Malam Puncak Part 2

14 0 0
                                    

Saat ini jarum jam telah mununjukkan pukul sembilan lewat. Bulan malam ini juga tampak semakin terang, setelah awan-awan disekitarnya berlalu menjauhinya. Cerahnya cuaca malam ini tak berbanding lurus dengan keadaan di tempat ini. Anjing-anjing disekitar yang biasanya tak pernah ada, mulai berpaduan suara. Lolongan anjing mewarnai malam kami yang membuat menjadi semakin mencekam. Tawaa canda sirna dari tempat ini, yang ada hanyalah isak tangis dan teriakan yang tak kunjung usai.

Semakin larut dalam kekacauan suasana membuatku untuk mundur sejenak dan menjauh dari situasi. Aku berdiri tepat di depan asrama putri sambil memperhatikan semuanya. Aku sedang merekam menggunakan mata kepalaku tentang kejadian yang benar-benar terjadi pertama dalam hidupk, sebuah kejadian yang sebelumnya belum pernah kualami. Mataku menyorot dari ujung kanan ke ujung kiri, aku melihat dengan seksama semua kejadian ini. Aku mencoba untuk menerjemahkannya dan berharap akan menemukan solusinya.

Semakin lama aku memandangi namun justru kesedihan yang kudapati. Aku tidak lebih seperti sedang meratapi keadaan teman-temanku tanpa mampu melakukan apa-apa. Aku melihat mereka, para siswa putra yang dengan sigap memberikan bantuan sebisanya. Punggung mereka nampak dibasahi keringat, lengan baju mulai disingsingkan lebih tinggi daripada biasanya. Para siswi putri juga telah menunjukkan kelelahannya, raut wajah bak bunga yang sedang melayu, berulang kali memperbaiki jilbab yang tak kunjung rapi.

Gelas berada dimana-mana, air gallon mulai menipis, berharap mendapatkan ketenangan dan kekuatan dari segelas air yang terus diberikan kepada para korban kerasukan yang beberapa telah sadar. Namun korbannya terus bergantian. Aku pribadi telah benar-benar lelah dengan keadaan ini. Kebingungan, kepanikan, hingga kelelahan tergambar jelas disini. Andaikan kami bisa melihatnya, mungkin sudah kami keroyok makhluk yang merasuki tersebut. Atau, jika ada rumusnya mungkin telah sejak awal kami selesaikan.

Sayang, semua itu tidak ada. Kami menghadapi keadaan yang tak dapat kami jelaskan ataupun diuraikan. Kami mengarungi keadaan tanpa kompas, tanpa petunjuk. Hanya harapan yang masih tersisa, untuk segera terbebas dari situasi ini.

“Wahahaha”, tiba-tiba terdengar suara tawa yang cukup besar dari dalam asrama.

Aku segera beranjak dari tempatku untuk melihat apa yang sedang terjadi. Tidak disangka ternyata camat asrama putri yang sejak tadi dari ruang makan mulai menjadi aktif. Kami mengira bahwa dia yang paling mudah dikendalikan. Sejak tadi dia hanya senyum-senyum dan duduk dengan anggun menggambarkan sosok wanita tua paruh baya. Namun sangkaan kami meleset, justru dia yang paling mengerikan. Semua fokus benar-benar telah dia ambil, hanya dengan sebuah tawa yang besar, ngebass, dan benar-benar diluar akal.

Anehnya keadaan juga ikut menjadi semakin kacau. Mereka yang kerasukan juga menjadi semakin aktif. Lalu disusul tawa yang sangat mengejutkan ditambahkan kaki-kaki yang digoyangkannya. Dia tampak seperti sedang bahagia ditengah kekacauan ini. Aku yakin dialah yang paling menikmati dari semua hal ini. Aku menduga bahwa dialah sosok pemimpinnya. Dialah yang paling bertanggung jawab atas hal ini. Aku sudah kehilangan akal, meskipun sebenarnya aku juga merinding. Namun aku telah lelah dengan situasi ini. Kesabaranku telah ditekan cukup dalam, aku dengan emosi melawan rasa takutku. Aku mencoba memberanikan diri masuk ke asrama dan mendekati sosok itu.

