Kondisi Mama lebih buruk dari yang aku bayangkan. Kata Tante Lily, Mama terlalu syok dan belum bisa menerima kepergian Papa. Sekarang Mama seperti maneken yang nggak bernyawa. Walaupun matanya terbuka lebar, Mama hanya diam. Mama bisa nggak bergerak dan berbicara dalam waktu lama. Aku sudah mencoba mengajak Mama ngobrol, tapi nggak pernah dapat tanggapan. Mama kehilangan semangat hidupnya.
Mama bukan terkena stroke. Mama masih bisa bergerak dengan normal, bahkan mampu ke kamar mandi sendiri. Mama hanya nggak mau bicara. Pandangannya juga kosong. Aku sedih setiap melihat mata Mama sekarang. Ternyata, lebih menyenangkan melihat mata Mama yang melotot, menatap tajam ke arahku setelah tahu aku melakukan kesalahan. Lebih menenangkan mendengarkan suara Mama yang terus mengomel sepanjang ribuan kata setiap harinya daripada harus melihat Mama bungkam sepanjang hari.
Aku mencoba paham dengan kondisi Mama. Pernikahan Papa dan Mama sudah lebih dari sembilan belas tahun. Mereka nggak pernah berpisah lama. Papa sering menceritakan kenangan mereka dengan bahagia, seolah itu masa paling indah dalam hidup Papa. Aku sampai hapal banget kisahnya.
Sebelum menikah dengan Papa, Mama sudah menjadi yatim piatu. Mama anak tunggal, jadi nggak punya saudara kandung. Semua keluarga Mama berada jauh di Sumatera. Mama yang terbiasa hidup sendirian akhirnya bertemu dengan Papa yang nggak pernah bosan memberikan perhatian.
Mama nggak bisa menolak pesona Papa. Belum genap satu tahun bertemu, Papa dan Mama memutuskan menikah. Sekarang pernikahan mereka terpaksa berakhir karena sebuah kematian yang mendadak. Ini terlalu menyakitkan buat Mama.
Hari ini Mama akhirnya bisa pulang ke rumah setelah dirawat selama tiga hari di rumah sakit. Kondisi Mama masih seperti maneken tanpa nyawa. Tapi, merawat Mama di rumah menjadi keputusan terbaik saat ini. Aku dan Tante Lily yang berdiskusi berdua. Terlalu susah memutuskan, tapi aku harus memilih mana yang paling baik untuk kami saat ini.
"Mama istirahat dulu, ya. Kalau butuh apa-apa, panggil Kakak. Kakak ada di depan," kataku setelah memastikan Mama berbaring dengan nyaman di kasurnya. Aku memang membiasakan terus mengajak Mama ngobrol walaupun nggak pernah mendapatkan respons selain kedipan mata dan embusan napas yang teratur.
Mama diam. Pandangannya lurus menatap langit-langit. Matanya yang berkedip dan embusan napasnya cukup membuatku tenang. Ini tanda Mama masih hidup dan aku lega.
Aku biarkan Mama sendirian di kamar. Sepertinya, Mama butuh istirahat.
"Gimana, Kak?" tanya Tante Lily yang sedang duduk sambil memangku Kara.
Kara terlihat jauh lebih tegar dibanding Mama atau aku. Mungkin karena dia masih kecil, jadi belum terlalu paham arti kematian yang sebenarnya. Tapi, sikap Kara malah membuatku lebih tenang. Seenggaknya, aku nggak harus repot mengkhawatirkan Kara.
"Biar istirahat dulu," jawabku setelah duduk di samping Tante Lily.
Ruang keluarga ini sepi, padahal ada empat orang di sini. Tante Lily asyik membelai rambut Kara yang sibuk bermain HP milik Tante Lily. Awan tidur di bawah dengan beralas karpet. Aku heran kenapa dia bisa gampang banget tidur. Awan itu kalau sudah mengantuk, nggak peduli ada bom nuklir juga bakal tetap tidur. Mungkin dulu waktu Tante Lily hamil Awan itu ngidam makan kasur. Makanya, sekarang dia pelor, alias nempel langsung molor.
"Kak, besok Tante dan Awan pulang ke Jogja. Tante nggak bisa lama-lama ninggalin Om Nafi," kata Tante Lily tiba-tiba.
Sebenarnya, aku sangat berharap pembicaraan ini nggak pernah terjadi. Kehilangan Papa sangat menyakitkan, apalagi Mama butuh dukungan lebih sekarang. Aku sepertinya nggak akan sanggup mengurus semua ini sendirian.
Harapanku cuma Tante Lily. Tapi, Tante Lily nggak mungkin berada di sini selamanya. Om Nafi, suaminya, sedang sakit. Kaki kanannya terpaksa diamputasi karena kecelakaan dua bulan lalu. Mobil Om Nafi ditabrak bus dari arah depan sampai hancur. Beruntung, Om Nafi selamat, hanya kakinya terpaksa diamputasi. Seenggaknya, Om Nafi masih hidup, nggak kayak Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Baby Wanna Be
RomanceKalian punya Papa posesif, yang terus mengawasi dan mengikuti ke mana pun? Sama! Aku benci Papa yang membuntuti setiap pergerakanku, seolah aku ini balita yang nggak bisa dibiarkan keluyuran sendirian. Tapi, ternyata saat Papa pergi, aku sadar kalau...