit itu?" Aku masih belum paham.
"Punya banyak pacar seharusnya nggak jadi sebuah kebanggan. Itu bukan perlombaan atau prestasi yang layak dipamerkan. Nanti kalau daftar kerja, nggak akan ada perusahaan yang bertanya tentang jumlah mantan pacar Kakak, kok. Nggak ada kantor yang menjadikan syarat jumlah mantan pacar minimum yang harus dimiliki buat diterima bekerja di sana."
Aku tertawa dengan penjelasan asal ini. Papa selalu bisa menjelaskan dengan cara konyol.
Andai Papa masih ada. Sekarang, Papa pasti sedang menertawakan kebodohanku, lalu menasihatiku dengan kalimat konyolnya.
Rasanya pasti jauh lebih menyenangkan kalau Papa masih bisa mengejekku. Aku pasti nggak akan marah kalau itu bisa terjadi sekarang. Sayang, aku paham banget kalau harapanku nggak akan pernah terwujud.
"Vio?" Seseorang menghalangi cahaya matahari di hadapanku.
Aku mendongak, berusaha mencari tahu siapa yang memanggilku. Seorang cewek berdiri menjulang di depanku. Bibir tipisnya tersenyum padaku. "Angel." Aku berdiri begitu sadar siapa dia.
Senyuman Angel semakin lebar. Matanya yang sekarang berwarna abu-abu jadi sedikit menyipit. Kuperhatikan penampilannya yang berubah drastis dari terakhir kali kami bertemu.
Rambut lurusnya yang dulu selalu dikucir ekor kuda, sekarang dipotong pendek dan bergelombang dengan warna abu-abu. Semakin ke ujung rambut, warnanya memudar jadi putih. Penampilannya juga jadi lebih rapi dan menyala.
Aku masih ingat dia selalu ke sekolah memakai jaket kusam yang ritsletingnya sudah hancur dan sobek bagian lengannya, jauh berbeda dengan sekarang. Celana super pendek dan tank top merah berenda membalut tubuhnya. Sepatu boot hitam dengan hak yang nggak terlalu tinggi melindungi kakinya.
Angel memelukku yang masih kaget dengan perubahannya. "Vio apa kabar? Ya, ampun. Gue kangen banget sama Vio." Dia melepaskan pelukannya.
Dari jarak dekat begini aku bisa mencium aroma tubuhnya yang wangi mawar. Ini juga beda banget dengan Angel yang dulu. Memang aromanya masih sama-sama mawar, tapi aroma Angel yang dulu cuma berasal dar sabun batangan. Sekarang, Angel beraroma mawar segar yang memunculkan kesan mahal dan mewah.
"Baik." Aku menjawab dengan singkat. Rasanya masih nggak percaya Angel berpenampilan seperti ini. "Lo beda banget."
Angel merentangkan kedua tangannya sebentar. Alisnya juga naik sesaat. "Hidup gue berubah. Sekarang, gue nggak sengsara lagi, Vio."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Baby Wanna Be
Любовные романыKalian punya Papa posesif, yang terus mengawasi dan mengikuti ke mana pun? Sama! Aku benci Papa yang membuntuti setiap pergerakanku, seolah aku ini balita yang nggak bisa dibiarkan keluyuran sendirian. Tapi, ternyata saat Papa pergi, aku sadar kalau...