Baru selangkah kakiku memasuki pintu asrama, aku mencium aroma-aroma yang tidak asing buatku. Tapi aku tidak memperdulikan hal tersebut, aku tetap nekat mendekatinya. Semakin aku mendekatinya, semakin dekat, aku terdiam, dan tidak bergerak sama sekali. Aku kaget setengah mati, tubuhku seolah tidak mau menuruti keinginanku untuk bergerak. Ternyata dia mengetahui maksud kedatanganku, dia hanya menolah dengan ekspresi marah, matanya benar-benar bengis. Aku meyakinankan diriku bahwa dia bukan preman. Namun tetap saja aku merasa kalah aura dengan makhluk itu.

Dia terus melihat kea rah, sampai akhirnya dia membentakku.

“Pergi!!!”, bentaknya sambil menunjukkan jarinya menyuruhku untuk segera pergi dari hadapannya.

Aku benar-benar tak berdaya dibuatnya, tubuhku hanya bisa berdiam saja. Aku hanya bisa menguasi batinku saja. Disatu sisi, aku juga ingin segera pergi. Namun disisi lain, aku malu karena ada Kirana yang sedang memperhatikanku. Aku masih ingin punya harga diri sini.

“Kamu yang pergi!!!”, ujar Rama dari arah belakangku dengan cukup gahar.

Aku benar-benar merasa terselamatkan. Tidak disangka Rama juga geram ternyata dan dia juga memberanikan diri untuk masuk ke dalam menyusulku. Rama berhadapan langsung dengan dia, aku baru kali ini melihat ekspresi Rama cukup mengerikan. Matanya melotot hampir keluar, dia lebih mengerikan daripada makhluk yang merasuki camat putri ini.

“Hihihihihi”, makhluk itu hanya tertawa menanggapi ekspresi Rama yang sudah naik darah.

Aroma di ruangan ini juga semakin semerbak.

“Eh kalian ada Pembina datang”, ujar salah satu siswi dari depan pintu mengingatkan kami yang masih di dalam.

Mendengar itu aku dan Rama berangsur mundur untuk keluar, sambil berjalan Rama masih tak mengendurkan pandangannya dari makhluk itu. Aku disampingnya berusaha untuk menenangkannya dengan merangkul pundaknya.

“Sudah, sudah cukup Ma”, ujarku sambil mengajaknya keluar.

Ketika sampai di luar ternyata Pembina kami datang keduanya. Mereka bersama dengan juru kunci desa ini serta penjaga desa ini. Awalnya kami semua mengira bahwa mereka lepas tanggung jawab. Namun ternyata mereka mengelilingi tempat ini dahulu dengan membawa kemenyan yang dibakar di tempatnya. Begitu juga dengan aroma-aroma tadi yang tercium olehku lebih dulu. Aku pikir itu efek dari makhluk tersebut, ternyata para rambongan Pembina sumbernya. Mereka telah usai dari belakang asrama, makanya aromanya sudah masuk duluan melalui celah-celah ventilasi.

Melihat kehadiran mereka malam ini, kami semua sedikit dapat bernafas dengan lega. Senyuman-senyuman manis mulai tampak dari wajah masing-masing kami menyambut kedatangan beliau-beliau sebagai tanda penghormatan. Tak lupa juga basa-basi awal mulai terdengar, sembari mereka melepaskan jaket dan sepatu pantopelnya. Dengan segera mereka menanyakan apakah asrama sudah dikondisikan sesuai dengan instruksi awal tadi. Lalu disusul dengan instruksi untuk mengumpulkan semua siswi yang kerasukan menjadi berdekatan di teras tengah dan bagi yang sulit untuk diajak merapat tidak apa-apa biarkan di tempatnya saja dulu.

Dari sinilah kami semua menyaksikan pertunjukkan yang hebat bak dalam acara kuda lumping dimana pawangnya duduk bersila di tengah-tengah dengan segala peralatan di depannya. Sang juru kunci dengan wajah santai duduk bersila di depannya sudah terdapat piring yang berisi garam, lalu kemenyan yang di taburkan dalam wadah membuat asapnya menjadi semakin mengebul. Aku yang penasaran dan sangat tertarik mencoba mendekat.

Perasaanku cukup aneh. Aku merasa ada yang kurang dalam hal ini. Karena aku pribadi sebenarnya cukup mengenal dan dekat dengan hal-hal semacam ini. Namun sebenarnya aku juga tidak tahu apa-apa, hanya sekedar sering melihatnya saja dalam acara-acara tertentu.

“Kok gak pake bunga ya?”, ujarku dalam hati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 10, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pangeran KancilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang