150 Hari

1.2K 156 13
                                    

Hari ini bertepatan dengan 150 hari, sejak kejadian itu.

Dan aku masih sama seperti yang sudah-sudah, mengurung diri di dalam kamar kosanku yang berukuran 2x3 meter.

Sedikit pun, aku tidak pernah membayangkan bahwa aku akan melakukan hal seperti ini. Hanya berdiam diri di kamar kosan-ku, sesekali melihat isi ponselku tentang kabar yang sama, tapi yang paling kuingat adalah tiduran dan memandang langit-langit.

Tidak melakukan apapun, hanya diam.

Tidak lagi pergi ke kampus, tidak perlu lagi pusing memikirkan revisian skripsiku yang belum berakhir.

Tidak lagi pergi ke tempat kerja part time-ku sebagai kasir di salah satu minimarket.

Masih rebahan seperti yang telah kujelaskan tadi, selanjutnya yang kudapati adalah chat dari ibu kos di grup Whatsapp yang isinya seperti ini:

Sdh wktunya byr kos
Via tf atau plsa
HRS BYR / KLUAR!

Aku mengerutkan keningku dalam-dalam. Dasar Ibu kos tidak tahu belas kasihan. Iblis! Tidak berperikemanusiaan!

Nyatanya, aku yakin semua anggota yang ada di grup alias semua penghuni kosan juga sedang merutuk sang Ibu kos.

Namun nyatanya pesan dari ibu kos hanya jadi pajangan belaka.

Tidak ada yang merespons sekali pun aku melihat beberapa orang tampak sedang mengetik, lalu mengurung niat.

Selanjutnya, chat dari Nia--tetangga kosan sekaligus teman kampus--pun datang.

Ada pulsa ga?

Kuputuskan untuk tidak menekan pesan itu agar tidak ada dua centang biru. Kuabaikan kenyataan bahwa Nia bisa melihat jam online-ku.

Rasanya, aku semakin penutup saja ....

Telepon dari Bapak mengejutkanku. Dengan buru-buru, kuangkat dan menyusun kata-kata untuk menjelaskan situasiku kepadanya.

"Halo. Siang, Bapak. Gimana keadaan di sana?" tanyaku.

"Ini HP Bapak udah sekarat betul. Batere-nya sudah mau habis. Kamu kapan pulang, Nak?"

Aku menelan ludahku tertahan, "Listriknya masih mati, Pak?" tanyaku yang sengaja mengalihkan topik.

Walau Bapak sudah menjelaskan bahwa baterai ponselnya sudah nyaris mati, tapi aku tahu persis bahwa ponsel ayah yang jadul itu masih awet sampai dua atau tiga hari lagi. Tentu saja berbeda dengan ponsel pintarku.

"Iya, sejak sebulan yang lalu. Bensin motor Bapak juga sudah habis, jadi tidak bisa transfer uang dari ATM." Bapak menjelaskan dengan pelan. "Kamu gimana di sana, Nak?"

"Masih ada listrik, Pak. Soalnya kosan sini listriknya ngisi pakai token," jelasku, meski tahu Bapak mungkin tidak mengerti maksudnya. "Tapi, listrik hanya dinyalain setengah jam tiap hari. Buat nge-charge HP."

Bapak kedengaran lega, "Kalau gitu, kamu masih bisa dihubungin kan ya? Kamu kan punya dua HP. Nanti kalau sudah ada listrik lagi, Bapak telepon ya."

"Uh ... Ya," jawabku berusaha terdengar yakin.

"Kamu makannya masih teratur kan, ya?" tanya Bapak.

"Masih, Pak. Makan dua kali sehari."

"Jangan sampai sakit ..."

"Iya, Pak."

"Kalau gitu Bapak tutup dulu teleponnya, ya. Bapak mau telepon adikmu juga."

"Bapak!" panggilku, mencegah Bapak menutup telepon. "Jaga kesehatan."

"Iya, kamu juga. Nanti Bapak telepon lagi."

"Iya."

Telepon Bapak ditutup. Aku masih berbaring menatap langit-langit.

Hari ini bertepatan lima bulan sejak kejadian itu.

Sejak penyebaran virus itu.

Bermula di satu negara maju, virus itu menyebar dengan sangat cepat. Untuk sumber penyebab munculnya virus masih belum diidentifikasi. Aku masih terus mencari tahu.

Selama dua bulan sejak virus itu muncul, penyebaran virus terjadi sangat cepat di wilayah sumber. Lalu, menjangkit orang-orang melarikan diri ke benua Asia Tenggara.

Padahal sudah ada pengumuman bahaya soal virus ini. Bahkan orang-orang yang berasal dari negara tersebut dan juga turisnya, diperiksa rutin untuk mempelajari virus tersebut.

Namun semuanya tetap menyebar cepat.

Awalnya semuanya baik-baik saja, sampai virus itu mulai menyebar di pulau-pulau terluar di Indonesia, lalu menyebar cepat pula di pulau-pulau besar lainnya.

Ada beberapa kebohongan yang tidak kuceritakan kepada Bapak.

Bulan kemarin, aku menukar salah satu ponselku untuk stok beberapa bungkus mie instan.

Tapi kini stok makananku benar-benar habis sejak tiga hari yang lalu.

Untungnya toilet ada di dalam kamarku, jadi aku bisa meminum air keran untuk mencegah dehidrasi.

Tidak ada satu pun dari orang-orang di kosan yang keluar masuk dengan bebas. Begitu pun orang-orang di luar sana.

Terakhir, sebelum aku menutup jendelaku dengan lakban, aku bisa melihat betapa jalan besar menuju kampusku itu kosong melompong.

Uang cicilan kuliahku sudah kupakai untuk melakukan transfer via internet banking untuk ibu kos bulan lalu. Aku mengatakan dia tidak berperikemanusiaan karena dia menaikkan tarif hampir 50%. Benar-benar iblis!

Lalu kebohongan lainku ....

Aku tidak menjelaskan apapun soal adikku.

Tiga hari yang lalu, dia mengirim pulsa dan transfer yang agak janggal.

Tapi saat menghubunginya, dia tidak pernah lagi mengangkat ponselnya.

Aku ... Tidak ingin berprasangka buruk atas apa yang terjadi. Kuharap dia baik-baik saja.

Lalu,

Sebenarnya aku sangat ingin pulang ke kampung halamanku.

Aku tidak mungkin mau bertahan di kosan harga bintang lima ini jika jarak kampung halamanku dan tempat ini tidak jauh.

Aku jadi menyesal karena memutuskan merantau.

Kini stok makanan habis, hanya sisa transferan dari adikku yang bahkan aku tidak tahu apakah boleh kugunakan atau tidak.

Kembali kuratapi langit-langit kamarku.

Entahlah, apakah aku masih akan hidup besok?

***

Entah kenapa, aku kepikiran terus.

Jadi akhirnya jadilah cerpen ini, walau absurd setengah mati.

Cindyana

Full Of FoolsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang