“Dia datang lagi, tuh.”
Ilyas yang biasanya pendiam, pekerja keras dan hampir tidak pernah mengeluh, menghela napas pelan. Entah sudah keberapa kalinya aku menangkap basah ekspresinya yang tidak wajar itu. Setelah kuingat-ingat, Ilyas hanya bisa mengeluarkan ekspresi semacam itu ketika ada di sekitar gadis itu.
“Sudah kularang, padahal,” gerutu Ilyas pelan.
“Teman kuliah?” tanya Bu Lia--pemilik toko roti tempat kami bekerja.
“Bukan teman, Bu,” balas Ilyas yang tampaknya menahan jengkel.
Aku selalu bisa mengingat kesan pertama dengan para langganan yang membeli roti kami. Gadis manis yang menunggu di depan gerai itu pertama kalinya datang beberapa bulan yang lalu, kira-kira di jam segini juga.
Awalnya, aku agak heran sih, mengapa ada anak gadis yang beli roti sendirian pada pukul 7 malam di tempat yang enggak terlalu strategis. Itu memang jam dimana roti kami sudah diskon 30% untuk mengurangi kemungkinan roti bersisa, karena kami akan membuat roti baru yang renyah pada keesokan paginya.
“Terus kalau bukan teman?” Aku iseng menjahilinya, tapi reaksi Ilyas tidak seperti yang kuharapkan.
“Penguntit,” balas Ilyas pendek, tanpa merasa bersalah.
“Cantik banget, padahal,” ucapku sembari memangku dagu.
Hidup serba pas-pasan sepertiku jelas tidak akan mengerti bagaimana rasanya merias dan menggunakan pakaian trendy sepertinya. Itu memang salah satu keinginanku sejak masa SMA, tapi sudah lama aku membuang jauh semua keinginanku.
Sekarang, bisa tinggal di atas atap tanpa kepanasan dan kehujanan saja sudah syukur. Untungnya, aku tidak perlu khawatir soal perut. Bu Lia cukup memperhatikan jam makan kami, terkadang kami diperbolehkan membawa pulang roti sisa.
“Jangan terlalu benci begitu, Yas, nanti kalau jodoh gimana?” canda Bu Lia.
Ilyas terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya membalas, “Aku enggak benci dia, Bu, tapi dia bebalnya minta ampun,” keluhnya.
Wah, tiba-tiba enggak irit ngomong, pikirku. Namun aku tidak mengutarakannya, takut Ilyas membantah lagi.
“Kayaknya dia suka sama kamu, Yas.” Wira yang bertugas membuat roti ikut menyahut dari jendela kecil penghubung dapur dan gerai. Hanya kepalanya yang tampak, karena jendela itu biasanya adalah tempat untuk menghidangkan roti panggang yang harum.
Aku hanya mengangguk, setuju dengan pendapat Wira. Maksudku, itu sudah tampak jelas sekali, sih.
“Kayaknya gerimis.” Bu Lia mengintip jendela di dekat meja kasir. Sesekali, melirik ke arah Ilyas untuk melihat reaksi lelaki itu.
Memang, sih. Ilyas sangat mudah terbaca. Meskipun mulutnya jahat begitu, tapi ujung-ujungnya dia kembali menghela napas, lalu melepas apron dan bersiap-siap keluar untuk mengajak gadis itu masuk ke dalam gerai.
“Tinggal masuk aja, masak harus kuundang segala?” protes Ilyas, tapi tetap mengambil langkah lebar untuk mempercepat jangkauannya ke pintu.
“Kan kemarin kamu yang bilang ke dia; jangan datang terus,” balasku.
Ilyas tidak ambil pusing dengan komentarku. Lelaki itu berjalan keluar, tampak ragu-ragu menghampiri gadis itu, lalu akhirnya memanggilnya. Kami bertiga yang hanya bisa mengintip dari balik kaca, hanya bisa menyaksikan sambil menggeleng-geleng. Dasar anak muda.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua berbalik menuju gerai. Gadis itu tampak tersenyum berseri-seri ketika Ilyas membukakan pintu untuknya.
“Selamat datang,” sapaku dan Bu Lia dengan kompak, sementara Wira pura-pura sibuk, padahal sudah tidak ada lagi tugas berat di dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Full Of Fools
Short StoryJangan dibuka, HAHAHA. Semua yang ada di dalam sini semuanya adalah cerita yang pernah saya buat, dan TANPA Perencanaan plot, jadi kalau gamau mata sakit, jangan dibuka, HAHAHA. Semua ini diambil dari note Facebook saya dulu. Ceritanya dipastikan A...