Serpihan Emas

17 0 0
                                    

Hari ini tepatnya, hari sabtu. Di sekolah kami hari sabtu merupakan hari yang menyenangkan, karena setiap hari sabtu sekolah serasa semi-libur, tidak ada jadwal pelajaran. Kecuali mata pelajaran kesukaan yang memang kami pilih untuk difokuskan dan itupun hanya sebentar saja. Setelah selesai, kamipun bebas untuk beraktifitas.

Tepatnya pukul 10 pagi, aku menyempatkan diri untuk belanja minuman favorit dan roti di kantin bawah. Bukan karena aku lapar, tapi aku ingin menyempatkan diri untuk mampir ke tempat favoritku. Rasanya kurang aja kalau duduk disana tanpa ada makanan dan minuman.

Tempat itu berada di depan asrama kami, lebih tepatnya di bawah pohon yang memang cukup rindang dan teduh sekali pada jam-jam segini. Tempat ini juga merupakan tempat favorit anak-anak lain untuk belajar ketika suntuk di dalam asrama. Lingkungan sekitar sini juga sangat mendukung, karena memang masih asri, banyak pohon-pohon lain juga, dan jauh dari polusi udara maupun suara. Sehingga di tempat ini memang benar-benar favorit. Setiap hari kami bertugas secara bergantian untuk membersihkan tempat ini dan bagian favoritnya adalah bakar-bakar sampah daun ketika sore hari sambil bermain dengan anak-anak lainnya. Buat kami kebersihan dan kebersamaan adalah yang utama.

Pada kesempatan kali ini, aku duduk sendirian dengan niat untuk menuntaskan apa yang ada dalam pikiran dan perasaanku. Kenyamanan dan ketenangan benar-benar sangat kubutuhkan saat ini. Aku benar-benar mendengar betapa ramainya isi kepala, meskipun sedang sendiri. Pada dasarnya sebenarnya diriku telah berdamai dari kisah tentang Lia. Segala perasaan dan pemikiranku telah aku curahkan dalam bentuk tulisan "Ruang Untuk Lia". Namun bukannya semua menjadi baik -baik saja, justru sebaliknya muncul kembali sebuah pertanyaan yang aku tidak bisa menyingkirkannya dari dalam kepalaku, "Apakah ini sudah usai?"

Sesaat aku kembali teringat tujuan awalku sebelum Lia. Aku merasa bahwa ada yang harus dibenarkan dari semua kejadian yang telah terjadi ini. Namun, aku pribadi juga masih belum mengetahu tentang apa yang perlu dibenarkan.

Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam benak ini.

"Apakah aku harus memulai dari awal lagi?,
atau aku harus kembali pada tujuan awalku?,
Apakah aku yakin bisa kembali?,
atau lebih baik aku memulai tujuan baru?."
"Jika aku kembali, bagaimana caranya?,
strategi apa yang perlu ku persiapkan?,
Harus memulainya darimana?,
Bagaimana jika hasilnya sama saja?."~

Seketika aku memukul-mukul kepalaku untuk menyadarkan diriku dalam lamunan yang penuh akan pertanyaan yang tak mampu ku jawab.

"Ah sial, aku malah tambah pusing. Apakah lebih baik tidak usah sama sekali ya?" Ujarku dalam hati.

Dalam kebuntuan tersebut, aku mendadak teringat pada nasehat sahabat lamaku ketika kami SMP. Sejak SMP kami sudah mulai berani untuk berpasang-pasangan, iya pacaran gaya anak SMP pada tahun itu lebih tepatnya. Sahabatku ini dulu kuanggap jago dalam hal percintaan, namanya Nata. Dia memiliki hobi yang unik yaitu balapan motor liar. Setiap hari minggu sore dia selalu ikut balapan liar. Dia memang anak orang kaya, sehingga lebih mudah untuk memodifikasi motornya agar lebih laju dari standard pabrik aslinya. Namun meskipun dia hobi balap, tapi dia juga suka ngoleksi buku. Apapun itu bukunya seperti buku paket pelajaran, katanya untuk jaga-jaga akan ada waktunya dia menjadi hobi baca buku.

Pada waktu itu kami bersahabat karena aku adalah murid pindahan di sekolahnya, sehingga aku tidak mempunyai buku-buku paket pelajaran. Alhasil , kami bersahabat karena dia meminjamkan seluruh bukunya. Sebagai gantinya setiap ada tugas, PR, dan ulangan dia ku ijinkan untuk menggunakan hasil kerjaku.

Setiap minggu juga, aku sering ikut dia balapan. Tapi sebagai tim hore aja, karena aku belum punya motor sendiri waktu itu. Singkat cerita, karena kami bersahabat sehingga kami cukup terbuka satu sama lain dan pada saat itu ternyata kami menyukai perempuan yang sama di sekolah kami. Meskipun kami bersahabat, tapi kami juga tidak ada yang ingin mengalah. Alhasil , kami memutuskan untuk saling bertaruh dan bersaing secara sehat. Demi menjaga persahabatan, kami membuat pertaruhan barang siapa yang berhasil mendapatkannya maka dialah pemenangnya dan yang kalah harus ikhlas, gak boleh marah, dan dendam.

Berselang tiga hari, aku mendapatkan kabar darinya bahwa dia telah berhasil.

"Kurang ajar!" Umpatku dalam hati setelah mendengar kabar tersebut.

Terus terang, aku benar-benar kesal dan marah sekali atas kejadian ini. Aku tidak menerima hasil kekalahan ini, tanganku menggenggam dan siap untuk melampiaskannya kesiapapun yang ada. Seketika aliran darah ini naik dengan drastis dan bergetar rasanya karena menahan emosi. Maka aku memutuskan untuk mengajaknya bertemu sore harinya di rumahku.

Sore itu, kami berbincang dengam amarah dan kekesalan di dalam dada. Diapun kembali mengingatkan perjanjian kami. Akupun berusaha sedikit melunak dan menyembunyikannya.

Akupun memberanikan diri untuk menatap wajahnya dan bertanya terkait hal tersebut padanya. Sebenarnya aku sangat malu sekali untuk menanyakannya, karena buatku ketika aku menanyakannya maka artinya aku mengakui kekalahanku.

"Gimana caranya kamu bisa berhasil mendapatkannya secepat itu (tiga hari) ?" Tanyaku

"Ahahahaha...." dia menjawabnya dengan tertawa keras.

"Kurang ajar!!", kataku sambil meringis dan menyembunyikan rasa malu serta marah.

Kemudian dia melanjutkan kalimatnya, "Ketika kita memiliki tujuan, ya sudah itulah jalan yang harus kita lakukan. Gak perlu mikir yang lain-lain."

Aku hanya menggangguk dan memerhatikan ucapannya.

"Aku ni pembalap, kecepatan itu yang diutamakan. Tapi bukan hanya soal cepat, aku juga percaya sama motorku. Motorku nih setiap hari kurawat, kusayangin, kujagain, kotor juga kucuci, kubiayain juga. Jadi mau gak mau kalau udah diajak balapan, iya aku harus percaya sama motorku. Urusan arena, itu gampang selama kita paham kapan harus tarik gas, harus nginjak rem, oper gigi, udahlah apalagi yang dipikirkan." Ujarnya menasehati dengan gaya kemenangannya.

Seketika aku mulai tersadar dalam lamunanku. Aku tersenyum sumringah, cukup puas. Aku benar-benar tahu harus berbuat apa. Keputusan telah kubuat saat itu juga, tekadku sudah bulat.

Segera aku baranjak dari tempat favoritku ini menuju asrama sambil berkata dalam hati.

"Iya bener, Kirana. Fiks, Kirana!", segeraku bergegas masuk sambil tersenyum cerah.

Pangeran KancilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang