24. Enak

94.8K 3.5K 70
                                    

         Satya sudah rapih dengan kaos merah yang senada dengan Sarah. Ceritanya baju pasangan, bukan Sarah yang beli tapi Satya yang memang mulai di mabuk cinta dalam hubungan yang sehat.

"Riko yang beliin, kemarin." jawab Satya seraya mulai menyalakan mesin mobil.

"Kirain kamu."

"Gue emang mau, tapi males buat beli ke mall, kebetulan Riko lagi belanja." mobil yang di kemudikan Satya pun mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah.

"Hm, Riko sama Adila gimana?" Sarah melirik Satya sekilas sebelum kembali menatap jalanan.

"Orang udah pada tahu kalau gue ga berhak tanggung jawab, itu udah cukup."

Sarah mangut-mangut setuju. "Terus Riko mau tanggung jawab?" diraihnya air mineral dalam botol di sampingnya.

"Masih ga mau, katanya belum siap sama belum yakin soal anak itu." jawabnya acuh tak acuh, lebih tepatnya tidak mau ikut campur.

Sarah terlihat iba, padahal anak itu tidak salah. Pasti akan sedih kalau anak itu sudah besar dan mengerti keadaan.

"Makanya-" Satya mengusap kepala Sarah sekilas. "Kalau lagi mau jangan cari cowok lain selain gue, biar ga pusing." lanjutnya.

Sarah mendengus. "Sama kamu aja beban, kenapa harus cari beban lain." balasnya sebal.

Satya tersenyum samar. "Tapi gue sih yakin, lo cuma maunya sama gue doang!" ujarnya dengan penuh percaya diri.

Sarah memilih bungkam.

"Yakan, Sayang?" Satya menoleh sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan. "Jawab! Pacar lo lagi ngomong kok di biarin, di acuhin!" kesalnya agak ketus.

Sarah menghembuskan nafasnya kesal. "Iya, cuma kamu, hanya kamu!" jawabnya agak ngegas.

Saat lampu merah, Satya menatap Sarah, mengusap pahanya, menatapnya dengan tatapan seperti pertama kali bertemu.

"Gue ga suka kalau pacar gue nada ngomongnya kayak tadi, apa susahnya jawab iya tanpa ngegas! Lo ga usah munafik, lo juga suka waktu gue sentuh!"

Sarah menatap Satya agak kecewa, ucapan Satya entah kenapa tidak nyaman masuk ke telinganya.

Sarah menahan tangan yang hendak masuk ke dalam roknya itu. "Maaf-maaf." lebih baik Sarah mengalah.

Satya memaksa tangannya untuk semakin masuk ke dalam rok itu, namun lampu lalu lintas sudah berubah.

Satya menarik tangannya dan mulai melajukan lagi mobilnya. Selama perjalanan, keduanya hanya di temani keheningan.

***

Semua rencana bahagia Sarah hancur, mood Satya dan dirinya sudah kacau hanya karena masalah sepele.

Keduanya duduk di atas tikar yang di gelar oleh Satya. Ceritanya piknik tapi tidak ada tanda-tanda kehangatan.

"Maaf." Sarah menunduk, dia memilih mengalah lebih dulu. Dia mengaku salah karena nadanya meninggi dan tidak sopan sebenarnya.

Satya meliriknya sekilas. "Hm." balasnya dengan masih asyik memainkan rumput liar di sampingnya.

"Maaf, harusnya emang ga usah ngegas, mungkin karena aku PMS, hari pertama."

Satya menoleh kaget. "Apa? Datang bulan?" beonya dengan bahu layu, semangatnya seolah tersedot fakta itu.

"Kok sekaget itu? Normal kok." Sarah menggaruk rambutnya sekilas.

Satya menghela nafas pendek. "Iya, gue tahu. Gue kaget karena gue ga akan bisa serang lo nanti pulang sesuai janji yang di sepakati!" wajahnya semakin masam.

"Emh— makan aja yuk, nanti ga enak." Sarah mulai meraih tas makanan itu, membuka semua yang dia siapkan.

Satya mendekat pada Sarah, merangkulnya mesra. "Katanya hari pertama itu kadang sakit, apa lo baik-baik aja?" diusapnya peluh di pelipis Sarah.

"Nyeri dikit, bisa di tahan kok, udah minum obat juga."

Satya mangut-mangut pelan. "Bagus, jadi lanjut aja. Kita lupain masalah di mobil tadi." kata Satya yang diangguki Sarah.

Ekspresi keduanya mulai berubah, lebih cerah, tidak mendung seperti sebelumnya.

Satya mengusap pipi Sarah sekilas. "Mungkin ngegas karena PMS, oke-oke.." ujarnya seraya menerima suapan dari Sarah di lengannya.

Sarah mengangguk. "Mungkin." balasnya lalu meraih garpu dan menusukan garpu ke buah semangka yang sudah diiris setelahnya dimasukan ke dalam mulutnya sendiri.

Satya dan Sarah terlihat menikmati waktunya dengan udara yang sepoi-sepoi sejuk itu. Sesekali keduanya berbincang dan bercanda.

***

Malamnya Sarah parah. Datang bulannya lebih parah dari bulan sebelumnya. Bahkan keringat sudah memenuhi wajahnya yang memucat.

"Sayang, ayo nonton." Satya menghampiri Sarah, duduk di sampingnya yang tengah berbaring memunggunginya itu.

Tidak ada respon dari Sarah selain suara desisan seperti menahan rasa sakit.

"Sayang?" Satya membalik tubuh Sarah, wajahnya memang agak datar namun tatapan matanya berkilat khawatir.

"Shh-sakit, Satya." kedua tangan Sarah menekan perut bawahnya.

"Lo biasa minum obat apa? Apa ada? Gue ambil atau beliin." di sekanya semua keringat yang menghiasi wajah dan leher Sarah.

"Di nakas sshh-" Sarah semakin mengkerut saking sakitnya. Kepala bahkan hampir bertemu dengan lutut.

Satya mencarinya, membacanya sekilas lalu meraih air mineral di nakas.

"Minum dulu, mumpung lo baru beres makan malem." Satya membantu Sarah untuk duduk.

Kedua mata Sarah sudah basah, mulas dan pegal di pinggangnya sungguh menyiksa. Pokoknya sulit di jelaskan.

"Jangan nangis." Satya mengecup sekilas bibir Sarah sebelum memasukan pil itu dan membantunya minum.

Satya menyimpan gelas itu ke nakas, membantu Sarah kembali rebahan lalu mengusap punggungnya dengan perhatian.

"Enak." bisik Sarah dengan kedua mata hampir terpejam.

"Gue emang selalu bikin lo keenakan." Satya merebahkan tubuhnya di samping Sarah. "Jadi lo harus ngaku kalau cuma gue yang bisa bikin lo keenakan." lanjutnya dengan bangga.

Gairah Anak Muda (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang